Menu sarapan dan makan malam dirumah ini sangat tak biasa di lidah Syani. Cara makannya pun aneh. Dan kembali tak ada nasi dihidangkan disini. Beruntung siang tadi sepulang sekolah tadi ia sudah makan nasi Padang sebelum sampai dirumah dan menu malam ini ada daging panggang yang dimakan dengan kentang tumbuk, buncis dan wortel rebus yang dipotong memanjang.
Makannya pun pakai garpu dan pisau. Rasanya hambar, hanya terasa garam dan lada, Syani tak suka. Tapi lagi-lagi ia tak bisa protes. Syani orang baru disini, mau tak mau dia yang harus menyesuaikan diri.
Melihat Syani makan dengan tak berselera, Jakra langsung menegurnya."Kenapa gak di makan Syan? Gak suka?" Tanya Jakra.
Syani langsung memandangi bunda yang menatapnya kaget lalu beralih ke ayahnya sambil menggelengkan kepala.
"Aku gak biasa makan ini dirumah yah, biasanya ibu masak nasi sama sayur dan lauk." Ringis Syani sambil menunduk menatap makanan didepannya.
Terdengar suara garpu dan pisau yang sengaja di hentakkan. Yang ternyata itu berasal dari adik tirinya Gerry.
"Aku udah kenyang, aku langsung ke kamar ya ngerjain PR." Tanpa menunggu tanggapan ayah dan bunda, Gerry bergegas pergi meninggalkan meja makan.
Daging panggang di piring Gerry masih tersisa separuh. Syani melirik ke arah bunda, memperhatikan ekspresi wajahnya. Wanita itu tampak kecewa. Jadi mau tak mau Syani harus menghabiskan makanannya agar tak membuat bunda bertambah kecewa. Suasana meja makan kembali hening. Sepertinya penghuni rumah ini menyukai keheningan.
Di kediaman berbeda suasana juga terasa hening. Hanya ada Syara sendirian menikmati makan malamnya. Ia sebenarnya tak bernafsu namun mengingat makanan malam ini hasil susah payah Rara belajar memasak padanya jadi mau tak mau ia telan habis menu makanan dihadapanya. Tak banyak dan mewah memang, hanya ada tumis kangkung, cumi goreng tepung dan sambal terasi. Awalnya Rara ingin menemani Syara juga malam ini, namun Syara tolak. Karena dia tak enak dengan Bagas. Lelaki itu juga hanya mempunyai seorang putri sama seperti nya. Sambil makan Syara mengingat obrolannya dengan Rara sore tadi.
"Ibu, masih sedih ya?" Tanya Rara.
Gadis polos dan lugu yang dipaksa dewasa oleh keadaan.
"Udah berkurang berkat Rara, makasih ya." Syara mengelus lembut rambut Rara.
"Istirahat tadi, Rara masih makan bareng sama Syani Bu, terus...." Rara terus berceloteh menceritakan tentang kegiatan nya bersama Syani.
Entah sengaja atau tidak Rara tidak menceritakan hal lain selain Syani seharian ini. Tapi Syara merasa anak itu sengaja memberitahukan ini agar Syara tak khawatir dan sedih. Rara memang gadis kecil yang istimewa. Segampang ini hatinya dibuat jatuh oleh sifat istimewa gadis kecil itu.
******
Kembali Syani menyiapkan dua bekal sebelum berangkat mengajar. Jika biasanya ia membuat itu untuk Syani, kali ini untuk Rara. Hari ini Syara akan mengantar langsung ke sekolahnya. Sekalian ia berharap bisa melihat Syani dari kejauhan untuk mengurangi rasa rindu kepada putri kecilnya yang keras kepala itu. Sudah seminggu Syani meninggalkan nya, tak sekalipun anak gadis itu menghubungi nya. Begitu menyenangkan kah hidup mewah dengan keluarga lengkap, hingga kebersamaan mereka selama 12 tahun ini tak ada artinya.
Se menderita itukah hidup Syani dengannya, hingga tak sudi menghubungi ibu yang melahirkan dan membesarkan dengan penuh darah dan peluh. Tak tergambarkan lagi rasa sedih dan kecewa akan sikap anaknya itu. Tapi sebagai ibu yang baik, Syara tak ingin memaksa. Ia tak mau anak itu semakin jauh membencinya. Jadi yang Syara lakukan hanya berharap dan melihat dari jauh seperti ini.
Syara sudah sampai di dekat gerbang sekolah, ia memarkirkan motornya dibawah pohon besar. Satu persatu siswa berseragam memasuki gerbang sekolah. Ia berharap Syani datang lebih dulu dibanding Rara. Hingga tampak sebuah mobil mewah berwarna hitam yang dikenali Syara melewatinya. Tak lama tampaklah wajah seseorang yang Syara rindukan keluar dari mobil mewah itu. Setetes air mata jatuh di pipinya. Rasa rindu itu menyesak kan tapi lebih menyesakkan hati melihat anak yang di lahirkan dan dibesarkannya terlihat lebih bahagia hidup bersama orang yang mencampakkan mereka dulu.
Syara semakin merasa rendah diri, nyatanya perhatian dan kasih sayang tak berarti apa-apa jika tak punya harta melimpah dan keluarga yang lengkap. Detik itu juga Syara berjanji untuk mengikhlaskan putrinya bahagia bersama sang ayah.
"Ibu.."
"Mbak Syara.."
Panggil dua suara secara bersamaan membuat Syara mengalihkan wajahnya sebentar untuk mengusap air mata yang mengalir di pipinya tadi. Walaupun ia berlindung dibawah pohon, ia yakin jejak air mata itu masih bisa terlihat oleh dua orang yang memanggilnya tadi, yang masih berada di dalam mobil SUV berwarna silver itu.
"Mas Bagas, Rara." Syara tersenyum Bergerak turun dari motornya mendekati Rara dan Bagas yang turun dari mobilnya.
"Ibu kenapa kesini?" Rara lebih dulu bertanya.
Syara langsung menyerahkan kotak bekal ke Rara yang langsung diterima oleh gadis itu.
"Buat Syani ya Bu, nanti Rara sampaikan." Ujar Rara.
Rara dan Bagas tiba selang beberapa menit setelah Syani tiba, jadi mereka masih bisa melihat Syara yang memandang Syani dari kejauhan dengan raut sedih tadi. Jadi Rara mengira bekal itu untuk Syani.
"Bukan, buat Rara. Ibu sengaja mau ngantar kesini tapi gak ngabarin Rara dulu. Ini makanan kesukaan Rara." Ucap Syara sambil tersenyum.
Rara langsung mencium punggung tangan wanita itu dan mengucapkan berkali-kali terima kasih. Sebelum berjalan masuk ke sekolah. Rara tersenyum sumringah saat tahu Syara sengaja memasak makanan kesukaannya untuk bekal kali ini. Karena beberapa kali Syara memasak makanan kesukaan Syani untuk bekalnya. Makanan Korea yang digilai remaja jaman sekarang kecuali Rara.
"Mau langsung ngajar mba Syara?" Tanya Bagas saat melihat Syara sudah berada diatas motornya bersiap pergi.
"Iya mas." Jawab Syara sambil tersenyum tipis.
"Makasih sudah nyiapin bekal buat Rara." Ucap Bagas tulus.
"Sama-sama, sayanya juga suka kok dan saya juga mau minta maaf sama mas." Rara meringis tak nyaman sambil menunduk.
"Minta maaf? Ada yang salah kah?" Tanya Bagas penasaran.
"Saya..." Syara nampak terdiam, lidahnya tiba-tiba kelu, bingung harus berkata apa agar lelaki didepan nya tidak tersinggung.
"Selesai ngajar jam berapa mba? Bisa kita ketemuan? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan, dan sepertinya mba juga." Putus Bagas saat melihat Syara terlihat bingung.
"Nanti saya yang hubungin mas ya. Biar kita ketemuan dimana gitu agar kita bisa leluasa bicara." Balas Syara.
Bagas tersenyum sambil terus memperhatikan wanita yang sudah pamit dan berlalu dari hadapannya beberapa detik tadi. Dia berharap kali ini usahanya berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menukar Hidup
ChickLitTak selamanya kalimat tak apa hidup sederhana asal bahagia itu relevan dengan yang Syara rasakan. Karena nyatanya sang anak lebih memilih kemewahan daripada kesederhanaan. Meski anaknya tahu, bahwa lelaki yang mengaku ayah itu telah mencampakkan dan...