17 - Sidang

1.3K 232 4
                                    

"Agak klise memang, tapi percayalah, keadilan tidak pernah salah menempatkan kemenangan."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Brak!
Dak!
Bugh!

Sial.

Violla mengamuk. Dia menghajar Jordan tanpa ampun. Perkataannya hari itu soal memakai bakat penuh tidaklah main-main. Jordan yang merupakan seorang petarung sekaligus pembunuhan yang cukup ditakuti dibuat babak belur oleh gadis 14 tahun itu.

"Hanya itu saja kah, kemampuanmu? Cih. Aku tidak menyangka, orang lemah sepertimu menjadi buronan negara. Membosankan," hina Violla dengan wajah dingin.

"Cih. Gak usah sok, lo," balas Jordan yang sudah mulai kelelahan itu.

Melihat suasana memanas, Revan dan Faza—siswa S-Class yang kebetulan ada di sana—segera bergerak melerai. Revan menarik Violla mundur, menahan tangan gadis itu di belakang tubuhnya. Faza sendiri segera mengunci pergerakan Jordan, membuat pembunuh itu tidak bisa bergerak.

"Kak, lepas. Aku tidak ingin melukai Kakak," kata Violla datar.

"Berhenti be*o! Sadar Vi, lo hampir bunuh tuh bocah!" maki Revan keras.

"Dia pantas menda—"

"Ada apa ini?!"

Bagus sekali. Mengapa Yanto dan Bagus bisa ada di sini?! Kedua guru yang terkenal tegas itu mendekati sumber keributan dengan wajah dingin, membuat kerumunan tadi langsung buyar bak pasar ilegal yang mendapat penggerebekan dadakan.

"Cantika? Jordan? Ada apa ini?"

Kedua biang ribut terdiam, tidak berani menjawab. Meski diam, wajah mereka sama sekali tidak menampilkan raut ketakutan maupun bersalah, membuat Yanto semakin geram.

"Kalian, pergi ke ruang si—"

"Tidak perlu ke ruang sidang, Pak. Bapak bisa menyidang kami di sini," potong Violla.

Sontak saja, gadis itu kembali menjadi sorotan. Bahkan kali ini Jordan juga ikut menatapnya tajam, menunjukkan keberatan. Sayang, sepertinya kedua guru itu lebih berpihak pada Violla, terbukti dengan sikap Yanto yang justru mengangguk setuju.

"Pak, tolong awasi mereka. Saya akan panggil Bu Indri sebagai penengah karena mereka berdua anak didik saya dan Bapak," katanya.

Singkatnya, setelah tiga guru itu berkumpul, Violla dan Jordan didudukkan bersebelahan, sementara siswa lainnya berdiri mengerumuni lima orang itu.

"Bisa jelaskan, apa yang terjadi, Nak? Kau tidak pernah membuat masalah sebelum ini," tanya Bagus.

"Kak Jordan, silakan jelaskan terlebih dahulu. Aku tidak memiliki pembelaan," kata Violla.

Sikap gadis itu membuat semua terkejut. Semua sibuk menggunjing Violla yang seakan pasrah, padahal sebelumnya dialah yang memulai masalah. Meski begitu, X-Class tersenyum tipis. Mereka yakin apapun tindakan Violla, itu pasti sudah dia rencanakan dengan matang.

Jordan sendiri kegirangan mengetahui Violla melimpahkan semua padanya. Dengan semangat, pemuda itu menjelaskan apa yang terjadi sesuai versinya yang tentu dibuat seakan X-Class lah yang bersalah. Selesai bercerita, ketiga guru itu menatap Violla dengan wajah kecewa. Golden Chaseiro yang mereka banggakan ternyata berbuat keonaran.

"Cantika, Ba—"

"Maaf menyela, Pak, Bu. Ada sesuatu yang ingin saya katakan."

Bagus tersenyum tipis dan mengangguk. Begitupun dengan Indriani yang juga mengijinkan. Sayang, Yanto tampak kurang menyetujui jika Violla melontarkan pembelaan.

"Tadi kau bi—"

"Apa yang ingin kau katakan, Violla?"

Violla tersenyum puas. Semua berjalan sesuai rencananya—pengecualian untuk bagian perkelahiannya. Dia menatap Halza dan Aze sejenak sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membalikkan keadaan.

"Halza memakai kacamata kameranya, Pak. Kak Aze juga membawa smartwatch-nya. Saya yakin kamera Halza merekam kejadian ini, karena dia selalu merekam semua kejadian. Kak Aze, bisa putar rekamannya?"

Ketiga guru itu terdiam saat melihat rekaman barusan. Mereka menatap Violla tidak percaya.

"Cantika, bisa jelaskan mengapa kau memulai keributan di kantin?" Suara tegas Bagus menginterupsi anak didik asuhannya.

Violla hanya tersenyum. Wajahnya tetap tenang, tidak terlihat ketakutan. Dengan gerakan santai, dia menyerahkan selembar kertas dengan logo rumah sakit di kop suratnya dan juga sebuah buku jurnal kecil dengan nama 'Nadira' di atasnya.

"Bapak baca sendiri saja. Untuk buku jurnal, saya sudah tandai halaman yang berhubungan dengan kejadian ini. Selebihnya, saya tidak akan membantah apapun keputusan Bapak," katanya.

Indri membaca kedua benda yang diterimanya dengan teliti. Perlahan tapi pasti, wanita itu mulai memahami duduk perkara dari perkelahian hebat ini. Matanya menatap X-Class teduh diiringi kalimat pembelaan yang menyatakan kemenangan mereka.

"Jordan, temui saya di ruang hukuman. Ajak semua teman sekelasmu sekaligus. Yang lain, kembali ke kelas kalian. Bel akan berbunyi dalam tiga menit."

X-Class berjalan bersama ke arah kelas mereka. Meski mereka berhasil membuktikan diri tidak bersalah, mereka tetap kurang puas karena anggota Z-Class III tidak dihukum sesuai keinginan mereka. Mereka berusaha menerima, sambil merapikan kembali kondisi mereka yang agak berantakan saat ini.

Kita tahu sendiri jika Violla habis berkelahi. Bajunya benar-benar berantakan karena dia berkelahi dengan sungguh-sungguh tadi. Di pipinya juga ada lebam kebiruan akibat pukulan Jordan. Penampilannya semakin mengenaskan karena buku-buku jarinya memerah—beberapa malah sudah sedikit berdarah—karena melayangkan pukulan yang tak terhitung jumlahnya.

Selain Violla, kondisi Nadira juga tidak bisa dibilang baik. Tubuh gadis itu gemetar saking takutnya. Isak tangis juga tidak henti-hentinya terdengar dari bibir pucat itu. Bahkan, saking takutnya, gangguan kecemasan yang diderita gadis itu sampai sempat kambuh tadi.

Yang lain juga terlihat berantakan, entah karena takut maupun karena khawatir. Meski begitu, diantara mereka semua, hanya Jun yang terlihat baik-baik saja. Mungkin pemuda itu sudah memprediksi jika akan berakhir seperti ini, mengingat bakat pemuda itu yang mampu memprediksi apa yang akan terjadi.

"Gi*a Vi, lo nekat banget tadi. Bisa-bisanya lo nantangin si pembunuh itu," kata Thariq.

"Gue gak maksud nantang dia, Kak. Niatan gue tadi debat sama Kak Amanda doang. Cuma gue lagi badmood, makanya gue kesulut emosi."

"Eh tapi ya Kak, lo kok gak pernah cerita kalau lo jago beladiri? Keren banget loh, lo tadi," tanya Halza mewakili rasa penasaran yang lain.

Semua menatap Violla penasaran, bahkan langkah mereka terhenti di tengah jalan. Violla menatap mereka satu persatu sebelum menjawab dengan nada tenang.

"Beladiri itu udah kayak warisan turun-temurun di keluarga gue. Gue cuma gak mau lo pada nganggep gue masuk jalur dalem. Apalagi gue kalau udah emosi itu gak bisa ngontrol diri. Lo lihat sendiri kan gimana nasib tuh anak tadi?"

Para pemuda yang mendengarnya melongo tidak percaya. Oh ayolah, alasan Violla sangat konyol!

"Iya sih, lo ngeri kalau ngamuk," kata Hasna kaku.

"Tapi tenang aja. Gue gak pernah nyerang orang yang penting buat gue, jadi lo pada aman," gurau Violla.

"Awas aja lo hajar kita. Gue sate lo nanti," ancam Revan sok galak yang terlihat galak betulan karena wajahnya yang seram.

Meski begitu, mereka semua menangkap gurauan yang Revan lontarkan, sehingga tawa mereka mengudara—menghiasi lorong kelas yang sepi.

1030 kata
24 Juni 2021

____________________________________________________________________________

School: Re-Search [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang