Empat

4.6K 496 14
                                    

Bel istirahat berbunyi, saatnya siswa-siswi yang kelaparan menyerbu kantin. Sedang yang membawa bekal biasanya memilih menikmati bekalnya tepatnya di bawah pohon taman sekolah seperti piknik. Dan disitulah Rara berada sekarang. Jika sebelumnya ia menghabiskan jam istirahat bersama Syani, kali ini Syani tak nampak berada di tempat biasanya mereka menghabiskan waktu bersama.

'Apa aku juga di jauhi sekarang.' Batin Rara.

Hingga perlahan ia menangkap sosok tubuh sahabatnya itu duduk di pohon agak jauh dari tempat mereka bersama biasanya. Rara langsung melajukan langkah nya ingin mendekati Syani. Namun belum sempat ia sampai suara lain tampak menyapa gadis itu terlebih dahulu.

"Hai Syan, aku lihat tadi kamu diantar mobil mewah, mobil siapa tuh."

Sapaan dari Anika dan gengnya membuat Syani menoleh kan kepalanya nya kearah suara.

"Oh.. itu mobil ayah ku, aku tinggal bersama mereka sekarang." Pamer Syani hatinya mulai terasa tinggi.

Bibirnya sudah gatal ingin pamer kepada geng yang suka membuli dan merendahkan ini.

"Hah, beneran kamu? Bukannya kamu anak haram.. Ups.." Ledek Anika meremehkan.

"Hei, segitu penasaran nya ya sama hidup aku, nama ayahku Jakra Adisuryo kalau kalian penasaran. Dan besok tunggu aku di gerbang biar bisa kenalan langsung sama ayah. Dan jangan lupa katakan soal anak haram tadi langsung ke orang nya." Balas Syani menantang.

Anika dan dua teman segang nya tampak terdiam. Mereka kaget mendengar jawaban Syani yang kali ini berani melawannya. Yah penampilan Syani juga berbeda jika dibandingkan saat terakhir mereka lihat disekolah. Seragam baru, sepatu dan tas baru yang merk-nya sudah terkenal dan Anika tahu itu bukan barang murah. Ia pernah memasuki outlet resmi di mall dan melihat sepatu dan tas yang Syani pakai terpajang disana.

Jadi ucapan Syani tak mungkin main-main apalagi saat turun dari mobil mewah saat pagi tadi. Terbersit keinginan Anika untuk menggajak gadis itu bergabung ke geng nya, tapi.

"Ah.. jangan sok kamu. Bilang aja kamu lagi dapat sedekah dari orang kaya." Kembali Anika sengaja meremehkan Syani.

Setelah dipikir-pikir ia batal ingin mengajak Syani bergabung dengannya. Ia masih tak suka dengan gadis itu.

"Terserah kalian. Eh iya, aku sekarang tinggal di Puri Agung, Griya Puri 1 no 16 b. Siapa tahu kalian masih penasaran apa aku dapat sedekah dari orang kaya atau jadi pembantu disana, atau putri pemilik rumah mewah itu." Syani sengaja menekan suaranya di kalimat terakhir.

Siapa yang tak kenal daerah itu, daerah dimana berjejer rumah mewah dengan pagar tinggi. Tak ada yang saling mengenal antara tetangga satu sama lain. Entah karena kesibukan atau sikap apatis, mengingat tingkat kepercayaan orang berada itu berbeda levelnya dengan orang biasa.

Anika menggeram, tangannya mengepal kuat ingin memukul Syani yang menunjukkan sikap congkaknya. Jika dulu gadis itu diam dan pasrah saat ditindas dan dikata-katai kini ia sudah berani membalas. Namun sebelum Anika dan gengnya bertindak sapaan seseorang membuat Anika dan gengnya terpaksa mundur.

"Hai Syan, lagi bahas apa nih sama Anika and the geng" Sapa Rara cuek lalu duduk disampingnya sambil menatap Anika.

Yah, satu-satunya pembela Syani adalah Rara. Rara tak segan-segan berani melawan Anika. Dan Anika sering tak berkutik jika berhadapan dengan Rara, karena Rara seringkali membuatnya berada di posisi sulit karena permainan kata-katanya di balik sikap polosnya itu. Beberapa kali ia hampir terceplos mengumbar kejahatannya di depan guru saat Rara memancingnya.

Dan saat ia ingin menggunakan kekerasan, Rara dengan gesit menghindar bahkan menjatuhkan dia tanpa harus melawan dengan tangan. Rara tipikal gadis yang harus Anika hindari. Karena itu mereka langsung memilih pergi daripada berurusan dengan gadis polos namun cerdik itu seperti saat ini. Hingga tinggallah mereka berdua duduk dibawah pohon setelah Anika dan gengnya pergi tadi.

Syani kaget tentu saja di datangi Rara tiba-tiba, karena merasa canggung tanpa basa basi ia langsung meminum teh kemasan yang dibeli bersama nasi uduk tadi di kantin, Sebuah kotak bekal yang tampak mahal terletak disampingnya. Tenggorokan nya yang terasa kering setelah adu mulut tadi, menjadi lebih nyaman. Tapi dia sedikit kesal karena lagi-lagi Rara menolongnya walau tak sengaja. Syara lelah dibela, ia ingin melawan Anika dengan kekuatan nya sendiri.

"Hai Ra, tumben bek.." Mata Syani membulat kaget melihat kotak bekal yang dibawa Rara.

Itu kotak bekal milik ibunya, Syani yakin itu karena ada coretan spidol permanen berupa tanda tangan Syani yang asal-asalan di sudut kanannya. Rara duduk sambil tersenyum sebelum menjawab ucapan Syani.

"Ibu kamu tadi buatin bekal untuk aku, aku terharu. Rasanya gak mau aku makan." Jawab Rara dengan mata berbinar sambil membuka kotak bekalnya.

Ia sudah melupakan niatnya bertanya soal Anika tadi walaupun ia sedikit banyak mendengar apa yang mereka ucapkan.

Telur dadar gulung, tumis brokoli wortel dan nasi yang ditaburi potongan rumput laut dan wijen. Mirip makanan Korea yang biasanya Syani bawa.

"Kok bisa ibu buatin kamu bekal?" Tanya Syani penasarannya.

Tiba-tiba Rara menghembuskan nafasnya kasar. Dia menormalkan detak jantungnya yang kini berdetak lebih cepat, karena menahan emosi sebelum menjawab pertanyaan Syani.

"Kemarin sore aku main kerumah kamu sama papa. Aku pingin ketemu kamu, mau nanya soal pindah rumah itu. Tapi pas sampai disana, pintu rumah kamu terbuka lebar dengan ibu terbaring di lantai. Saat papa balik badan ibu, wajah ibu memerah dengan mata bengkak dan lantai agak basah. Aku teriak nyari kamu. Tapi kamu gak ada, jadi aku rasa kamu benar-benar ninggalin ibu. Ibu pingsan, sadarnya jam 7 malam. Lalu papa minta aku jaga ibu kamu, tadi ibu kamu juga yang ngantar aku ke sekolah. Kami lihat kamu keluar dari mobil mewah. Ayahmu kaya banget ya Syan, makanya kamu milih tinggal bersama mereka daripada sama ibu." Singgung Rara panjang lebar.

Deg..

Syani tersentak saat mendengar penuturan Rara, ia tak menduga ibunya akan se terpukul itu. Syani sudah menduga jika ibu sedih, tapi tak menyangka ibunya akan menangis sampai pingsan. Syani merasa bersalah, seketika rasa laparnya menguap entah kemana. Syani menguatkan hatinya yang seketika terasa tak nyaman, menyakinkan diri jika keputusan ini tepat. Perlakuan Anika ditambah ingatannya saat tadi pagi sang ayah memanggil nya putri ayah. Yah ini memang pilihan yang benar.

Syani memandang Rara yang terlihat menikmati bekal buatan ibunya. Nasi uduk ayam goreng yang dibelinya langsung terasa hambar di lidah.

"Hei, dimakan Syan, malah melamun." Tegur Rara saat bekalnya sudah habis, sedangkan nasi uduk Syani masih separuh.

"Itu bekal kamu?" Tanya Rara sambil menunjuk kotak bekal disamping Syani.

Tersadar dari lamunan rasa bersalah nya, Syani hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Rara.

"Udah abis?" Lanjut Rara.

"Emm itu bekal dari bunda tapi isinya roti di lapis-lapis sama daging dan sayuran gitu. Kamu tahukan kalau aku gak bisa makan roti sebelum makan nasi." Jawab Syani.

Rara mengganggukkan kepala tanda mengerti. Lalu ia minta ijin Syani untuk membuka kotak bekal mahal itu. Rara kaget, itu isinya sandwich tiga lapis yang pernah ia lihat di YouTube.

"Kalau mau, makan aja Ra." Ujar Syani saat melihat Rara kaget melihat  isi kotak bekalnya.

"Aku udah kenyang Syan. Jadi mau kamu apakan bekal itu. Gak mungkin kan dibawa balik lagi, nanti bunda kamu kecewa."

Syani bingung, ia berpikir untuk memberikan roti itu kepadanya tukang buang sampah di sekolah mereka. Jadi ia tak membuang-buang makanan. Untuk memakan itu, Syani masih ragu. Dia yakin rasanya enak tapi ia sudah kenyang menghabiskan nasi uduk yang ia beli itu dengan susah payah. Dan ia juga sedang tak bernafsu.

"Syan apa gara gara Anika juga alasan kamu ninggalin ibu? Kalau papa aku nikah sama ibu kamu, kamu mau gak kembali ke ibu, bergabung bersama kita. Aku tahu papa aku gak sekaya ayah kamu. Tapi kayaknya gaji papa aku banyak juga deh, rumah papa juga besar walau gak semewah perumahan di Puri Agung dan papa juga punya mobil. Gimana?" Ujar Rara dengan mata berbinar.

Syani langsung merasa ada jarum kecil yang menusuk tenggorokannya. Ia merasa kehilangan suara hingga hanya bisa menatap kosong pohon didepannya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Karena disudut hati kecilnya ia masih berharap ayah dan ibunya akan bersatu, itu juga salah satu niatnya tinggal bersama ayah, walau cara yang ia lakukan salah.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang