42 - Labirin Maut

847 158 0
                                    

"Jangan mengeluh pada keadaan, karena di setiap keadaan pasti ada makna besar yang tersimpan."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Tanpa perbekalan, tanpa peralatan yang memadai. Hanya nekat yang menjadi modal sepuluh remaja ini guna menemukan kawan-kawan mereka.

Entah sudah berapa lama mereka berjalan, mereka tidak yakin. Sudah terlalu banyak belokan yang mereka lalui, menuntun mereka bergerak semakin masuk ke dalam.

Setelah berbelok ke kiri untuk yang kesekian kali, mereka memilih berhenti, mengistirahatkan kaki yang sudah sangat kelelahan. Mereka duduk selonjor di lorong dengan posisi saling memunggungi secara berpasangan agar punggung mereka dapat bersandar.

Wajah datar Violla tampak pucat. Bibirnya agak biru sementara lengan kirinya sedikit bengkak. Kini dia tengah tertidur pulas berbantalkan paha Hasna di kala si empunya tengah memeriksa peta.

"Kita sekarang ada di sini. Oke, berarti ke sini, terus sini, sini, situ, terus sampai."

Netra hitamnya menatap kawan-kawannya satu persatu. Wajah lelah dan letih lebih mendominasi ekspresi mereka. Hasna sendiri juga kelelahan sebenarnya. Namun, tekadnya untuk membebaskan Aze dan Nadira, kedua sahabatnya, jauh lebih kuat.

Sejenak, pandangannya terkunci pada Violla, yang tertidur pulas dengan wajah pucat dan sedikit menunjukkan raut kesakitan. Rasa iba masuk tanpa permisi, mengalihkan pandangannya guna mencari seseorang.

"Frey, lo capek gak?"

Yang dipanggil menoleh cepat, batal tidur.

"Sedikit, sih. Ada apa, Kak?" tanyanya diakhiri dengan menguap lebar.

"Kalau gak keberatan, tangan kiri Violla itu kayaknya cidera. Coba lo periksa," pinta Hasna.

"Gue gak apa, Kak. Ini cuma memar, gak usah diperiksa," kilah Violla cepat.

Freya tidak jadi bangkit. Tatapan mata Violla yang mengisyaratkan untuk tetap diamlah yang menjadi penyebabnya. Justru, Kirana yang berdiri, berjalan santai mendekati Violla.

"Gerakin tangan lo," katanya datar.

Gadis itu tidak menurut. Demi apapun, tangannya sangat nyeri. Untuk menopangkan tangannya ke saku jaket saja butuh perjuangan ekstra tadi. Dia tidak mau merubah posisi tangannya.

Senyum miring Kirana tersungging, "Kenapa? Patah?"

Dia dengan sengaja menyenggol lengan Violla, membuat raut datar si empunya sedikit menunjukkan kesakitan.

Sialan, desis Violla dalam hati.

"Dania, kelarin nih bocah. Bisa berabe kalau dia jadi beban," kata Kirana santai.

Violla tidak bisa mengelak lagi saat jemari Farley dengan cekatan mengobati cideranya. Lengan bengkak itu kini sudah terbungkus rapi oleh perban. Sebagai penyangga, gadis itu memakai kayu dari tanaman pembentuk labirin.

"Jangan kebanyakan pecicilan dulu. Meski ini gak parah, tapi bisa panjang urusannya kalau lo tingkah," peringat Farley.

"Thanks. Gue gak janji," kata Violla malas.

Kepalanya kembali berbaring di paha Hasna, berniat mengistirahatkan kepalanya yang terasa berputar. Sayang, suara Jordan lebih dulu terdengar, membuatnya batal tidur lagi.

"Cukup istirahatnya, ayo lanjut. Kita gak tahu gimana nasib mereka yang ada di kurungan."

Semua menyetujui ucapan Jordan. Setelah sedikit berbenah, mereka beranjak, kembali menelusuri lorong rumput pagar ini.

School: Re-Search [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang