"Banyak yang bilang, hidup itu takdir. Jenius atau bodoh, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua sudah digariskan. Kita tidak boleh mengelaknya, hanya bisa pasrah padanya. Bukankah ini terlalu konyol? Akal sehat dan logika tidak bisa menerimanya. Coba bayangkan, mengapa pula kami harus pasrah, di saat kami masih bisa berusaha?"
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
Lihatlah, dua belas remaja itu kini tengah berjalan bersama. Selepas makan siang tadi, X-Class menepati janji mereka untuk mengajak Lula dan Lidya berkeliling sekolah, melakukan tur kecil untuk melihat kemegahan SMA terbaik di Nusantara.
Tujuannya sebenarnya cukup mulia, memperkenalkan SMA Chase pada orang luar, sekalipun mereka berasal dari sekolah saingan. Tujuan lain dari tur ini juga untuk menunjukkan, seberapa majunya SMA Chase yang selalu diagung-agungkan Indonesia, yang digadang-gadang tidak ada saingannya di dunia.
Akan tetapi, dibanding tur pengenalan lingkungan sekolah ... mereka lebih mirip seperti petugas keamanan yang tengah berpatroli karena sama sekali tidak mengobrol. Sungguh, saking canggungnya mereka, suara detik jam di lorong dan denyut nadi mereka bahkan terdengar lebih keras.
Entahlah. Lula dan Lidya terlalu sungkan untuk memulai obrolan, sementara Thariq sama sekali tidak berniat untuk menjelaskan ruang-ruang yang mereka lalui karena setiap sudut sekolah sudah diberi papan nama, termasuk lorong dan lapangannya. X-Class yang lain juga merasa tidak berhak berbicara mendahului pemimpin mereka, mengingat ide tur ini adalah idenya.
"Mm ... jadi, sekarang apa?" tanya Halza canggung.
"Entahlah. Kita sudah berada di ujung sekolah," balas Thariq cuek.
Lihatlah kelakuan mereka. Bagaimana bisa mereka betah berkeliling sekolah super luas dan super megah ini dalam keheningan?! Sungguh, mereka benar-benar sekumpulan anak ajaib.
Sikap Thariq membuat Lidya dan Lula melongo tidak percaya, sementara sembilan kawannya menggeleng tidak habis pikir dengan kelakuan pemimpin mereka.
Lama diselimuti keheningan, terdengar suara jentikan jari dari Alvand disertai wajahnya yang seakan mengingat sesuatu hal penting.
"Oh ya, Lula, Lidya. Gue boleh tanya gak?" katanya langsung.
"Tanya aja, Kak Alvand."
"Kalian di Himekara kelas apa?"
Hening lagi.
Wajah Lula dan Lidya memucat, persis mayat. Terlihat juga keringat yang mulai menetes perlahan, dibarengi tatapan mata keduanya yang tak tentu arah, kebingungan.
Hal tersebut disadari oleh yang lain, menghadirkan tanya di benak yang tertahan tanpa berani untuk disampaikan. Mereka saling tatap dengan wajah bingung seakan bertanya penyebab dari paniknya kedua tamu mereka.
Alvand tentu juga menyadari hal tersebut. Otaknya segera berpikir, mencoba mencari tahu penyebab kepanikan mereka di otak jeniusnya. Tak lama setelahnya, wajah Alvand berbinar dengan seulas senyum tampan yang terpampang.
"Ah, gue tahu. Lo berdua kelas Magician kan?" katanya spontan.
Terlihat jelas jika keduanya sangat terkejut. Badan mereka sedikit tersentak diikuti mata yang membola. Tidak jauh berbeda dengan Lula dan Lidya, sembilan Chaseiro-X yang lain juga tidak kalah terkejutnya. Kebingungan di benak mereka semakin menjadi, yang akhirnya tersalurkan melalui pertanyaan Lula.
"K–kok tahu?"
"Iya juga. Gue ... kok tahu, ya?" kata Alvand dengan raut kebingungan.
Kedua gadis itu menampilkan raut panik yang makin ketara. Mereka menatap Alvand was-was, seakan Alvand adalah sesosok monster menyeramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
School: Re-Search [Terbit]
Teen Fiction[Open PO sampai 20 Agustus 2022] Sekolah. Apa yang kalian pikirkan tentang kata itu? Tumpukan tugas? Nilai di atas kertas? Perebutan ranking kelas? Atau ... kalian memiliki pikiran lain? Tidak apa, semua itu memang benar. Iya 'kan? Semua sekolah itu...