"Pernahkah kamu mendengar tentang keluarga yang membuang anaknya? Itu terjadi pada Bulan. Namun, pernahkah kalian mendengar ada keluarga yang melupakan anak lainnya hanya karena si sulung kembali? Itu terjadi padaku."
Raisa Marrya
🕊🕊🕊
Satu minggu setelah kecelakaan itu, suasana rumah sedikit berbeda. Putri bungsu keluarga terpandang itu masih harus dirawat inap, di kamar VIP rumah sakit Medica. Seharusnya, membuat si pasien nyaman dan betah. Namun, Raisa berbeda. Gadis itu tak pernah suka pintu yang tertutup, tak pernah suka suasana kosong yang sepi, tak pernah nyaman dengan bau obat-obatan yang terus menerus masuk ke indra penciumannya.
Raisa suka kebebasan, Raisa suka keramaian, dan Raisa suka dunia luar. Bukan hanya sekadar berbaring di ranjang, mendekam di dalam ruangan, atau hanya sebatas keluar sebentar mencari angin. Belum lagi infus yang harus ia kenakan, terasa nyeri.
Satu hal lagi yang kini ia benci dari indoor. Crish dan Maria sangat jarang berkunjung. Mereka hanya akan mampir sebentar, lalu pergi karena pekerjaan atau sekadar pertemuan dengan klien. Salahkah Raisa marah? Salahkah Raisa tidak menerima ini? Perubahan sikap orang tuanya, berkurangnya perhatian untuknya, hingga obrolan antara dia dan orang tuanya yang semakin hari semakin sedikit. Ini semua karena Bulan, ya, hanya karena gadis itu. Raisa membencinya, sedari awal hingga saat ini. Mungkin, selamanya.
Kecelakaan satu minggu lalu adalah salah Bulan. Mengapa anak pungut itu ada di jok belakang tunangan Raisa? Mengapa harus saat Raisa datang? Mengapa harus di depan Raisa? Sungguh, ini sangat menyakitkan. Menyesakkan.
Bintang? Tak pernah Raisa berhenti berharap pria itu datang. Membawa bunga, parsel buah, sekadar memberikan senyuman manis untuknya, atau sekadar datang. Namun sudahlah, semua itu hanya ilusi belaka. Hanya harap yang tak pernah nyata wujudnya. Jikalau memang nyata, pastilah itu tidak tulus. Hanya paksaan dari Laskar atau siapa pun. Bintang, tak pernah menyukai Raisa.
Perhatian Raisa beralih, jendela tak lagi menjadi pusat yang menarik. Pintu kamar rawatnya dibuka, menampilkan seorang dokter bersama suster yang siap memeriksa kemajuan kesehatannya.
"Bagaimana perasaan kamu, Raisa? Merasa baikan? Atau ada yang dikeluhkan?" Dokter itu bertanya seolah tidak bisa memeriksa sendiri. Seperti biasa, Raisa berpaling. Menatap ke mana saja asal tidak ke arah dokter, suster, atau perawat yang lain.
"Keadaan kamu semakin membaik. Kemungkinan, tiga atau empat hari lagi kamu bisa keluar dari rumah sakit." Pernyataan itu mendapat atensi Raisa sepenuhnya. Dokter itu tersenyum kala menyadari, "jangan telat makan, ya? Banyakin gerak juga kakinya. Masih terasa nyeri di pergelangan kaki? Atau, kepala kamu masih sering pusing?"
Hanya gelengan, itu yang Raisa berikan. Dokter itu kembali tersenyum, maklum dengan pasiennya yang satu ini.
"Suster, apa pak Crish dan keluarganya sudah datang menjenguk?" Pertanyaan dokter itu, kenapa lancar sekali? Tidak bisakah dia menanyakan itu di luar jangkauan Raisa? Kalau seperti ini, Raisa jadi sakit hati. Sesak rasanya.
"Belum, Dok, mungkin setelah ini," jawab suster itu. Dokter itu mengangguk, memberikan senyum manis untuk Raisa. Kemudian, Raisa kembali ditinggal, dalam kesunyian yang kemungkinan abadi.
Tuhan, Raisa rindu kebersamaan keluarganya. Raisa rindu dengan papanya, mamanya, segala bentuk kasih sayang mereka. Jika diizinkan, bisakah Raisa kembali ke masa lalu? Masa di mana ia belum mengetahui kenyataan sebagai anak bungsu? Jika bisa, izinkan juga Raisa untuk mengubah kenyataan itu. Izinkan Bulan tidak pernah datang ke kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story Of BuTa (On Going)
Novela JuvenilBintang Alaska, kristiani yang juga ketua geng di sekolah. Dandelion. Bukan geng motor, hanya nama untuk sebuah perkumpulan lima pria. Bulan Alycia. Murid baru di SMA Hudara ini adalah muslimah yang berhasil menarik perhatian Bintang. Namun, si musl...