Dua Puluh Lima

4.1K 448 10
                                    

Dengan ragu Syara memberikan bayi Arkan kepada Artika, bayi yang masih belum memakai bawahan itu awalnya tersenyum menggemaskan di pangkuan Syara. Begitu sadar ia dipindahtangankan raut wajah bayi itu perlahan berubah hingga tak lama terdengar teriakan dan tangisan. Arkan meronta saat Artika mencoba menenangkan di pangkuannya.

Gerakan Artika sangat kaku, bahkan Gerry terlihat lebih cekatan membujuk Arkan yang menangis ketimbang Artika. Wanita itu hanya terdiam dengan raut bingung. Yah bagaimana bisa ia tahu cara mendiamkan atau membujuk bayi berhenti menangis sementara ia tak pernah melakukan itu.

Suara tangis bayi Gerry saat itu ibarat suara radio rusak yang memekakkan telinga saat ia mendengarnya. Alih-alih tergugah, ia malah menjauhi sumber keributan itu dulu.

Segera Syara mengambil alih Arkan dari Artika, menggendongnya sembari mengelus punggung tubuh lembut bayi itu sambil mengalihkan pandangan Arkan agar tangisnya berhenti.

"Adiknya Abang kenapa?" Sahut Gerry saat tiba di ruang tamu dengan popok kain bermotif lucu yang mirip diaper sekali pakai itu beserta celananya.

"Biasa, ketemu orang baru Bang, jadi kaget dianya." Jawab Syara.

Dengan cekatan Syara memasang popok dan celana itu. Arkan sudah berhenti menangis saat melihat Gerry. Bahkan menjulurkan tangannya minta digendong Gerry. Anak berusia 12 tahun itu tentu saja menerima dengan senang. Lalu membawa kembali Arkan ke ruang tengah menyusul kedua kakaknya yang mengerjakan soal sambil berbincang.

Interaksi Gerry anak tunggalnya dengan Arkan dan Syara terlihat natural. Bahkan jika Artika ini orang asing, ia takkan ragu menganggap Gerry adalah anak wanita di depannya ini. Sikap hangat anaknya yang tak pernah ia dapatkan, akankah bisa ia rasakan saat memutuskan berubah nanti. Ah tidak nanti, mulai saat ini ia akan berubah.

"Jadi apa yang membuat Mbak mampir ke sini? Selain meminta maaf tadi."

Artika yang sering melamun akhir-akhir ini, agak terkejut mendengar pertanyaan Syara barusan.

"Saya ingin main-main ke sini, saya penasaran apa yang membuat anak-anak bahkan suami ehm.. calon mantan suami saya maksudnya betah berlama-lama disini."

"Udah ketemu jawabannya mbak?"

Artika mengangguk, Isyara memang luar biasa, ia bisa menyambut kedatangan Gerry dengan tangan terbuka padahal ia tahu Gerry adalah anak dari wanita yang merebut suaminya. Bahkan ia bisa berbesar hati memaafkan Jakra dan juga dirinya. Mengingat kesalahan mereka yang tak bisa di pandang sebelah mata. Seandainya posisi ia di balik, bukan tak mungkin ia akan melempari suami, selingkuhan dan anak mereka dengan apa saja yang ia temukan dan mengusir dengan kata-kata kasar.

"Saya iri, ingin seperti kamu tapi mengingat itu bukan sifat saya jadi sepertinya sulit untuk meniru kepribadian kamu." Artika tersenyum tipis.

"Tak perlu jadi orang lain, jadi diri Mbak sendiri saja. Perbaiki kebiasaan buruk Mbak, berubah menjadi versi lebih baik dari sebelumnya, itu sudah cukup." Saran Syara.

"Kamu mau berteman dengan saya Isyara?" Tanya Artika pelan.

Baru saja tadi ia merasa tak layak berteman dengan Syara tapi kini ia memintanya lagi. Karena sebenarnya Artika itu sendirian, sendirian dalam arti yang sebenarnya. Ia memang sering kumpul mengikuti segala kegiatan grup sosialitanya. Tapi grup itu tak lebih dari sebuah cangkang kosong. Terlihat akrab, dekat, ramah dan menyenangkan saat berkumpul namun semuanya tahu jika itu hanyalah palsu. Topeng pura-pura yang dipasang oleh hampir setiap anggota mereka, karena nyatanya tak ada yang benar-benar berteman sini.

Ah, mungkin ada tapi hanya segelintir. Karena kebanyakan dari mereka hanya sibuk memamerkan koleksi dan kekayaan guna mendapat pengakuan dan pujian. Berlomba-lomba memperlihatkan siapa diantara mereka yang lebih kaya, lebih mewah, dan lebih bahagia hidupnya.

Apalagi sudah lama ia tak pernah mengunjungi grup itu lagi, mereka mendepaknya secara halus. Awalnya ada beberapa anggota yang mengaku dekat dengannya itu masih menghubungi dan bertanya, tapi saat mengetahui kenyataan kenapa ia tak bisa ikut, mereka hanya berkata.

'Oh, ya sudah gak apa, nanti kalau kondisi kamu udah normal ikut gabung lagi ya. Bukannya apa Jeng Tika, kan Jeng Tika tahu kalau sekali ngumpul itu kita bisa menghabiskan berapa. Gak usah dipaksakan Jeng Tika kan harus berhemat ya.'

Hanya itu tanggapan mereka. Padahal ia tak pernah bilang kondisi ekonomi keluarganya sedang sulit. Hanya karena mendengar bahwa ia mendapat jatah bulanan yang tak seberapa di mata mereka, dengan gampangnya mereka menyimpulkan seperti itu. Dan yah itu salah Artika juga, ia kira mereka sudah sedekat itu dulu, mengingat ia sering menghabiskan waktu bersama mereka ketimbang bersama keluarganya. Tapi nyatanya nilainya tak lebih dari sebuah kekayaan.

"Akan saya coba Mbak. Tapi jangan berharap lebih pada saya. Saat ini saya hanya bisa mendoakan agar Mbak bisa mendapatkan teman yang tulus selain saya." Jawab Syara tanpa ragu.

*****

"Mereka sudah resmi bercerai?" Tanya Bagas.

Saat ini Isyara dan Bagas sedang berbaring di atas tempat tidur melakukan pillow talk. Kebiasaan yang sejak awal menikah selalu mereka lakukan. Dan rasanya memang nyaman bercerita sembari berbaring di samping suami tercinta. Berpandangan-pandangan dengan tangan suami membelai rambut sebahunya.

"Masih beberapa kali sidang lagi kata Gerry Mas." Jawab Syara sambil meremas lembut lengan kekar suaminya.

"Gimana perasaan kamu?" Pancing Bagas penasaran.

"Sedih lah Mas, aku kasian sama Gerry, anak itu jadi korban orang tuanya. Walau aku tahu kalau rumah tangga mereka gak baik juga selama ini. Tapi anak itu terlihat terluka." Tanggap Syara bijak.

"Kalau perasaan kamu dengan mantan suami kamu gimana?" Pancing Bagas lagi.

Karena entah kenapa mendengar berita ini ia jadi merasa was-was. Syara memang wanita setia yang bisa menjaga kehormatan dirinya dan keluarga. Tapi ia tak bisa mempercayai Jakra. Apalagi tatapan Jakra kepada Syara setiap kali dia berkunjung saat menjemput anak-anaknya, seolah menyiratkan penyesalan, rindu, dan cemburu. Tak mungkin ada rasa cemburu kalau tak ada cinta bukan.

"Kenapa tanya begitu? Mas aneh ih." Gerutu Syara.

"Ahh, jangan bilang Mas kepikiran aku bakal balikan sama Jakra. Ihh gak ada sedikitpun aku berpikir kesitu Mas. Bahkan jika status kami sama-sama janda duda. Aku trauma sama dia, kilasan memori menyakitkan itu masih setia melekat di otakku." Lanjutnya menyakinkan.

"Gimana Mas gak khawatir Sya, mantan suami kamu jadi single, mana dia lebih tampan dan kaya dari Mas. Itukan harapan banyak perempuan , punya lelaki kaya dan tampan." Jelas Bagas sambil memeluk lembut Syara.

"Sayangnya itu bukan aku. Aku udah punya suami ganteng, keren, pekerja keras, sabar, bertanggungjawab, penyayang dan yang paling penting aku cinta suamiku. Lelaki lain gak ada apa-apanya di mata aku dibanding kamu Mas." Ujar Syara.

Ia tak menyangka bisa segombal ini. Walau sebenarnya itu bukan gombalan. Itulah yang dirasakannya saat ini, jujur tanpa dibuat buat apalagi ditambah tambah.

Senyum sumringah merekah di bibir Bagas, ia tak menduga perkataan istrinya barusan mampu membuatnya serasa terbang ke angkasa, merasa sangat bahagia, bahkan raut bahagia terus mengembang di wajahnya. Tanpa ragu ia menciun tempat keluarnya kalimat indah istrinya itu. Hingga akhirnya tertunailah hak dan kewajiban sepasang suami-istri yang sebelumnya tak mereka rencanakan.

Menukar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang