"Melodi terindah bisa tercipta dari harmoni persahabatan yang tulus mengalun di kala senang dan susah."
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
Selamat pagi!
Pagi yang cerah, bukan?Sayang, senyuman sang mentari belum cukup lebar untuk memancing lengkungan di bibir seorang pemuda—Alvand.
Pemuda jangkung itu terlihat bimbang. Tangannya memegang selembar kertas dengan logo IKJ di kop suratnya, tetapi wajahnya tidak menunjukkan raut bahagia sama sekali.
Menutup mata sejenak, Alvand melipat asal kertas tersebut, menyimpannya di saku dalam bagian atas almamaternya.
"Bun, Yah, Zahr harus apa?" katanya lirih pada diri sendiri.
Entah apa yang terjadi pada musisi kebanggaan SMA Chase ini. Hari masih pagi, tapi pemuda tertua di sekolah elite itu sudah murung.
Alvand terlihat frustasi, bersandar dengan bahu turun. Lama berpikir, pada akhirnya pemuda itu kembali bergumam sendiri.
"Pikir nanti saja dah."
Dia mulai melangkah. Mari kita ikuti Alvand yang tengah menuju ke kelas unggulan—X-Class.
Langkahnya berat, meski begitu dia tetap pergi. Di kelas, teman-temannya sudah lengkap, sedang berkumpul di karpet beludru di belakang kelas.
Setelah meletakkan tas, pemuda itu mendekat, mencari tahu apa yang tengah dikerjakan sembilan remaja itu.
"Selesai."
"Yha, aku kalah. Kak Hasna cepat sekali!"
Alvand tersenyum tipis melihat kelakuan mereka. Keberadaan sembilan remaja itu rupanya lebih kuat dari sinar mentari, sanggup membuat Alvand senang walau hanya sedikit.
"Eh? Udah dateng, Bang?" Thariq yang pertama menyadari keberadaannya. Yang lain ikut menoleh, menatap Alvand penuh tanya.
"Huum. Sepuluh menit lalu. Kalian ngapain, seru banget kayaknya," jawab Alvand duduk di sebelah Halza.
Tanpa canggung, gadis itu menyandarkan kepalanya ke lengan kokoh Alvand.
"Itu Bang. Si Freya lawan Hasna, ngelipat origami laba-laba."
"Bang, coba lihat origaminya Kak Hasna. Gi*a Bang, rapi banget. Kayak bukan origami," kata Halza.
"Iya, bagus. Lo emang jago, Na."
"Tahu, tuh," kesal Freya.
"Kenapa ngambek, hm? Itu origami lo juga bagus kok. Coba selesaikan, gue mau lihat," hibur sekaligus puji pemuda itu.
"Tuh, kan. Origami kalian bagus. Gue mah, boro-boro. Buat kincir aja masih bingung."
Perkataan Alvand mengundang tawa mereka. Tawa bahagia yang perlahan menular pada penyebab tawa itu, membuat Alvand tersenyum.
"Nah, gitu dong. Masa ketawa aja, kudu diajari?" guraunya.
"Ya gaklah Bang! Kita bukan bocah," jawab Hasna.
"Oh ya Bang, pulang sekolah kita mau ke puskot. Lo gabung gak?" tanya Thariq tiba-tiba.
Wajah sumringah Alvand berubah sedih. "Sorry, gue gak bisa."
"Yha, sayang. Ya udah deh, kapan-kapan aja," putus Jun.
"Maaf," kata Alvand tidak enak.
"Gak apa Bang, kita maafin. Asal makan siang nanti, lo yang bayar," celetuk Revan yang kembali menghadirkan tawa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
School: Re-Search [Terbit]
Teen Fiction[Open PO sampai 20 Agustus 2022] Sekolah. Apa yang kalian pikirkan tentang kata itu? Tumpukan tugas? Nilai di atas kertas? Perebutan ranking kelas? Atau ... kalian memiliki pikiran lain? Tidak apa, semua itu memang benar. Iya 'kan? Semua sekolah itu...