LSoBT ~ 32

252 19 4
                                    

Up ulang, ada yang penting!!
🕊🕊🕊

"Ketika dia sama sekali tak memikirkan dirinya sendiri dan ketika kebencian sang adik menjadi fokus paling dominan untuknya. Bulan, sama sekali tidak memikirkan orang lain yang mungkin kecewa."

Bulan Alycia, Love Story yang Sulit

🕊🕊🕊

Bulan hanya tidak bisa berpikir jernih ketika pilihan itu ia ucapkan. Yang ada di pikirannya hanyalah satu, luka Raisa. Menjadi penyebab seseorang terluka bukanlah hal yang menyenangkan. Bulan tidak bisa jika terus menjadi duri yang melukai adiknya sendiri. Akan tetapi, ada sesal setelah mengucapkan pilihan tersebut.

Raisa terlihat biasa-biasa saja meski setelah Bulan mengutamakan kebahagiannya. Usai satu pekan yang lalu, hari di mana Bulan mengatakan pilihannya untuk menikah--dijodohkan--Raisa sama sekali tidak merasa terlalu bahagia. Namun, bunga dalam hatinya sedikit mekar. Menularkan senyum yang tercetak di bibir ranumnya.

Yang dirasakan Maria tujuh hari lalu adalah bahagia. Namun, juga tersiksa. Sang sulung, putri yang begitu berbeda dengan dirinya, terpaksa memilih menikah dalam waktu dekat hanya karena tak ingin membuat Raisa semakin terluka. Ibu mana yang tega melihat putrinya seperti itu? Tidak ada. Namun, Maria memang harus memilih jalan terbaik. Dia harus mempertimbangkan kehidupan kedua putrinya. Jika diteruskan atau dibiarkan, Raisa dan Bulan akan sama-sama terluka. Jika Bulan sungguh memilih menikah, maka yang terluka di sini mungkin hanya Bulan.

Apakah Maria adalah ibu yang jahat? Kejam? Tak memikirkan kebahagiaan putrinya? Tidak sungguh-sungguh menebus dosanya di masa lalu? Demi Tuhan, Maria hanya ingin kehidupan yang layak untuk putri-putrinya.

Bulan, sosok muslimah yang paham agama. Pastilah bisa menghargai suatu hubungan pernikahan, dengan atau tanpa pacaran. Hal itu yang Maria pikirkan. Apakah dia sudah benar? Tuhan dan masa depan yang akan menjawab.

"Nak, keluarga pria akan datang sebentar lagi. Kamu sudah siap?" Maria datang ke kamar Bulan dengan membawa kotak merah.

"Udah, kok, Ma. Bulan udah rapi, 'kan?" Pantulan dirinya di cermin sungguh memesona. Itu yang dirinya sendiri pikirkan. Ayolah, Bulan sedang ingin meninggi hari ini.

"Putri mama cantik sekali." Maria memegang kedua pundak Bulan dari belakang, seraya meletalkan dagunya di salah satu pundak itu, "Bulan nggak melakukan ini karena terpaksa, 'kan? Kalau Bulan berubah pikiran, Bulan bisa bilang sama mama sekarang. Sebelum mereka datang, Nak." Ada sedih yang Maria tampilkan dari mata dan Bulan bisa melihatnya lewat pantulan di cermin.

"Ma, insyaa Allah Bulan melakukan ini dengan ikhlas. Demi Allah, demi Mama, dan demi Raisa. Mama hanya perlu kasih Bulan dukungan dan ridha, lewat cara Mama."

Hati Bulan begitu lembut, tak pernah ia terlihat marah dan meledak-ledek. Maria sungguh merasa bahwa ia beruntung memiliki putri seperti Bulan. Jika saja ibu mertua tidak pernah membenci keturunan perempuan, Bulan tidak akan berpisah darinya untuk waktu yang lama. Jika saja Bulan ia rawat dan asuh sejak kecil hingga sekarang, maka ia tidak akan pernah merasa kekurangan kelembutan hati dari si sulung.

"Umi kamu sebentar lagi datang. Jangan lupa minta restu dari beliau. Sebab, seperti apa pun hubungan kamu dengannya, tapi beliau tetap ibu yang sudah merawat kamu dari kecil," kata Maria.

"Tentu, Ma."

🕊🕊🕊

Bintang tidak bisa tidur nyenyak selama tiga hari terakhir. Ada saja mimpi yang membuatnya berpikir buruk, mengaitkan mimpi-mimpi tersebut dengan pertanda akan harinya yang buruk. Namun, tiga hari terakhir itu juga, belum ada sesuatu yang terjadi. Jika boleh mengatakannya dengan konyol, "Bintang sudah seperti orang bodoh yang menunggu hal-hal buruk itu muncul di hidupnya."

Sejak mengetahui Raisa yang sudah pulang dari rumah sakit, Bintang juga tidak melihat batang hidung Laskar. Bahkan, Ray pun lebih memilih sibuk di kantor. Entah untuk suatu pekerjaan ataupun hanya sekadar alasannya agar tidak berada di rumah. Bintang sama sekali tidak pernah menduga hal ini terjadi.

"Gue yang emang nggak sadar sesuatu atau Tuhan lagi baik aja ke gue?" gumamnya sambil menatap salib di dinding kamar. "Dia pasti lagi ngebujuk gue buat nggak logout. Ya, walaupun sekarang masih kepikiran buat logout."

Dering ponsel mengalihkan atensi Bintang sepenuhnya. Nama yang sangat Bintang kenali terpampang di layar. Dengan malas, cowok itu menggeser tombol hijau lalu menyalakan speaker.

"Mati lo, Bos? Nggak ada kabar tiga hari, nggak muncul juga di grup." Suara si penelepon begitu menjengkelkan.

"Bos, ayolah ke sini. Warung biasa." Suara lain menyapanya.

"Males gue, apalagi ketemu kalian."

"Kita ada info terkini soal bidadari lo. Bulan bakal nikah minggu depan."

Informasi yang mendadak, entah dari mana sumbernya. Namun, percaya atau tidak, entah benar atau tidak, informasi itu berhasil membuat Bintang termangu. Mengingat bagaimana pertemuannya terakhir kali dengan gadis itu, Bintang sama sekali tidak bisa percaya. Meski, alasan logis bisa Bintang tebak tanpa ragu. Kebencian Raisa.

🕊🕊🕊

To Be Continued

⚠️PENTING!!
Kalau Alan tanya "Mau happy ending, sad ending, atau terserah Alan" kalian jawab gimana?

See you next chapter🕊
Salam manis dari Alan💙

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Story Of BuTa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang