Part 13 Cemburu

193 9 0
                                    

Sesuai janji Tedi, tidak ada yang berubah dalam hubungan kami. Di kantor, kami masih menjalani hubungan profesional sebagai atasan dan sekretarisnya. Sementara di luar kantor, kami masih teman.

“Al, nanti malam ada jamuan makan malam bersama klien. Kamu seperti biasa yah temani aku,” ucap Tedi ketika aku memberikan berkas untuk ia tanda tangani.

“Siap bos,” jawabku seraya memberi hormat padanya.

Tedi tersenyum melihat tingkahku.

Seperti sebelumnya, Tedi akan mengajakku ke salon dan membelikanku gaun malam sebelum pergi makan malam bersama klien. Kali ini pilihannya jatuh pada gaun slim fit di atas lutut dengan potongan backless.

“Mas kenapa sih selalu memilihkan gaun backless untuk aku?”

“Aku suka punggung kamu Al,” ucap Tedi seraya mengusap punggungku yang terbuka.

Ada yang berdesir dalam hati. Namun aku mencoba untuk menetralkan perasaanku sendiri. Suasana ini bagai dejavu. Aku kembali teringat kejadian di Surabaya sekitar 2 minggu yang lalu.

“Kita ke rumahku dulu ya Al, ada barang yang mau aku ambil.”

“Oke.”

Kami pergi dengan mengendarai mobil Tedi, sementara mobilku di simpan di parkiran kantor.

“Mau ikut turun atau tunggu di sini Al?” tanya Tedi begitu kami sampai di halaman rumahnya.

“Tunggu di sini aja, gak akan lama kan?”

“Engga kok, ya udah aku masuk dulu ya.”

Aku menatap punggung Tedi dari dalam mobil. Hingga ia mencapai pintu. Seorang wanita membukakan pintu untuknya. Mereka nampak berbincang sejenak kemudian Tedi masuk lebih dalam meninggalkan wanita tersebut di ambang pintu.

Sekilas aku melihat wajahnya. Siska? Ya. Aku yakin sekali kalau dia adalah Siska. Dan dia ... Hamil!

Melihat besarnya perut Siska, aku yakin jika kehamilannya sudah menginjak 4 atau 5 bulan. Tapi itu sungguh tidak mungkin. Pernikahan Tedi dan Siska baru beberapa minggu, tapi mengapa Siska sudah hamil sebesar itu?.

Karena penasaran, aku turun dari mobil, dan dengan tergesa menghampiri wanita hamil tersebut sebelum ia menghilang di balik pintu.

“Siska!” seruku.

Siska menoleh. Ia terlihat terkejut dengan kedatanganku.

“Alya? Kamu di sini?”

“Iya, kami ada janji makan malam dengan klien.”

“Kami?”

“Ah, maksudnya aku dan mas Tedi.”

“Kenapa kalian bisa bersama?” tanya Siska heran.

“Aku kan sekretarisnya mas Tedi, Sis.”

Melihat keterkejutan Siska, aku yakin kalau Siska baru tahu kalau aku bekerja bersama suaminya.

“Se-sejak kapan?

“Udah hampir dua bulan ini.”

“Oh ....” Siska mencoba tersenyum, namun aku bisa melihat kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

“Ehm ... Udah berapa bulan Sis?” tanyaku seraya mengusap perutnya.

“Ehm ... Jalan lima,” jawab Siska tanpa mengalihkan pandangannya dari perutnya.

Siska mengusap-usap perutnya seraya tersenyum seolah ia bisa menerawang melihat bayinya yang berada dalam perutnya. Ia tidak menyadari aku menatap heran ke arahnya. Mungkin ia lupa kalau aku datang ke pernikahannya beberapa minggu lalu.

Dari fakta tersebut aku menyimpulkan kalau Siska menikah ketika ia sudah hamil, dan dalam perutnya itu adalah ... Bayi milik Tedi. Aku memegang dadaku. Aku merasakan ada jarum yang menusuk hatiku, sakit. Aku membayangkan apa yang dilakukan Tedi dan Siska hingga Siska sampai Hamil. Entah mengapa aku menjadi cemburu.

Tedi datang di antara kami. Aku pergi mengikuti langkah Tedi usai berpamitan pada Siska.

Di perjalanan, aku hanya diam. Pikiranku masih tentang Siska dan Tedi. Aku tidak seharusnya begini. Siska adalah istrinya Tedi. Sudah sewajarnya kalau Siska dan Tedi melakukan hubungan suami istri. Namun mengapa hati ini tidak bisa berdamai dengan fakta tersebut?

Makan malam terasa sangat lama. Aku sudah tidak fokus. Beberapa kali pikiranku blank saat klien Tedi bertanya. Akhirnya aku lebih memilih pergi ke toilet dan membasuh muka.

“Kamu baik-baik saja Al?” tanya Tedi ketika kami dalam perjalanan pulang.

“Ah, ya. Aku baik-baik saja mas,” jawabku seraya tersenyum yang di paksakan.

“Lebih baik aku antar kamu pulang saja ya Al, kondisi kamu sepertinya tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri.”

“Terserah mas saja.” Aku sudah tidak bisa berpikir.

Aku turun dari mobil begitu sampai di halaman rumah mertuaku. Aku segera masuk ke rumah mertuaku tanpa ingin melihat Tedi ataupun berpamitan padanya. Hatiku sungguh galau. Tanpa aku perintah, hatiku cemburu tidak pada tempatnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Beberapa lampu rumah sudah di matikan. Ibu mertuaku tidak ada, pasti menginap lagi di rumah mbak Dini. Sedangkan Andi ku lihat  sedang bermain game online di ruang keluarga. Kalau sudah begitu, ia pasti tidak akan mempedulikan sekitarnya.

Aku segera masuk ke kamar dan membanting tubuhku di atas tempat tidur. Hatiku sangat kacau saat ini.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Andi masuk ke dalam kamar dan merebahkan dirinya di sampingku.

“Kamu cantik sekali malam ini Al,” ucap Tedi seraya melingkarkan tangannya di pinggangku.

“Aku lelah Ndi, maaf.” Aku menepis tangan Andi yang melingkar di pinggangku.

“Akhir-akhir ini kamu selalu menolakku Al, kenapa?” tanya Andi dengan nada meninggi.

“Aku hanya lelah Ndi, mengertilah.”

“Kamu sadar gak, hubungan kita merenggang semenjak kamu bekerja Al. Lelah, selalu itu yang jadi alasan kamu!”

“Kenapa kamu berteriak di hadapanku Ndi?” Aku duduk di tepi tempat tidur.

Andi bangun dan memutari tempat tidur. Kini ia berdiri di hadapanku.

“Aku tidak mau menunggu lagi Al. Malam ini kamu harus memberikan apa yang sudah menjadi hakku!”

Aku membaringkan tubuh membelakangi Andi. Dia begitu saja terlelap usai mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia tidak mempedulikanku walaupun aku berkata sakit. Tanpa terasa air mataku menetes.

Perlahan, aku mengambil ponsel di dalam tas yang terletak di atas nakas. Aku segera menghubungi seseorang yang ada di dalam daftar kontakku. Dalam deringan kedua, sambungan pun terhubung.

“Mas ....” Aku tidak bisa lagi menahan air mataku.

Kamu kenapa Al?” tanya orang di seberang sana.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Yang bisa ku lakukan hanya menangis. Aku ingin menumpahkan segala kesedihan, namun terlalu memalukan jika aku menceritakan urusan ranjangku dengan suamiku sendiri kepada orang luar.

Orang yang aku hubungi bersabar untuk menungguku berhenti menangis. Ia sama sekali tidak memaksa untuk aku menjawab, ataupun mematikan panggilan telepon.

Beberapa menit berlalu, aku sudah mulai tenang. Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru yang seakan sesak.

“Mas bisa jemput aku sekarang?”

Aku kesana sekarang.”

Panggilan pun terputus. Aku bangun dengan sangat hati-hati. Berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di dalam kamar.

Usai membersihkan diri, aku segera berpakaian. Sweeter polos dan celana jeans panjang di padukan dengan sneaker berwarna putih menjadi pilihanku saat ini.

Dengan membawa sling bag kecil yang berisi dompet dan ponsel, aku pergi dari rumah. Aku berjalan ke arah jalan utama setelah sebelumnya mengabari Tedi di mana harus menjemputku.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang