Tiga puluh tiga

4.3K 381 11
                                    

"Ha..us.."

Suara lirih yang hampir seperti bisikan itu ternyata mampu di dengar oleh beberapa orang yang kini sedang berkumpul di ruang perawatan VIP. Tanpa perlu di beritahu lagi Gerry dengan sigap mengambil sebotol air minum kemasan yang sudah terdapat sedotan di dalamnya. Dengan cekatan remaja itu membantu sang bunda minum.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, tandanya waktu besuk sudah usai. Syara sudah cukup lama tertahan di sini, tepatnya sejak pukul 5 sore tadi. Niat awalnya yang hanya ingin menunggui sebentar kebablasan hingga jam besuk usai karena ingin melihat bundanya Gerry itu benar-benar sadar.

"Mbak, saya pamit ya, jam besuk juga udah selesai. Mbak istirahat aja lagi, besok bolehkan anak-anak mau datang ke sini jenguk Mbak?" Pamit Syara seraya meminta ijin.

Artika mengangguk pelan, tampaknya tubuhnya masih lemah pasca kecelakaan dan koma satu setengah bulan lalu.

"Ma..kasih Syara." Balas Artika masih dengan suara pelan.

"Cepet sembuh ya Mbak, cepat sehat kembali seperti sedia kala. Gerry Ibu pulang ya." Tambah Syara sebelum beranjak pergi keluar.

"Iya, makasih ya Bu, hati-hati juga nyetirnya." Balas Gerry sambil mengantar Syara sampai depan pintu kamar perawatan.

Beruntung Jakra sedang di ruang dokter saat ini, jadi tak ada drama berlebihan seperti tadi sore saat Syara pamit undur diri. Langkah Syara terasa ringan saat melihat raut bahagia dan lega Gerry. Mereka semua sepakat tak akan memberitahukan kejadian kecelakaan yang Artika perbuat guna menjaga kondisi tubuhnya yang masih lemah.

Toh Bagas dan dirinya sudah memaafkan dan mengikhlaskan kejadian itu. Walau kecelakaan itu sedikit banyak membuat kondisi Bagas tak sebaik sebelum kecelakaan terjadi. Walaupun Bagas sudah di nyatakan sehat, ia masih harus menjalani terapi untuk memperbaiki tulang kakinya yang tergeser. Beberapa kali Syara tanpa sengaja memperhatikan Bagas yang tampak sesekali mengernyit kesakitan.

Syara tahu Bagas tak ingin menunjukkan rasa sakitnya ke Syara sehingga membuat dirinya khawatir, tapi ia juga merasa sedih karena Bagas seolah tak ingin membagi perasaannya ke Syara. Bagas belum di ijinkan dokter untuk mengendarai mobil atau motor sendirian, bahkan untuk jalan saja ia belum bisa se leluasa dulu.

Karena itu ia banyak memangkas mobilitas nya, beruntung karyawan baru yang di rekomendasikan temannya itu bisa di andalkan. Entahlah bagaimana prosesnya, tapi ia langsung yakin dengan intuisi nya yang mengatakan bahwa lelaki ini bisa di percaya.

Jadilah tugas mengawas proyek-proyek yang dahulu jadi kewajiban nya kini ia alihkan ke karyawan baru itu. Bagas hanya memantau dari kantor saja, layaknya pemimpin-pemimpin perusahaan pada umumnya. Ia bahkan memperkerjakan supir pribadi sekarang, yang bertugas mengantar jemput ia di manapun berada.

Sebenarnya Syara bersedia mengantar jemput Bagas, tapi pekerjaan istrinya sebagai guru, belum lagi mengurusi putranya Arkan yang mulai lincah bergerak, dan dua orang putrinya yang sudah beranjak remaja membuat Bagas sadar bahwa ia tak boleh menambah beban Syara. Toh ia masih mampu menggaji supir pribadi dari hasil pekerjaannya.

*****

Seorang pria tampak terpekur di kursi besi yang tersedia di koridor Rumah Sakit. Bukan tanpa alasan, perkataan dokter yang cukup lama tadi sangat menganggu pikirannya. Ia sudah menduga jika sadarnya Artika tak sebaik apa yang diharapkan banyak orang. Kondisi tubuh Artika yang sangat lemah, pendarahan otak pasca kecelakaan yang cukup parah, menyebabkan beberapa syaraf ikut rusak serta beberapa tulang yang retak membuat mantan istrinya hanya mampu terbaring seumur hidup di Rumah Sakit jika ia masih di beri kesadaran seperti ini. Bahkan untuk duduk saja Artika tak bisa, di tambah kemampuan indera nya yang tak akan berfungsi normal seperti sebelumnya. Belum lagi prediksi dokter tentang kemungkinan berapa lama Artika bisa bertahan hidup.

Tidak, bukan Artika yang ia khawatirkan tapi,  ia sudah menduga ini sesaat setelah mantan istrinya itu sadar, yang Jakra takutkan hanyalah Gerry. Bagaimana caranya ia harus menyampaikan berita buruk setelah kegembiraan menghampiri anak itu. Jakra tak sampai hati memadamkan raut bahagia Gerry yang sudah hilang selama hampir dua bulanan ini. Bahkan Syara dan Bagas rela berdamai dengan Artika demi Gerry.

Jakra menyugar rambutnya kasar, untuk saat ia tak tahu bagaimana memberi tahu Gerry tapi tak baik juga ia meninggalkan putranya itu terlalu lama bersama sang bunda yang baru sadarkan diri. Segera Jakra melangkahkan kaki menuju ruang rawat inap di mana Gerry berada.

"Ayah.." Sambut Gerry saat Jakra baru masuk.

"Eh, belum tidur Ger?" Balas Jakra sambil melirik ke arah brangkar di mana Artika tampak sudah tertidur.

"Belum, Ayah istirahat di rumah aja. Biar aku sendiri yang jaga Bunda."

Jakra melangkahkan kaki menuju sofa bed yang terletak di seberang brangkar di mana Gerry tampak sedang duduk sambil memikirkan sesuatu.

"Kan Ayah udah bilang malam ini mau nemanin kamu di sini. Atau jangan-jangan ayah ganggu kamu ya kalau di sini?" Jakra menatap lembut putra semata wayangnya.

"Gak, bukan gitu. Ayah kan udah gak sama Bunda lagi, takutnya Ayah ngerasa gak nyaman nanti, beda sama aku." Jelas Gerry.

"Yah, ayah nemanin anak ayah yang jagain bundanya kan gak apa. Lagian rumah terasa sepi banget beberapa bulan ini. Syara sering tidur di rumah Ibunya lalu kamu di sini. Rasanya gak nyaman. Jadi ayah pingin di sini aja malam ini, bolehkan?" Jakra mengacak pelan rambut putranya.

Gerry mengangguk pelan, ia tahu bagaimana rasanya kesepian saat di rumah. Ia sudah mengalaminya beberapa tahun lalu.

"Gimana kondisi Bunda kata dokter Yah?" Tanya Gerry sambil menatap Jakra.

Sebenarnya banyak yang ingin Gerry tanyakan tapi entah kenapa ia merasa lebih baik berkata to the point ketimbang berbasa-basi seperti yang di ada di pikirannya.

Bola mata Jakra tampak kosong beberapa detik sebelum tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Gerry. Hal itu tak luput dari pengamatan putranya itu. Yah sedikit banyak Gerry sudah menduga bahwa kondisi Artika seperti apa, tapi ia ingin mendengar langsung dari bibir ayahnya, kondisi pasti sang bunda.

Jakra menepuk pelan bahu Gerry beberapa kali sebelum berkata. "Baik, kondisi Bunda baik. Kata dokter  kesadaran Bunda adalah keajaiban yang harus kita syukuri. Tapi butuh waktu buat Bunda kembali ke kondisi semula, dan kata dokter itu cukup lama. 'Atau bahkan tak mungkin bisa'. Yah intinya kamu masih harus sabar ngerawat Bunda di sini."

Cukup sulit bagi Jakra memilih kata-kata yang tepat untuk menjabarkan keadaan Artika secara gamblang. Apa yang ia ucapkan barusan ia rasa lebih baik ketimbang mengatakan keadaan yang sebenarnya yang berpotensi bisa mematahkan semangat putranya itu.

"Begini aja aku sudah bersyukur Yah, paling tidak aku bisa sedikit berbakti sama Bunda, 'dan tak tenggelam dalam rasa bersalah seumur hidup'. Apapun yang terjadi sama Bunda setelah ini, aku udah ikhlas kok." Jelas Gerry dengan penuh keyakinan.

Gerry tahu jika Jakra menyembunyikan kondisi sang bunda yang sebenarnya pada dirinya. Tak mungkin rasanya kondisi Bunda akan membaik seketika mengingat sang ayah yang cukup lama berada di ruang dokter setelah bunda di periksa tadi.

Apa yang ia katakan tadi sengaja, agar Jakra tahu bahwa ia sudah mengikhlaskan takdir yang akan terjadi pada Artika nanti. Tugasnya sekarang hanyalah merawat sang bunda dengan baik.

-----------------------------------------------

Sebenarnya mau aku tamatin di bab ini tapi kok kesannya buru-buru banget.
Jadi yah sabarnya nungguin endingnya. Hihihi.
Semoga aja gak melewati tiga puluh lima bab. Hehehe

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang