Tiga

4.6K 516 17
                                    

Malam ini untuk pertama kalinya Syani tak bisa memejamkan mata, bukan karena kamar tidurnya yang tak nyaman. Kamar disini malah sangat bagus, lebih luas dan ranjangnya empuk dibanding springbed yang ada di kamarnya apalagi ada kamar mandi didalam kamar jadi ia tak perlu mengantri saat akan mandi atau buang air.

Interior kamar ini juga lebih terasa kesan mahalnya di banding kamar yang ia tempati dirumah ibu, kamar berukuran 3x3 meter, hanya ada lemari dua pintu yang satu set dengan meja belajarnya yang berwarna putih dengan corak bunga kecil berwarna pink. Bukan barang murahan juga sebenarnya tapi jauhlah jika dibanding kamar ini.

Beberapa kali ia membolak-balik badannya mencari posisi yang nyaman agar bisa segera terlelap tapi tak berhasil. Matanya tak bisa diajak kerjasama kali ini. Padahal Syani itu tipe yang paling gampang tidur istilahnya pelor, asal nempel langsung molor. Apakah ini karena ia menyakiti ibunya. Tidak tidak, itu tidak mungkin, ibunya sedih itu pasti tapi paling beberapa hari rasa sedih itu sudah hilang. Ia juga belum berniat pulang untuk sekarang entah hingga kapan. Syani sudah lelah di hina dan diejek oleh teman-temannya yang sok kaya itu, walaupun Rara selalu membela dan berada disisinya. Syani belum puas sebelum membalas mereka, hinaan tentang anak haram, anak pelakor yang sering mereka lontarkan masih terasa perih melukai hati Syani.

Kini saatnya ia tunjukan kalau hidupnya sempurna, punya ayah kaya raya, bunda tiri yang menyayangi dan bisa membeli segalanya bahkan lebih mahal dibanding milik mereka. Jika ia masih berada dirumah ibu, itu tak akan mungkin terjadi. Syani ingat saat ia mengadu soal dia mendapatkan bulian verbal kepada ibunya, ibunya hanya menyuruhnya bersabar dan tak terpancing untuk melawan. Jika kelewatan laporkan guru BP. Hahh, bukannya menyelamatkan masalah, yang ada Syani akan dibuli lebih parah saat ia melaporkan ke guru nanti. Salah satu temannya sudah membuktikan. Jadi keputusan nya untuk pindah bersama ayah dan bunda memang tepat.

*****

"Pagi ayah, bunda." Sapa Syani saat berada di meja makan.

Subuh tadi Syani baru bisa tertidur jadi ia sebenarnya masih agak mengantuk saat turun sarapan. Terdapat roti panggang dan beberapa jenis selai diatas meja. Syani mencari menu lain, ia tak bisa sarapan itu, lambung nya perih jika memakan roti di saat perut kosong. Dia hanya bisa makan roti setelah perutnya terisi nasi. Karena itu ibu selalu membuat kan olahan nasi jika sarapan sekaligus bekal buat makan siang.

"Sarapan Syani." Ajak bunda Artika.

"Mm, nasi gak ada?" Tanya Syani berhati-hati.

"Disini gak ada yang sarapan nasi Syan, mulai hari ini biasain sarapan roti ya. Buat perutnya gak kampungan lagi." Ujar Artika sembari bercanda.

Nyatanya kata-kata itu cukup membuat telinga Syani sakit, secara tak langsung bunda mengejeknya kampungan. Syani melirik ke kursi ayahnya, namun lelaki itu tak bergeming untuk menegur istrinya.

'Tidak apa, bunda cuma bercanda, karena bunda gak tau lambung aku gak bersahabat sama roti buat sarapan.' Batin Syani.

Agar tak menambah kecanggungan, terpaksa Syani memakan roti panggang yang sudah terletak di atas meja. Hanya roti tanpa selai.

"Gak pakai selai?" Tanya Jakra.

"Enggak yah, ini aja. Umm aku berangkat duluan ya yah, soalnya jarak dari sini ke sekolah lumayan jauh, jadi aku harus jalan pagi-pagi." Pamit Syani, sengaja mencari alasan agar tak menghabiskan sepotong roti panggang itu.

Benar saja, baru tiga kali menelan roti yang rasanya sebenarnya enak itu perutnya terasa perih. Segera Syani menuangkan air putih ke gelasnya. Sebenarnya ada susu cair di depannya, namun Syani tak bisa meminumnya, karena ia bisa muntah dan diare jika memasukkan susu di saat lambungnya terasa perih. Lambung Syani memang bermasalah dari kecil karena itu ia tak bisa memberi sembarang asupan untuk tubuhnya, atau tubuhnya akan menolak secara langsung seperti sekarang ini.

"Kenapa gak diminum susu nya.."

Teguran Artika terhenti saat Syani buru-buru berdiri. Wajah syani terlihat agak pucat saat dia mencium tangan ayah dan bunda nya bergantian.

"Bareng ayah aja, ayah antar sekalian sama Gerry." Ajak ayahnya, yang langsung berdiri mencium kening istrinya tanda pamit.

"Bekalnya Syan?"

Rupanya Artika juga sudah menyiapkan bekal untuk dia dan Gerry, semoga saja isinya nasi, jadi dia tak perlu jajan kekantin. Karena Syani tak mempunyai uang sepeserpun. Dengan senyum tipis Syani menerima bekal dari Artika tak lupa mengucapkan terimakasih. Jakra mengantar Gerry lebih dahulu karena lokasi sekolah Gerry lebih dekat dibandingkan sekolahnya.

Gerry adalah anak ayah dan bunda, usianya dua tahun dibawah Syani. Tak lama lagi usia Syani 13 tahun, dia sekarang kelas 7 sementara Gerry kelas 5. Dua puluh menit kemudian mobil yang dikendarai Jakra sampai di dekat pintu gerbang sekolah Syani. Syani segera turun dari kursi penumpang belakang kemudi karena tadi Gerry duduk di samping ayahnya. Namun baru hendak membuat pintu Jakra memanggil Syani lalu memberikan enam lembar uang kertas dengan nominal tertinggi kepadanya.

"Ini apa yah?" Tanya Syani bingung memandang uang sebanyak itu untuk pertama kalinya.

"Jajan kamu buat seminggu, dipakai yang bener ya." Jakra mengusap kepala Syani sambil menyerahkannya uang itu ke tangannya.

"I..ini.. kebanyakan yah." Cicit Syani.

"Diterima aja, kalau berlebih kamu bisa tabung. Selamat belajar putri ayah."

Syani terharu, baru kali ini ia merasakan kasih sayang seorang ayah secara nyata, matanya berkaca-kaca saat keluar dari mobil tadi. Syani semakin yakin keputusan yang diambilnya memang tepat. Uang jajan yang berlimpah, diantar mobil mewah, punya orang tua lengkap, ini benar-benar sempurna untuknya. Hingga dia lupa bahwa ada satu hati yang sangat tersakiti oleh keputusan nya.

Disaat Syani keluar dari mobil mewah itu, banyak siswa berhenti, memandang Syani dengan penasaran. Dan saat itu, Syara yang sedang mengantar Rara menggunakan motor matic nya hanya bisa terdiam. Seketika nyeri di dadanya kembali terasa. Senyum manis yang Syani tampilkan saat keluar dari mobil yang membawanya itu, sudah lama tak Syara lihat. Terakhir kali saat Syani masih menginjak kelas 5 SD.

"Ibu gak papa?"

Teguran Rara menyadarkan Syara dari kesedihan yang kembali dirasakannya.

"I..ibu baik Ra, belajar yang rajin ya." Syara menyerahkan kotak bekal untuk Rara.

"Buat aku Bu, makasih." Rara reflek memeluk Syara dengan rasa bahagia yang kentara.

Ini pertama kalinya Rara dibuatkan bekal setelah mamanya meninggal lima tahun lalu. Setelah itu Rara memaksakan diri untuk bisa mengurus dirinya karena saat itu kondisi papa sedang terpuruk. Jangankan mengurus Rara, mengurus dirinya sendiri saja tidak bisa. Jadi sejak itu Rara tumbuh menjadi anak mandiri. Saudara ayah dan ibunya jauh dari sini mereka tak bisa tinggal bersama dia dan papa karena mereka punya keluarga masing-masing.

Rara kenal dengan Syani sejak awal masuk SMP, baru memang tapi mereka langsung cocok dan nyambung untuk berteman. Mungkin karena keadaan dan kondisi mereka yang mirip jadi bisa saling mengerti. Rara selalu  iri melihat bekal Syani, karena tak ada yang memasakkan nya dirumah, jadi tiap istirahat dia membungkus makanan di kantin untuk dimakan bersama Syani. Berkebalikan dengan Rara, Syani malah sering mengeluh dibawakan bekal setiap hari, ia merasa seperti anak TK. Karena itu kadang mereka bertukar makanan saat istirahat. Dan Rara yang sudah lama tak merasakan masakan rumah langsung jatuh cinta dengan masakan ibunya Syani. Rasanya enak sekali. Kini dia merasakannya langsung, tanpa perlu bertukar makanan lagi.

                              *****
Selamat Idul Adha bagi yang merayakan nya. 😊

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang