Tedi menyewakanku sebuah apartemen tak jauh dari kantor. Ia mengatakan aku bisa datang kapan saja jika aku sedang penat di rumah. Sudah 3 hari ini aku tinggal di sini bersama dengan Tedi. Dan pada hari ke 3, aku memutuskan untuk pulang karena Andi mengirimiku pesan bahwa dia akan pulang hari ini.
Dengan mengendarai mobilku yang sudah terparkir selama 3 hari di parkiran kantor, aku pulang ke rumah ibu mertuaku. Sekilas aku melihat keramaian di rumah mbak Dini. Apakah di sana sedang ada pesta? Ku lihat banyak bendera salah satu partai politik di sekitar rumah mbak Dini.
“Kamu sudah pulang Al?” tanya ibu mertuaku.
“Iya bu.” Aku keluar dari mobil dan menghampiri ibu mertuaku.
“Bagaimana kabar papa dan mamamu?” sepertinya Andi mengatakan kepada ibu mertuaku kalau aku menginap di rumah orang tuaku.
“Baik Bu.” Tak ingin berlama-lama dalam pembahasan orang tuaku, akupun segera mengalihkan pembicaraan, “di rumah mbak Dini ramai ya bu, ada acara apa?”
“Masmu mengadakan jamuan makan malam di rumahnya. Semua tetangga di sini di undangnya.”
“Dalam rangka apa?”
“Masmu mau terjun di dunia politik. Dia mencalonkan diri jadi calon legislatif. Acara malam ini sebagai perkenalan aja sama warga sekitar.”
What?!? Mas Ridwan mau mencalonkan diri sebagai anggota dewan? Orang seperti dia? Yang benar saja!
“Nanti malam kamu kesana ya Al.”
“Iya bu."
“ ... Bersama, mari kita daerah kita ini menjadi daerah yang melek teknologi. Dengan menguasai teknologi, kita akan banyak terbantu, salah satunya yaitu dari segi ekonomi. Di mana sudah kita ketahui bersama bahwa pasar digital kian merebak. Dengan menguasai pasar digital, ekonomipun perlahan akan teratasi.
Tidak hanya itu, marilah kita bersama-sama memoles dan mempercantik tempat-tempat wisata kita yang sudah lama terbengkalai. Mari kita viralkan Keindahan lokasi wisata kita yang belum terjamah manusia. kita tempat-tempat wisata sebagai pemasukan kita dan juga pemasukan daerah ....”
Sayup-sayup ku dengar pidato mas Ridwan di podium sana. Aku sendiri malas melihatnya. Aku memilih untuk menemani mbak Dini di ruang keluarga kediamannya. Melihat Fauzi dan Azril yang sedang merangkai mainan kereta api. Ku lihat mbak Dini tersenyum.
Andi dan mas Lukman sudah pulang. Begitu sampai, mereka langsung bergabung ke podium untuk menjadi tim suksesnya mas Ridwan. Ah, andai mereka tahu bagaimana kelakuan mas Ridwan di belakang mbak Dini, tentulah mereka tidak akan sudi menjadi tim sukses mas Ridwan.
Mbak Tati keluar dari salah satu kamar. Sebelumnya ia pamit untuk menidurkan bayinya yang kini sudah berusia 3 bulan.
“Gak gabung ke depan Al?” tanya mbak Tati.
“Di sini saja mbak, menemani mbak Dini.”
“Ibu kemana?”
“Ibu ... Mungkin ke depan.”
Setelah selesai menyampaikan pidatonya, mas Ridwan masuk ke rumah, diikuti oleh Ibu, Andi dan mas Lukman.
“Senang ya, keluarga kita bisa kumpul seperti ini,” ucap mas Ridwan.
“Iya mas, kedepannya mungkin kita harus lebih sering mengadakan makan bersama,” timpal mas Lukman.
Alam dan Ryan yang sedari tadi berada di kamarnya masing-masing ikut bergabung bersama kami.
“Kita makan dulu, biar ibu siapkan.”
“Kita makan di sini aja bu. Lesehan,” ucap mbak Tati.
Ibu mertuaku masuk ke dapur dan mengambil nasi. Ia kemudian masuk lagi dan membawa lauk. Aku melihat sekeliling. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak adakah yang berniat membantu ibu di sini? Mas Ridwan sedang mengobrol tentang politik dengan mas Lukman. Andi sedang bermain ponsel. Yang lainnya sedang menonton televisi.
Aku berdiri menghampiri ibu mertuaku, “biar Alya bantu bu.”
Jadi begini cara mereka memperlakukan ibu. Batinku.
Semua makanan sudah tersaji. Aku membantu menyusun piring dan gelas.
“Wah, Alya rajin ya bu. Benar-benar menantu idaman,” ucap mas Ridwan seraya tersenyum ke arahku.
“Iya dong mas, membantu sedikit tak ada salahnya kan, daripada hanya berpangku tangan. Ibu kan di sini bukan pembantu mas.”
Mbak Tati menoleh ke arah kami, kemudian menghampiri kami, “biar Tati bantu bu.”
“Udah beres mbak, dari tadi kemana aja?”
Semuanya jadi terasa canggung, menyadari aku sedang menyindir mereka semua.
“Sudah-sudah, ayo kita makan.” Ibu mertuaku mencoba mencairkan suasana.
Kami semua menyantap makanan yang sudah tersaji. Anak-anak meninggalkan mainan mereka dan ikut bergabung bersama kami. Azril duduk di samping ibu mertuaku, meminta di suapi. Ibu mertuaku nampak kerepotan menikmati makanannya sekaligus menyuapi anaknya mbak Tati tersebut.
“Azril, makannya sama ibu aja, neneknya repot kalau makan sambil nyuapin kamu.”
Entah mengapa hari ini aku sungguh ingin menjadi pahlawan untuk ibu mertuaku. Biasanya aku tidak pernah peduli padanya. Tapi melihat perlakuan anak-anaknya, terlebih mbak Tati, aku jadi kasihan pada ibu mertuaku itu.
Karena tidak ada pergerakan, baik dari Azril maupun mbak Tati, aku berinisiatif untuk bangun dan menghampiri anak itu. Aku menggendongnya dengan tangan kiriku, dan membawa piringnya dengan tangan kananku. Lalu aku mendudukkan Azril di antara mbak Tati dan mas Lukman. Dan anak itu menangis histeris!
“Kamu apa-apaan sih Alya!” bentak mbak Tati.
“Ibu mau makan mbak, harusnya mbak dong yang suapin anak mbak.”
“Apa salahnya kalau seorang cucu mau dekat dengan neneknya?”
“Dekat dengan neneknya itu gak salah mbak, yang salah itu menjadikan neneknya sebagai baby sitter!”
“kamu ....”
Belum sempat mbak Tati menyelesaikan kalimatnya, suara tangisan bayi terdengar dari kamar.
“Ini semua salah kamu Alya! Lihat baby Vano jadi menangis! Kamu tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang mempunyai dua balita. Bahkan untuk makan dengan tenang saja itu sangat sulit Alya. Kamu bisa bersikap seperti ini karena kamu tidak mempunyai anak. Kita lihat saja nanti bagaimana kacaunya hidup kamu setelah ada seorang anak yang hadir dalam rumah tangga kalian!”
“Sudah Ti, sana kamu tenangkan bayi kamu.” Seperti biasa ibu mertuaku selalu hadir untuk menengahi. Lalu ibu mertuaku menghampiri Azril yang masih menangis, “Azril, makan lagi sama nenek yah.”
Mbak Tati masuk ke dalam kamar. Azril pun kembali tenang. Dia kini duduk di pangkuan ibu mertuaku.
Kulihat mas Ridwan yang sedari tadi sibuk menyuapi mbak Dini tersenyum sinis ke arahku.
“Makanya Ndi, cepat-cepatlah kamu minta istri kamu untuk hamil, biar dia ikut merasakan bagaimana repotnya punya bayi,” ucap mas Ridwan, “atau jangan-jangan kamu kurang hot di ranjang kali Ndi, makanya usaha kamu belum juga membuahkan hasil.”
Aku mendelik sebal kepada mas Ridwan. Tahu sekali kalau saat ini dia sedang menyindirku.
“Jaga bicara mas, di sini ada anak-anak.”
“Alam sudah selesai, mau ke kamar dulu.” Alam bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami semua. Sepertinya dia merasa tidak nyaman terhadap topik yang di bicarakan papanya.
Mas Lukman dan Andi sudah selesai makan, mereka berdua pamit untuk merokok di teras depan. Aku yang juga sudah selesai makan segera bangun untuk menyimpan piring kotor milikku dan Andi ke tempat cuci piring. Tanpa aku sadari, mas Ridwan ternyata mengikutiku dari belakang.
“Jadi bagaimana Al?” tanya mas Ridwan.
Aku berbalik. Bertanya dalam diam apa maksud dari pertanyaannya.
“Lebih hot pacar kamu atau suami kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)
RomanceAlya dan Andi yang sudah berpacaran semenjak SMA memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah. Bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya?