“Papa sama Mama kemana mas? Kok sepi.” Aku bertanya kepada salah satu pegawai yang bekerja di depot air minum isi ulang milik Papa.
“Lagi pergi ke Luar kota mbak, katanya anaknya dari sepupu Ibu atau Bapak yah lupa, nikah mbak.”
Aku duduk terkulai lemas di atas kursi plastik tak jauh dari sana. Aku sungguh bingung harus kemana lagi. Aku takut pulang ke rumah ibu mertuaku, tapi aku juga takut kalau harus sendirian di rumah Mama. Dan untuk pergi ke apartemen, saat ini itu sangat tidak mungkin.
“Mbak telepon aja Ibu atau Bapak, siapa tahu sudah mau pulang.”
“Hape aku hilang mas. Oh iya, boleh pinjem hapenya mas gak?”
“Hape saya gak ada pulsanya mbak, pake hape toko aja mbak.”
“Boleh deh, tolong ambilkan ya mas.”
Pegawai tersebut mengambil ponsel toko dan segera menyerahkannya kepadaku.
“Nomor Papa ada di sini kan mas?” tanyaku.
“Ada mbak,” jawabnya.
Aku segera menghubungi Papa dengan menggunakan ponsel toko. Terhubung, tapi tidak di angkat. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya aku mengembalikan ponselnya karena tidak juga mendapat jawaban.
Dengan mengendarai mobilku, aku pergi dari kediaman orang tuaku. Tujuanku tidak pasti. Aku hanya ingin menenangkan diri ke suatu tempat. Aku berbelok ke arah yang lebih sepi, menghindari keramaian yang hanya membuatku semakin pusing.
Mobil yang ku kendarai tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Ternyata habis bensin. Penerangan yang minim menyulitkanku untuk melihat sekitar. Hanya ada hamparan kebun teh sejauh mata memandang. Tidak ada seorang pun yang bisa aku temui. Sepi.
Aku merutuki diri sendiri karena telah memilih jalanan yang sepi, tanpa mengecek ketersediaan bensin.
Hari mulai gelap, aku semakin khawatir karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jarak pandang semakin pendek karena tiba-tiba kabut datang.
Berkali-kali aku membenturkan pelan kepalaku pada setir mobil, berharap semua yang terjadi adalah mimpi, dan aku ingin segera terbangun. Namun lama kelamaan hanya rasa sakit yang ku rasakan.
Di tengah kekacauan pikiranku, tiba-tiba kaca mobilku diketuk seseorang dari arah luar. Aku menoleh ke arah kiri. Orang tersebut menundukkan kepala untuk melihat bagian dalam dari mobil. Walaupun samar, aku bisa memastikan kalau itu adalah seorang pria. Dan dia ... Mengenakan jaket hoodie! Pikiranku langsung melayang pada pria berhoodie yang pagi tadi mengirimiku surat ancaman. Dan berakhir pada pengeboman mobil Tedi.
Tanpa pikir panjang, aku keluar dari pintu kanan mobilku dan lari sekencang-kencangnya. Entah kemana kaki ini membawaku, aku hanya ingin pergi menjauh dari penjahat itu.
Sesekali aku melihat ke belakang. Pria tersebut masih mengejarku dengan membawa senter. Dia meneriakkan kata-kata yang tidak bisa aku dengar dengan baik. Jalan yang tanpa penerangan, ditambah dengan mataku yang mulai berkabut karena air mata yang mulai keluar, membuatku tidak bisa lagi melihat dengan benar. Aku tersandung, kemudian jatuh berguling, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
“Dia siapa pak?”
“Bapak gak tahu Bu, tadi Bapak lihat ada mobil terparkir di tengah jalan, terus Bapak lihat mana tahu mobilnya mogok dan butuh bantuan. Pas Bapak samperin, dia malah lari ke arah jurang. Bapak sudah coba cegah, bapak teriakin ‘jangan kesana, itu jurang' tapi dia malah terus lari sampai terjerembap. Untung aja jurangnya tidak terlalu dalam Bu, jadi Bapak dan beberapa warga yang Bapak panggil bisa segera menolongnya.”
“Kasihan ya pak, mana cantik gini.”
“Tadi kepala desa udah cek mobilnya, ternyata habis bensin. Di mobilnya juga gak ada tanda pengenal atau hapenya Bu, jadi sulit untuk menghubungi keluarganya. Ibu tolong gantikan saja bajunya dulu, ini sudah basah dan kotor. Besok kita lapor polisi.”
“Iya pak.”
***
“Bagaimana hasilnya?”
“Menurut hasil penyelidikan tim kami, pria yang menulis surat ancaman itu masuk apartemen beberapa saat setelah Anda masuk pak.”
“Dia tidak mungkin bisa keluar masuk apartemen itu jika tidak memiliki kartu akses. Sudah dipastikan kalau dia menyewa unit di sana juga. Sudah kamu cari tahu siapa orangnya?”
“Orang itu menyewa unit tepat di samping unit Anda pak, tepat ketika Anda akan pergi ke Labuan bajo beberapa hari yang lalu. Dan ....”
“Dan?”
“Unit tersebut di sewa atas nama Anda sendiri pak.”
Tedi terbelalak kaget mendengar ucapan detektif swasta yang ia sewa untuk menyelidiki kasus ini.
“Saya menduga, orang itu adalah orang terdekat Anda pak. Orang yang mempunyai akses ke identitas pribadi Anda.”
“Orang yang mempunyai akses ke identitas pribadi saya? Selain Ayu, sektetaris saya, paling Siska.”
“Siska?”
“Dia istri saya. Saya sering memintanya menyiapkan keperluan saya.
“Apakah mungkin ....”
“Tidak mungkin. Dia orang bodoh!”
“Di mata saya, orang bodoh adalah penjahat yang sedang berkamuflase Pak.”
Tedi menatap orang di depannya dengan seksama. Pendapatnya tentang Siska sangat mengganggunya. Dalam pandangan Tedi sendiri, Siska adalah gadis bodoh yang bahkan tidak bisa menggunakan smartphone.
Dan lagi pelakunya adalah seorang pria, sedangkan Siska adalah gadis sebatang kara. Memang mungkin saja dia menyuruh orang, ia mempunyai cukup uang untuk itu. Tapi ia tahu sekali kalau ruang lingkup sosialisasi Siska sangat terbatas, tidak mungkin ia bisa kenal dengan perancang bom.
Sekarang kemungkinan kedua adalah Ayu. Dia memang gadis yang cukup terpelajar dan juga mempunyai akses penuh terhadap identitas pribadi Tedi. Dia juga tahu kapan keberangkatannya ke Labuan bajo bersama Alya. Tapi mengapa Ayu harus membuang-buang uang hanya untuk menyewa pembunuh bayaran? Ia sudah lama ikut bersama Tedi. Dan Tedi sudah sangat percaya kepadanya.
“Selidiki mereka berdua.” Akhirnya hanya itu yang dikatakan Tedi pada detektif swasta yang di sewanya.
“Baik pak.” Kemudian ia pergi meninggalkan ruangan Tedi.
Tedi duduk di kursi kebesarannya. Sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa sakit. Kemudian Tedi memanggil Ayu melalui interkom.
Pintu diketuk.
“Masuk!” titah Tedi.
Ayu masuk ke dalam ruangan Tedi. Ia melihat bosnya sangat kusut.
“Bapak baik-baik saja?” tanya Ayu.
“Tidak mungkin kamu tidak tahu apa yang terjadi Yu.”
“Maaf,” sesal Ayu.
“Kamu carikan bodyguard untuk menjaga Alya. Pastikan bodyguard tersebut tidak mencolok, dan tidak boleh terlalu dekat dengan Alya. Pantau dari jauh. Terus belikan ponsel untuk Alya, dan kirim ke rumahnya.”
“Baik pak.”
Ayu sudah akan pergi ketika Tedi memanggilnya kembali, “Yu?”
“Iya Pak?”
“Saya sudah percaya sama kamu, saya harap kamu tidak mengecewakan saya.”
Ayu diam.
“Kamu boleh pergi.”
Tedi berdiri memandang ke arah luar jendela. Sekelebat bayangan Alya hadir menghantuinya. Ia sangat merindukan kekasihnya tersebut. Walaupun masa depannya dengan Alya masih belum jelas, namun untuk saat ini, ia tidak mau kehilangan momen bersama dengan kekasihnya tersebut. Kekasih? Tedi tersenyum sendiri dengan kata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)
RomansaAlya dan Andi yang sudah berpacaran semenjak SMA memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah. Bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya?