13

20K 1.6K 115
                                    


" Dokter Anin sudah berapa lama di Amrik?" tanya Aurel. Rekan kerja sesama dokter juga di Internasional hospital.

" Lima tahun, dok."

" Lama juga ya," sahut Rini.

Anin menanggapi dengan tersenyum. Anin mengaduk minuman dan menyedotnya.

" Saya sering baca profil dokter ketika di Amrik dulu. Saya salut loh dengan prestasi yang dokter raih. Dalam usia semuda ini dokter sudah menyandang gelar juara dokter terbaik di sana. Kurang apalagi coba."

" Ho oh. Betul. Udah cantik, baik. Siapa coba yang nggak mau sama dokter. Hanya orang-orang bodoh jika ada yang menyia-nyiakan dokter. Betul nggak?" Rini menatap teman-temannya.

" Benar banget."

" Dulu aku seorang perempuan yang bodoh." gumam Anin pelan.

" Aah dokter ini merendah sekali. Perempuan seperti dokter Anin ini adalah kandidat yang di cari-cari para lelaki di luar sana. Nggak akan ada yang menolak pesona dokter, mah."

Anin tersenyum pedih namun tidak di tunjukkannya.

"Dokter salah. Saya pernah di sia-siakan oleh seorang laki-laki."

" Serius??" Pekik Aurel.

Anin mengangguk. Yang lainnya menutup mulut.

" Siapa dok? Sini kenalkan sama saya. Udah buta kali ya mata nya. Dasar bodoh itu orang. Jangan mau kalau nanti dokter diajak balikan sama laki-laki itu."

Rini berujar menggebu-gebu. Yang lain tersenyum menatap dokter anak itu.

" Nggak mungkin lah, dok. Ia sudah punya perempuan yang di cintainya juga."

" Apa perempuan itu hadir saat dokter berhubungan dengan laki-laki itu?"

Anin terdiam. Lalu menggeleng.

" Saya yang hadir dalam hubungan mereka." Anin berekspresi tenang.

Rekan dokternya saling lirikan. Kemudian mereka tersenyum.

" Sabar, dok. Bukan jodoh. Semoga dokter Anin mendapatkan laki-laki yang benar-benar tulus dan baik."

" Plus tampan." Celetuk Aurel. Semua tertawa. Anin meng-aamiinkan dalam hati sembari mengangguk.

" Pasti ada lah mba. Itu dokter Arkan sering curi pandang sama dokter Anin." Santi yang tidak mengeluarkan suara langsung berujar. Anin mengangkat alisnya mendengar perkataan Santi. Sedangkan yang lainnya sudah heboh.

" Ho oh. Kemaren dokter Arkan juga bilang sedang memperjuangkan seseorang gitu."

Semuanya kembali heboh. Mereka tidak sadar kalau jadi bahan tatapan orang. Mereka mah cuek cuek saja. Sekalipun mereka dokter. Orang berpendidikan. Tetapi, mereka juga butuh kebahagiaan seperti ini. Anin yang jadi pembicaraan cuma menggelengkan kepala saja mendengar celetukan rekan dokter nya.

Sedang kan Alfa sudah mengepalkan tangannya mendengar pembicaraan para perempuan di belakang tubuhnya.

Alfa mendengar jelas setiap pembicaraan mereka. Alfa merasa dadanya panas. Hati nya serasa di campur aduk sekarang. Tadi dia sedih dan merasa bersalah sekarang hatinya panas membara.

Entah hal apa yang membuat wajah Alfa tidak enak di pandang mata. Alfa mencoba menetlisir emosinya. Alfa mendesah pelan kemudian menghirup udara sebanyak mungkin. Sedangkan di depannya rekan kerja masih asyik membaca dokumen perjanjian mereka.

***

" Anin."

Panggilan itu membuat tubuh Anin menegang kaku. Langkah kakinya terhenti begitu pula dengan rekan& rekannya. Mereka menatap laki-laki yang memanggil nama Anin.

" Siapa, dok?"

Anin tersenyum kemudian kembali melanjutkan langkah nya.

" Nggak kenal, dok." Jawab Anin datar. Jawaban Anin seperti menyebet hati Alfa. Perih namun tak terlihat.

Alfa memegang tangan Anin. Alfa memberanikan diri

" Maaf semua. Saya ada urusan dengan Anin. Biar saya yang antar Anin. Kebetulan kami ada masalah sedikit." ujar Alfa tidak sepenuhnya berbohong

Keberanian Alfa tidak surut walau sedang di tatap oleh Anin.

" Oh gitu. Baiklah. Bagusnya kalau ada masalah memang harus di selesaikan. Kalau begitu kita duluan ya, dok."

Anin tidak menjawab. Matanya masih menatap lekat tangannya di genggam Alfa.

Sepeninggal rekan kerjanya Anin berdesis.

" Lepaskan tanganku!"

Alfa tersentak mendengar suara Anin yang bernada dingin.

" Biar aku antar!" Alih Alfa menarik tangan Anin ke arah mobilnya.

Anin menarik tangannya lalu menepuk-nepuk tangannya seolah membersihkan tangan nya dari kotoran.

Hati Alfa sakit melihat perbuatan Anin. Dadanya berdenyut.

" Tolong jangan sembarangan menyentuh orang." ujar Anin lagi.

Anin mengangkat kepalanya. Mata mereka langsung bersirobok. Sesaat yang terjadi hening di antara mereka.

" Anin." Panggil Alfa nanar.

" Ya. Ada yang bisa saya bantu?"

Jawab Anin datar. Ia berusaha tenang dan santai menyikapi pertemuan mereka yang kedua kali. Dan pembicaraan mereka untuk yang pertama kalinya.

Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan jantung mereka berdua  selain sang empu nya. Namun mereka sama-sama tidak ingin menampak riak yang tersimpan di dalam sana.

Anin memperhatikan laki-laki di depannya. Lim tahun tidak bertemu. Tidak mendengar namanya. Tidak mendengar tentang diri seorang Alfa membuat Anin kembali seperti wanita lima tahun yang lalu. Sosok Alfa yang semakin dewasa dan matang. Tatapannya masih setajam dulu. Tidak berubah. Garis rahangnya yang semakin tampan. Bibir itu. Bibir yang sering di dambakan Anin. Badan yang semakin kekar dan tegap.

Dulu. Ya dulu sekali Anin sangat memuja laki-laki di hadapannya sekarang ini. Dua menit yang lalu Anin masih memuja nya. Seolah Anin terperosok kembali ke lima tahun silam.

" Jika tidak ada. Saya pergi. Anda membuang waktu berharga saya!"

Telak. Ucapan bernada datar namun menyakitkan itu membuat Alfa kalang kabut. Anin hendak meninggalkan Alfa namun kembali tertahan.

" Kamu berubah, Anin." Gumam Alfa.

" Setiap manusia akan berubah, Tuan. Begitu pun dengan anda."

" Tuan?" desis Alfa marah. Marah karena mendengar sebutan Anin untuk dirinya. Wajah Alfa memerah. Dadanya bergemuruh.

Saat Alfa hendak kembali berbicara. Handphone nya berbunyi membuyarkan tatapan mereka. Alfa terpaksa mengambil handphone nya dan melihat nama pemanggilnya.

Alfa menatap Anin yang tersenyum miring. Anin tahu siapa yang menelpon Alfa saat ini.

" Silahkan di angkat telpon itu. Seperti nya dari orang yang berharga." Tekan Anin membuat tubuh Alfa mematung.

Anin meninggalkan Alfa dengan langkah lebar nya. Anin menatap kurus ke depan sembari memegang erat snelli nya sambil tersenyum. Jika di perhatikan lebih dekat. Orang-orang akan tahu senyum seperti apa yang terpatri di wajah Anin.

Alfa terdiam menatap nanar kepergian Anin. Alfa tidak mencegah Anin lagi karena handphone nya terus berdering. Sedangkan Anin sudah masuk ke dalam taxy.

Tbc!

13/06/21

Satu kata untuk Alfa??

Satu kata untuk Anin?

Sedih hati ini gaes? Ada yang merasakan hal yang sama?

Siapa yang pernah berada dalam kondisi seperti ini. Menyesakkan sekali😭😭😭

Ayo vote dan komentar nya yahh!!

Jejak LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang