LSoBT ~ 16

241 36 6
                                    

"Demi Tuhan, aku sudah berjanji untuk melupakanmu. Namun, Tuhan kita punya kisah yang lain dan lebih pasti."

Bintang Alaska

🕊🕊🕊

"Lo tau? Kenyataan bahwa lo adalah anak sulung om Crish, merupakan sebuah jalan untuk gue bisa lepas dari pertunangan gue dan Raisa."

Masih terngiang jelas perkataan Bintang tadi. Sejak pulang dari gereja, Bulan hanya diam. Hanya sesekali ia menimpali percakapan mama dan papanya. Saat ini, mobil baru saja berhenti di depan pintu utama rumah tuan Crish. Mereka bertiga turun dari mobil itu. Tanpa diberi perintah, seorang pelayan laki-laki menghampiri majikannya dengan tergesa. Memberikan sikap tunduk pada mereka.

"Selamat datang, Tuan, Nyonya, dan Nona Muda," sapa pelayan tersebut. Namanya Deni, seorang muslim yang bekerja di rumah orang kristiani. Tak sedikit pelayan muslim yang bekerja di rumah itu. Mereka semua juga mendapat hak dan kebebasan tentang keyakinannya.

"Bawa barang-barang Nona Muda ke kamar pintu biru!" Setelah mengucapkan perintah tersebut, Maria mengajak sang putri sulung masuk ke rumah. Disusul oleh Crish setelah lebih dulu menyerahkan kunci mobil ke Deni juga.

"Nah, Bulan, welcome to the home!" seru Maria ketika sampai di ruang tamu. Rangkulan di bahu Bulan pun tak ia lepaskan. Sang putri juga tak terlihat keberatan, bahkan ia merasa hangat. Sudah lama Bulan memimpikan sosok ibu kandung, dipeluk olehnya, mengobrol bersama, dan baru kesampaian sekarang.

"Mulai hari ini, Bulan akan tinggal sama Papa dan Mama. Bulan masih boleh kok mengunjungi umi di panti. Bulan juga boleh kalau sesekali mau menginap di sana. Papa dan Mama tidak akan pernah melarang," ujar Crish. Bulan tersenyum sangat manis. Gen Maria memang tidak gagal.

"Mau Mama tunjukkan rumah ini?" tawar Maria.

"Tidak usah, Ma. Perlahan, in syaa Allah Bulan akan mengenal dengan sendirinya. Boleh, Bulan ke kamar sekarang?" ujar Bulan. Maria dan Crish masih belum terbiasa dengan ucapan Bulan. Kata 'in syaa Allah' itu seharusnya diganti dengan 'Puji Tuhan', namun mereka tidak boleh egois. Meski keyakinan mereka berbeda, namun keluarga tetaplah keluarga.

"Mama antar kamu ke kamar." Maria mengajak sang putri menuju lantai dua. Tempat di mana kamar anggota keluarga berada. "Kamar kamu ada di sebelah kamar Raisa. Jadi, kalau kalian mau memgobrol, tidak akan sulit," jelasnya sambil jalan.

"Ya, kenapa harus di sini? Kenapa nggak di kamar lain aja, sih? Aku nggak mau tau, ya, Pak Deni! Pokoknya, aku nggak mau tidur bersebelahan sama anak pungut itu!" Kerusuhan itu berasal dari depan kamar Bulan. Suara Raisa terdengar jelas. Pak Deni, pria berusia tiga puluh delapan tahun itu pun hanya bisa menunduk sambil menjelaskan dengan halus.

"Maaf, Nona Muda, tapi saya hanya menjalankan perintah Nyonya," belanya.

"Raisa, ada apa? Kenapa kamu berteriak seperti tadi?" Ucapan sang mama pun tak membuat Raisa luluh. Bahkan, dia jadi lebih marah ketika melihat Bulan juga ada di samping sang mama. Belum lagi dengan tangan Maria yang menggandeng tangan Bulan. Itu sangat membuat Raisa cemburu.

"Aku bisa terima kalau anak pungut ini tinggal di rumah kita. Tapi, aku nggak bisa terima kalau kamar dia ada di samping kamar aku!" marahnya sambil menatap Bulan. Sedangkan, gadis berkerudung merah muda itu hanya menunduk gelisah. Dia tau jika Raisa pasti tak suka dengan kenyataan ini. Mengingat, Raisa sudah mulai membencinya sejak pertama kali bertemu.

"Raisa! Dia kakak kamu! Bukan anak pungut. Dan soal kamar, ini memang kamar dia. Mau tidak mau, terima atau tidak, kamar ini memang hak Bulan. Jadi, terserah kamu mau protes seperti apa pun, tapi Bulan akan tetap tinggal di kamar ini!" tegas wanita paruh baya itu. Lebih terkesan seperti bentakan jika menurut Raisa.

Love Story Of BuTa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang