LSoBT ~ 30

314 31 26
                                    

Pasca pertemuan di pesantren, Bulan memilih pulang ke panti Candralyc. Hanya umi yang bisa memahami dirinya, hanya Candralyc rumah yang paling nyaman. Jika ada sebutan bahwa rumahku istanaku, maka Candralyc adalah relevansinya.

Ada sesal yang melingkupi hati Bulan karena telah mengucapkan hak bodoh. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menyesal karena menceritakan semua itu pada Bintang. Hanya saja, ucapan bahwa dia mulai ragu dengan Tuhan-nya, adalah kebodohan yang akan selalu melekat di ingatannya. Kutuk Bulan jika hal itu kembali terucap dari mulutnya.

Kedatangan Bulan ke panti tidak menjadi pertanyaan bagi umi. Karena logikanya, Bulan mungkin berkunjung sebab rindu dengan suasana panti dan juga sang umi. Crish dan Maria juga sudah berjanji tidak akan melarang jika Bulan ingin berkunjung ke panti. Melepas rindu dengan adik-adik dan juga umi Salamah.

Tidak hanya umi yang merasa bahagia karena kembali berjumpa dengan sang putri angkat, putri yang telah dia rawat sejak kecil, melainkan juga para adik dan kakak-kakak Bulan. Mereka merasa senang karena putri Candralyc kembali dengan senyum manisnya. Saat ini, mereka semua berkumpul di halaman depan panti. Membentangkan tikar dengan disuguhi camilan dan minuman dingin. Rasanya, Bulan benar-benar menemukan surga di dunia.

"Lama banget kamu lupa sama kami di sini." Nando, kakak kedua di panti, berceletuk dan disusul tepukan dari Fery.

"Kak Nando bisa aja. Aku bukannya lupa, cuma baru sempet aja ke sininya." Bulan tertawa ringan, tawa itu juga seakan menjadi virus yang menular ke semua orang.

"Nando mah modus doang, Lan. Palingan, dia mau dikenalin tuh ke mantan rekan kerja kamu di minimarket dulu." Fery ikut berkicau, membuat Nando menerbitkan senyumnya.

"Emangnya, Kak Nando belum dapat yang pas? Kak Fery aja udah nikah." Bukannya membela sang kakak kedua, Bulan memang lebih sering bersekongkol dengan Fery.

Fery Aldiansyah, menikah tepat sebelum kelulusan Bulan. Tak banyak yang bisa Bulan ceritakan mengenai pernikahan itu. Hanya saja, yang ingin Bulan bagi adalah yang Bulan kagumi. Kakak iparnya. Putri tunggal seorang kyai. Orangnya baik, lemah lembut, penyayang, dan jangan lupakan cadar yang selalu membuat Bulan semakin terkagum-kagum. Terbesit dalam pikirannya ingin mengenakan itu, tapi Bulan masih ragu.

"Nggak usah dengerin di, Lan. Aku beneran kangen sama kamu, kok, bukan karena niat lain. Tapi, kalau emang kamu mau kenalin aku ke rekan kerja kamu itu, aku malah alhamdulillah." Tawa menggema di halaman itu, Nando tidak pernah berubah. Masih sama seperti yang dulu Bulan kenal. Bahkan, Bulan sama sekali tidak ingat, kapan dirinya beranjak dewasa dan siap melepas salah satu kakak angkatnya. Melewati masa SMA yang dulu terasa begitu lama, namun faktanya kini semua terlihat begitu singkat.

"Itu sama aja! Dasar!" Fery berdecak, gelak tawa mereka menjadi mereka.

"Kak Bulan, kemarin, aku ikutan lomba MTQ." Celetukan salah satu adik panti, mengalihkan atensi Bulan dan semua orang.

"Oh ya? Maa syaa Allah, keren dong. Terus, gimana? Lancar?" Bulan akan selalu terlihat antusias jika menyangkut orang-orang di panti ini.

"Alhamdulillah, Kak, lancar. Dan, aku menang, juara tiga." Begitu hangat hati Bulan berdesir, melihat senyum yang begitu lebar dari adik angkatnya.

"Alhamdulillah. Keren banget. Besok-besok, kalau ikutan lagi, kabarin Kakak dong. Kak Bulan, 'kan, juga mau lihat."

Perbincangan mereka terus saja mengalir. Topik demi topik tercipta secara acak. Bercerita, bergurau, hingga ashar tiba. Semua berlangsung begitu saja. Tawa mereka sama-sama tercipta untuk saling menebar kebahagiaan. Membuat rindu Bulan terobati. Membuat segala beban dan kesedihan Bulan tertutupi. Umi, kakak-kakak, dan adik-adiknya adalah semangat Bulan untuk melanjutkan hidup.

Love Story Of BuTa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang