Part 4 Bukan Prioritas

253 17 1
                                    

Aku mengetikkan sebuah pesan di aplikasi whatsapp, namun saat akan dikirim, segera kuurungkan lagi. Hal ini sudah aku lakukan berkali-kali, namun aku ragu untuk mengirimkannya.

“Ada apa sih Al, kok kayak lagi galau gitu?” Andi duduk di sampingku seraya ikut melihat layar ponselku.

“Aku masih penasaran sama kejadian semalam, Ndi. Mau ngechat Siska tapi takut suaminya yang baca. Kan aku cuma punya nomer suaminya aja.”

“Kamu masih mengira kalau ibu-ibu yang menjatuhkan piring itu ibunya Siska?”

Aku mengangguk, “aku tuh familiar gitu sama wajahnya. Aku sama Siska kan cukup dekat waktu SMP. Ibunya Siska itu sering dateng ke sekolah, gak tau deh ada urusan apa.”

“Masa sih anaknya nikah kok ibunya jadi pelayan di pernikahan anaknya sendiri.”

“Nah justru itu yang bikin aku penasaran. Satu lagi, kamu percaya gak sih jaman sekarang ada yang gak punya hape? Masa Siska gak punya hape. Suaminya kayaknya bukan orang miskin yang gak bisa beliin Siska hape deh.”

“Udah ah, gak usah kepo.” Andi beranjak bangun dari tempat duduknya. “Jangan terlalu mencampuri urusan orang lain, Al.”

“Kamu mau kemana Ndi, pagi-pagi gini?”

“Mau ngembaliin mobil yang semalem kita pinjem ke rumah mbak Tati.”

“Oh ... Oke.”

Baru saja aku hendak mengikuti Andi, suara ibu mertua terdengar memanggil anak kesayangannya tersebut. Aku mengurungkan niat keluar dari kamar. Malas sekali rasanya harus berpapasan dengan ibu mertuaku yang bawel itu.

“Mau ke rumah mbak Tati ya? Ibu ikut ya, Ibu juga mau ke rumah mbak Tati.”

“Kok bawa tas gede banget Bu?”

“Iya, Ibu mau nginep beberapa hari di sana. Mas Lukman ada urusan ke luar kota, jadi Ibu mau menemani mbakmu selama suaminya pergi.”

Yes. Aku senang karena beberapa hari ke depan aku terbebas dari omelan ibu mertuaku itu.

“Yaudah, ayo.” Suara keduanya pun menghilang. Sepertinya mereka sudah pergi.

Waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi. Perutku sudah minta di isi. Aku meninggalkan sejenak aktivitasku di dunia maya. Pergi ke dapur untuk sarapan. Kuambil piring lalu bergegas membuka tudung saji. Kosong. Apa-apaan ibu mertuaku itu, apa dia tidak menyiapkan sarapan dulu sebelum pergi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan memutuskan untuk menunggu Andi pulang.

Matahari sudah berada di puncaknya, namun Andi tidak juga menampakkan batang hidungnya. Kucoba meneleponnya, namun panggilanku tidak diangkat. Jarak dari rumah ibu mertuaku ke rumah mbak Tati hanya sekitar 15 menit. Namun Andi belum kembali selama hampir 6 jam.

Ketika cahaya mentari hampir tenggelam, Andi baru pulang ke rumah. Aku tidur meringkuk di atas kasur. Malas untuk menyambut kedatangannya.

“Al, rumah kok gelap, kamu belum nyalain lampu ya.”

Aku masih diam.

“Al ....” Suaranya semakin dekat, lampu kamar pun sudah menyala. “Al ....”

Pergerakan ku rasakan di tempat tidur. Nampaknya Andi saat ini sedang duduk di tepi tempat tidur. Ia mengulurkan tangannya ke arahku, “Al, kok jam segini udah tidur?”

Dengan gerakan tiba-tiba, aku membuka selimut yang menutupi tubuhku, lalu duduk dan menatap tajam ke arah suamiku, “kamu kemana aja sih Ndi? aku tuh capek nungguin kamu tau! Terus kenapa hape kamu gak bisa di hubungi?”

“Maaf Al, tadi mas Lukman minta aku nganterin dia ke luar kota. Ini aku baru pulang.”

“Apa? Jadi kamu biarin aku kelaparan hanya untuk nganterin mas Lukman?”

“Kamu belum makan? Kenapa tidak makan?”

“Mau makan apa? Di dapur tidak ada apa-apa. Ibu pasti sengaja tidak masak, biar aku mati kelaparan di sini.”

“Tidak mungkin ibu seperti itu, Al.”

“Kamu bela aja terus ibu kamu itu. Lagian kenapa sih mas Lukman sering banget nyuruh kamu ini itu, kamu memangnya gak bisa bilang 'engga' sesekali aja?”

“Gak enak Al, mas Lukman itu orangnya baik, dia yang membiayai sekolah aku dan membelikan motor yang suka aku pakai ke kampus itu.”

“Itulah kenapa orang yang suka memberi itu biasanya suka menjadi merasa berhak atas orang yang selalu di berinya.”

“Maksud kamu apa?”

“Iya, mas Lukman itu sudah merasa membiayai hidup kamu, jadi dia merasa berhak untuk nyuruh-nyuruh kamu!”

“Mas Lukman tidak seperti itu Al, kamu belum mengenalnya saja. Lagian dalam keluarga, sudah seharusnya kita saling tolong-menolong. Kamu tidak akan mengerti, kamu kan tidak punya saudara.”

“Ya, aku memang TIDAK MENGERTI!” Aku menekankan kata  tidak mengerti di hadapan Andi.

“Kenapa kamu jadi marah sih Al? Masa cuma karena aku nganterin mas Lukman kamu jadi marah?”

“Kamu membiarkan aku kelaparan, Andi! Itu masalahnya.”

“Yaudah maaf, ayo sekarang kita makan.”

“Udah gak mood!” Aku kembali merebahkan diri di atas kasur membelakanginya.

“Al ....”

Tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk dengan sedikit terburu-buru. Disusul suara Alam, anak pertama mbak Dini yang sudah kelas 2 SMA memanggil-manggil nama Andi.

Andi beranjak bangun untuk membukakan pintu. Karena penasaran, aku mengekor di belakangnya.

Pintu dibuka, menampakkan wajah cemas Alam, “Om, tolongin mama Om.”

“Kenapa mama kamu?”

“Alam gak tau Om, tiba-tiba mama pingsan di bawah tangga. Tolong Om, antar mama ke rumah sakit.”

“Memangnya papa kamu kemana?” Aku masuk dalam perbincangan mereka berdua.

“Papa belum pulang, tante.”

“Kemana?”

“Alam gak tau tante.” Alam kembali memandangi Andi, terlihat sekali ia malas menjawab pertanyaanku. “Ayo Om, Alam khawatir mama kenapa-kenapa.”

Andi menoleh ke arahku, seolah meminta persetujuan. Tentu saja aku menolak. Baru juga pulang, masa mau pergi lagi. Aku menggeleng pelan ke arah Andi, memberikan kode kalau Andi tidak boleh pergi.

“Om kamu baru pulang dari luar kota, dia masih capek. Kamu pesan taksi online aja!” putusku karena Andi hanya diam saja.

Alam menatap kecewa ke arah Andi, ia lalu berlari kembali ke rumahnya  yang hanya terhalang dua rumah dari rumah ibu mertuaku.

“Kamu kok tega banget sih Al?”

“Apa?” tantangku.

“Mbak Dini lagi sakit, kenapa kamu menyuruh Alam pesan taksi online?”

“Kenapa, kamu mau marah?”

“Kamu sadar gak, kalau kamu itu egois Al!”

“Aku gak egois, keluarga kamu tuh yang egois! Harusnya mereka tahu, kalo kamu sekarang sudah menikah. Gak bisa seenaknya nyuruh-nyuruh kamu! Aku juga butuh kamu Andi!”

“Tapi ini keadaannya berbeda, Alya.”

“Jadi kamu mau pergi? Yaudah pergi sana!” usirku.

Aku meninggalkan Andi yang masih berdiri di ambang pintu. Masuk ke kamar dan membanting pintunya keras. Sayup-sayup ku dengar pintu depan tertutup. Namun tak ku dengar langkah kaki mendekat. Ok fix, Andi pergi ke rumah mbak Dini. Sekarang aku bisa menyimpulkan kalau aku bukan lagi prioritas bagi Andi.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang