Tiga Belas

4.4K 513 29
                                    

Aku publish awal nih ceritanya. 😊
Selamat membaca..
________________________

"Gerry tiap pulang sekolah selalu kerumah Syan, dia suka muncul kesekolah ibu trus abis itu ibu jadi jemputin bocah ini sebelum jemput aku." Jelas Rara sedikit bercanda sambil menatap Syani.

Syani kaget, tentu saja ia kaget. Kenapa bisa ia tak sadar bahwa beberapa waktu ini ia hampir tak pernah melihat Gerry saat sepulang sekolah. Ia kira Gerry ikut les atau apa, karena tiap petang adik tirinya itu selalu pulang bersama ayah.

Rupanya..

Itu artinya ayahnya juga tahu jika Gerry berada dirumah Rara, kenapa mereka tak memberitahu nya. Syani juga ingin pergi berkunjung, dia juga rindu, tapi mengapa mereka tak mengajaknya. Banyak dugaan muncul dikepala Syani, memikirkan perilaku adik tiri dan ayahnya itu.

Tapi segera ia sadar, bahwa dia sekarang hidup di keluarga yang tak normal. Hampir tak ada komunikasi baik antar anggota keluarga, hanya sekedar pembicaraan formal yang terasa kaku dan janggal, bahkan jarang dia melihat ayah dan bunda mengobrol akrab. Seringnya ia melihat dan mendengar percakapan standar mereka seperti apa yang kamu kerjakan hari ini, atau masak apa hari ini, atau belanja apa tadi, dan pertanyaan biasa lainnya yang sudah terekam jelas di pikiran Syani, karena percakapan itu terlalu monoton.

Tak ada kemesraan dan kehangatan di percakapan mereka. Jadinya dia dan Gerry pun ikut tenggelam dalam hubungan kaku keluarga itu.

"Ohh.." Tanggap Syani.

"Gimana kabar ibu dan papa Ra?"

Syani mencoba berbasa-basi menutupi kegetiran hatinya akibat merasakan rindu.

"Ba.."

"Liat aja sendiri, rumah Rara dan kita gak jauh jauh banget kok, kamu itu anaknya, kok cuek banget." Celetuk Gerry yang tepat mengenai ulu hati Syani.

Syani tak bisa membalas kata-kata Gerry karena ia tahu itu benar. Jarak ini dia sendiri yang menciptakan, bukan mereka, jadi sudah sepantasnyalah dia yang menghapus jarak itu walau mungkin tak mudah dan butuh waktu. Karena Syani sadar dia telah menyakiti hati ibunya saat itu.

"Sorry.." Ujar Syani pelan.

"Gak apa Syan. Rumah kami selalu terbuka buat kamu seperti yang dulu papa dan ibu bilang. Lihat kan Gerry aja sampai betah main kerumah, bahkan udah ketagihan masakan ibu." Goda Rara mencairkan suasana.

"Masakan ibu memang enak sih, bikin ketagihan." Balas Gerry jujur.

"Iya, enak banget kan, walau cuma tempe, tahu, ikan, sambal dan tumisan. Bisa buat nambah sampai tiga kali." Rara jadi lapar membayangkan masakan Syara.

"Aku.. udah lama gak makan masakan ibu, jadi kangen." Cicit Syani.

Ini adalah pertama kalinya ia jujur mengatakan apa yang ia rasakan. Syani harus belajar menekan gengsi jika ingin menghapus jarak yang dibuatnya.

Obrolan yang awalnya canggung pun akhirnya mencair, percakapan demi percakapan tak henti mengalir. Ditambah dengan adanya Rara membuat hidup suasana dengan banyaknya cerita dan bahan pembicaraan. Rara memang mood booster buat kakak dan adik tiri yang sifatnya mirip ini. Adik yang sopan yang memanggil mereka dengan nama panggilan bukan kakak.

Namun baik Syani dan Rara tak mempermasalahkan itu. Bagi mereka yang terpenting saat ini mereka sama-sama nyaman berteman.

Waktu terus beranjak, dari mengobrol di halaman belakang rumah hingga pindah ke ruang keluarga. Suasana rumah yang dingin dan kaku itu seketika terasa hangat dan akrab dengan suara obrolan tiga orang anak-anak.

Dan pemandangan indah itu tak luput dari pandangan sepasang suami istri tersebut. Mereka menatap tak percaya anak lelaki mereka yang kaku dan irit bicara bisa berbincang seakrab itu dengan Syani dan temannya.

"Hallo semuanya, seru banget ngobrolnya sampe bunda dan ayah dateng gak ada yang tahu." Artika menyapa ketiga anak.

Yang disambut dengan keterdiaman ketiga anak itu. Namun bukan Rara namanya jika tak pandai memecah keheningan, mencairkan situasi yang tiba-tiba berubah kaku.

"Hallo Tante, kenalkan saya Rara, temen satu sekolah Syani. Maaf main kesini gak ngabarin Tante." Balas Rara dengan senyum tulus.

"Senengnya ada teman Syani main kesini, nanti makan malam disini ya, Tante masak makanan yang spesial buat tamu pertama dirumah ini setelah sekian lama. Ya udah, lanjut aja ngobrolnya Tante masak dulu." Artika langsung berangkat menuju kamarnya untuk berganti pakaian sebelum memasak.

"Perlu dibantu tan?" Rara menawarkan bantuan.

"Gak usah, anak-anak main sama ngobrol aja, biar orang tua yang ngurus dapur." Canda Artika namun tak ada yang menanggapi selain Rara.

Tak lama Artika sudah berlalu dari hadapan mereka, melangkah masuk ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara Jakra masih diruang keluarga menemani ketiga anak-anak berbeda usia itu mengobrol.

"Bunda kamu cantik ya Ger?" Celetuk Rara tiba-tiba.

"Ibu juga gak kalah cantik kok."
Ucapan itu bukan dari Syani atau Gerry, hingga membuat ketiga anak itu terdiam saat menoleh ke sumber suara.

"Ayah bener kok, ibunya Syani gak kalah cantik, cantiknya natural lagi." Jakra kembali menegaskan kata-katanya.

"Iya om, ibu Syara selain cantik, lembut, ramah, jago masak lagi. Makanya banyak yang suka, bikin papa jadi over protective, hehehe." Balas Rara setengah bercanda.

Namun candaan itu ternyata sedikit menusuk hati Jakra, sehingga raut wajahnya sempat menegang beberapa detik sebelum kembali normal.

"Panggil ayah aja Ra, biar sama kayak Syani dan Gerry. Kan kamu juga anak ayah, walau jauh banget hubungannya kalau dikaitkan." Pinta Jakra

"Umm, akunya yang gak enak om." Balas Rara dengan suara rendah.

"Dibiasain makanya biar enak. Ayah ke kamar dulu ya mau mandi nanti ketemu di meja makan." Jakra pamit kepada tiga anak itu.

*****
Ckckck Jakra.. Jakra..
Pas Syara jadi istrinya dulu matanya kemana sih.
Kurang bersyukur sih jadi laki.😤

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang