Dua Puluh Satu

4.2K 469 31
                                    

Sepertinya ini part yang paling banyak ditunggu.. 🤭🤭

Jangan ikutan emosi ya. 😁

Selamat membaca.
------------------------------------------

Sebulan belakangan ini sikap anggota penghuni rumahnya benar-benar memancing kesabaran Artika. Jakra dan anak-anak hampir tak pernah lagi makan malam bersama. Bahkan saat ia meminta sekalipun, Jakra hanya menjawab akan mengusahakan. Dan nyatanya dia sama sekali tak mengusahakan apapun. Karena mereka memilih makan masakan Syara dirumahnya atau makan bertiga diluar tanpa dirinya.

Awalnya Artika tak ingin terpancing, apalagi menampilkan emosinya tapi malam ini pengecualian. Saat pulang Jakra dan anak-anak tampak segar dengan pakaian yang berbeda dengan yang mereka kenakan tadi pagi.

Niatnya Artika akan melampiaskan emosi hanya dengan Jakra saja, tapi melihat wajah bahagia mereka seketika murka dan amarahnya naik ke ubun-ubun. Di saat dia sedang sendirian menunggu kedatangan mereka di meja makan, mereka malah menampilkan wajah tak berdosa saat memasuki rumah ini.

"Sampai kapan kalian bersikap kayak gini? Sampai kapan kalian mengabaikan aku!" Ucap Artika setengah berteriak menahan emosi.

Ia tak lagi sesabar itu tiap kali menyambut kedatangan mereka. Sudah saatnya mereka tahu bahwa ia marah dan kecewa atas pengabaian mereka kepada dirinya.

"Tika, Kamu apa apaan sih? Kami datang malah di sambut dengan marah-marah seperti ini." Balas Jakra berusaha tak terpancing.

"Ohh jadi aku tak boleh marah saat kalian abaikan heh. Kalian bersenang-senang di luar sana sementara aku kalian lupakan. Aku istrimu Mas, Bunda mu Gerry dan kau Syani, semenjak kau masuk ke rumah ini pernikahan ku jadi kacau!!!" Teriak Artika seperti orang kerasukkan sambil menunjuk mereka satu persatu dengan wajah memerah.

Kesadaran Artika hilang saat emosi sudah menguasainya. Gerry tampak terkejut sedang wajah Syani terlihat pucat mendapat bentakan seperti itu tiba-tiba, pertama kali pula. Tak pernah ada yang memarahinya seperti ini. Jadilah ia refleks meremas lengan Gerry yang kebetulan berada di sampingnya.

Jakra mengernyit, Inikah sisi lain istri yang ia nikahi. Yang pernah ia puja dulu. Ia memandangi wajah anak-anaknya bergantian seraya mengelus rambut mereka guna mengurangi ketegangan. Terutama Syani yang tampak pucat ketakutan.

"Gerry, Syani masuk ke kamar kalian. Biar Bunda Ayah yang urus." Perintah Jakra yang langsung dituruti mereka.

Dengan langkah cepat Syani bergegas memasuki kamarnya sedang Gerry memandangi kakaknya itu dengan wajah iba.

"Apa yang kamu mau Tika!! Tiba-tiba marah dan membentak gak jelas kayak gini." Bentak Jakra.

"Mau aku, kamu tanya apa mau aku. Hahaha, aku udah ngalah lama mas. Kalian abaikan, gak peduli kan. Apa salah aku heh? Aku udah mau berubah malah kalian sakiti seperti ini. Kamu sadar gak mas, sejak kita kembali kesini dan kamu bertemu masa lalu itu, kamu berubah, berubah!!" Teriak Artika lagi.

Ia tak lagi menahan diri untuk mengeluarkan semua kekesalannya dihatinya. Sudah saatnya suami dan anaknya tahu bahwa ia bukanlah Isyara yang terima saja saat di abaikan dan di injak-injak.

"Kamu.. kamulah yang harusnya sadar diri Tika. Kamu yang berubah tepatnya setelah Gerry lahir. Atau itulah diri kamu yang sebenarnya, semua sikap manis kamu tunjukkan dulu itu cuma topeng." Sarkas Jakra.

Artika tertawa, tertawa hambar karena dia tak tahu apa yang lucu.

"Aku begitu buat kamu Mas, aku gak mau kamu berpaling. Ingat kamu milih aku dan menceraikan Isyara karena penampilan aku. Mati-matian aku menjaga itu, karena aku tak mau bernasib sama seperti mantan istrimu itu. Kamu sadar gak?

Aku bahkan bersedia hamil Gerry atas keinginan kamu padahal aku belum mau, aku belum siap. Aku masih ingin lebih lama menghabiskan waktu berdua bersama kamu, aku tidak suka bentuk tubuh yang aku jaga sejak lama harus berubah gara-gara hamil, tapi demi kamu aku bersedia. Maka itu.. setelah anak itu lahir, kamu setuju menyewa dua baby sitter untuk mengasuhnya, sementara aku bisa fokus mengembalikan penampilan aku yang rusak akibat hamil dan melahirkan. Itu buat kamu mas." Bela Artika mencoba meraih kembali perhatian suaminya.

"Kamu sakit Tika. Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan. Ini sudah gak bener, sekarang aku tanya apa mau kamu? Pernikahan kita semakin sulit untuk dipertahankan Tika, aku gak mau, aku gak bisa bertahan, menghabiskan sisa umur ku bersama wanita egois seperti kamu, yang selalu mengedepankan keinginan sendiri bahkan mengabaikan aku dan Gerry anakmu atas nama penampilan atau lebih tepatnya keegoisan kamu!" Balas Jakra dengan wajah memerah.

Jakra tak akan menahan diri lagi, dia sudah lelah. Ia tak peduli harus mendapatkan gelar duda dua kali daripada bertahan di pernikahan tanpa jiwa seperti ini.

"Ohh, gak segampang itu Mas. Aku gak mau cerai sebelum aku membalas kamu, anak kamu dan wanita itu!" Teriak Artika

"Hahaha, sadar diri Tika. Harusnya dia yang membalas kamu. Kamu orang ketiga diantara kami dan aku pria bodoh yang terjebak denganmu. Aku terlalu bodoh untuk sadar bahwa aku telah membuang sebutir berlian demi batu kali." Sarkas Jakra.

"Batu kali, aku yang berlian, dia yang batu kali. Wanita udik sepertinya tak pantas dibilang berlian. Kau tahu aku lebih baik daripadanya, ingat akulah yang membuatmu berpaling darinya."  Balas Artika.

"Yah, aku sangat tolol saat itu, bisa-bisanya aku tergoda dengan semua kepalsuanmu dulu. Apalagi sekarang, dengan wajah hasil suntikan, dada dan bokong silikon hasil dari uangku, bisa apa kamu tanpa uangku Tika? Semua yang melekat di tubuhmu itu hasil kerja keras dan keringatku. Apa itu yang kamu banggakan?

Sedang dia, tanpa sepeserpun bantuan ku tetap bersinar. Menghidupi dan merawat anak yang aku abaikan sejak kandungan hingga sekarang. Tanpa bantuan ku." Balas Jakra setengah frustasi, karena memang ia sadar apa yang terjadi hari ini salahnya juga.

Artika terdiam. Ucapan Jakra benar, bisa apa dia tanpa uang Jakra, walaupun memang sudah kewajiban Jakra menafkahinya tapi tak dipungkiri jika uang ia pergunakan sangat berlebihan untuk disebut nafkah. Hanya beberapa tahun belakangan ini saja ia baru menerima sesuai nafkah itupun sudah mengeluh. Karena wajahnya butuh di suntik filler enam bulan sekali, dada dan bokongnya juga perlu perawatan berkala, belum lagi krim wajah dan perawatan tubuh rutin tiap bulannya. Dua puluh juta hanya cukup untuk perawatan saja, tanpa bisa hangout, apalagi berbelanja.

Artika terdiam ia sadar jika kehilangan Jakra berarti kehilangan pemasukan dan hidup mewahnya. Bukankah ini yang ia incar sejak awal, hidup nyaman walaupun harus menjadi perusak rumah tangga orang. Karena itu ia membutakan nurani dengan menjadi perebut suami orang.

"Kenapa diam? Sadar kalau ucapan aku benar? Hahaha, murahan sekali kau Tika, hanya ada uang dan uang diotakmu. Bahkan aku dan Gerry tak pernah sekalipun kau pedulikan. Pernahkah kau menyiapkan pakaian kerjaku dan Gerry? Menyiapkan kopi, teh atau susu menyambut kami? Memijit pundak ku saat aku lelah, meluangkan waktu untuk kami? Terutama Gerry, pernah kah kau merawatnya, memandikannya, membersihkan kotorannya, mengganti popoknya, menemaninya hingga tertidur bahkan memberinya ASI? Pernahkah!" Sarkas Jakra.

"Tidak, tak pernah Tika. Kau wanita egois tak tahu diri. Sepuluh tahun aku mengalah mengikuti seleramu. Bahkan memakan makanan yang tak sesuai dengan lidah ku tanpa keluhan. Apa kau tahu makanan kesukaan ku? Makanan kesukaan Gerry? Tidak Tika. Kau hanya tahu menyenangkan dirimu sendiri. Aku lelah, secepatnya akan aku urus perceraian ini. Kau tetap akan dapat harta gono gini, tenang saja. Tapi maaf aku tak akan memberi banyak. Karena kau tak berjasa apapun dalam hidupku kecuali satu. Melahirkannya Gerry." Jakra meninggalkan Artika yang terdiam mematung.

Air mata penyesalan deras mengalir di pipinya. Dia baru sadar jika dirinya seburuk itu. Layakkah ia disebut istri apalagi Bunda. Artika menangis tergugu, sambil berteriak. Memukul dadanya guna mengurangi sesak dan rasa sakit di jantung nya. Ia menyesali sikapnya yang terlalu meledak malam ini, jika saja ia bisa lebih bersabar, mungkin Jakra tak akan sampai mengancamnya seperti ini. Artika terus menangis menyesal, hingga akhirnya ia terlelap di sofa ruang tamu.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang