Part 1 Beban Keluarga

1.3K 37 0
                                    

“Kamu itu ya dari pagi kerjaannya main hapeee terus, beres-beres rumah kek, nyuci kek, ngepel kek. Kamu gak liat itu dapur udah kayak sarang tikus, piring kotor numpuk, lantai berpasir. Gunain tangan dan kaki kamu untuk hal yang lebih berguna, Alya ... Alya ....” Ibu mertuaku selalu saja mengomel. Dia paling tidak suka kalau melihatku duduk manis sambil berselancar di dunia maya.

“Tadi udah Alya sapu Bu, tapi si Azril bolak-balik terus ke rumah. Mana kalo main gak pernah pake sendal.”

Azril adalah anak dari kakak suamiku yang nomor dua, mbak Tati namanya. Di usianya yang masih 4 tahun, mba Tati sudah melahirkan lagi anak ke duanya, jadilah Azril sering diasuh ibu mertuaku.

“Alasan aja kamu! Dasar malas!” umpatnya.

Ibu mertuaku adalah seorang janda dengan tiga orang anak, Roswita namanya. Bapak mertuaku sudah meninggalkan dunia ini jauh sebelum aku mengenal suamiku.

Ketiga anak-anak ibu mertuaku sudah dewasa, sudah berumah tangga. Anak pertama bernama mbak Dini, anak kedua bernama mbak Tati, dan yang ketiga Andi, suamiku.

Kedua kakak iparku bisa dibilang sudah sukses. Suami keduanya adalah seorang pengusaha. Suami mbak Dini bernama mas Ridwan, dia memiliki area pertambangan pasir yang cukup luas. Sedangkan suami mbak Tati bernama mas Lukman, memiliki show room mobil. Hanya suamiku yang kehidupannya masih bergantung pada Ibunya.

Ibu mertuaku bisa menikmati masa tuanya dengan tenang. Semua biaya hidupnya di tanggung kedua kakak iparku. Termasuk suamiku, dan kini juga aku.

Sebenarnya aku sudah muak mendengar omelan ibu mertuaku setiap harinya. Baginya aku ini tidak ada baiknya sama sekali. Padahal pernikahan kami belum genap tiga bulan. Seharusnya ibu mertuaku bisa memaklumi kalau aku belum bisa beradaptasi dengan keluarga suamiku.

Aku menghentakkan kaki cukup keras, dan mengibaskan sedikit rambutku di hadapan ibu mertuaku yang bawel itu. Lalu masuk ke kamarku, di mana suamiku masih terlelap usai begadang tadi malam.

“Ndi ... Ndi ... Bangun dong! Kamu gak denger dari tadi ibu kamu ngomel-ngomel terus sama aku.” Usahaku untuk membangunkan suamiku tidak sia-sia, ia sedikit menggeliat dan nampak kesusahan membuka matanya.

“Apa sih Al, pagi-pagi udah cemberut gitu.”

“Pagi? Ini udah jam sepuluh tau! Memangnya semalam kamu tidur jam berapa?”

“Jam empat pagi kayaknya, atau jam lima yah, lupa.”

“Maen game?”

Suamiku mengangguk.

Memang sudah kebiasaannya setiap hari, ia akan menghabiskan waktunya dengan bermain game online. Ibu mertuaku tidak pernah melarang atau menegurnya. Ibu sangat memanjakan suamiku karena suamiku adalah anak laki-laki satu-satunya.

“Andi bangun!”

Suamiku terkesiap dan segera duduk. Ia akan selalu menuruti apa pun yang aku mau. Ia sangat memanjakanku bahkan saat kami masih pacaran dulu.

Dulu aku dan suamiku adalah teman satu angkatan saat SMA. Kami menjadi dekat saat suamiku waktu itu diangkat menjadi kapten tim basket sekolah, dan aku adalah tim cheerleadernya. Teman-teman kami menyebut kami best couple saat itu. Tidak ada yang tidak mengenal kami, karena baik aku maupun suamiku sangat populer saat itu.

Hubungan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kami mengambil jurusan yang sama di perguruan tinggi yang sama. Sehingga kami selalu bersama hingga kami menikah hampir tiga bulan yang lalu, satu bulan setelah kami wisuda.

“Kamu mau apa Al?”

“Aku mau sekarang kamu bangun, trus bilang sama ibu kamu supaya berhenti omelin aku. Aku itu istri kamu, bukan pembantu!” tegasku.

“Oke fine, sayang. Udah dong jangan cemberut gitu,” ucapnya seraya mencubit kedua pipiku manja.

Andi bangun dan beranjak keluar kamar untuk menemui ibunya. Sementara aku mengekor di belakangnya, ingin melihat ibu mertuaku yang bawel itu dimarahi anak kesayangannya.

“Bu,” panggil suamiku.

Tidak ada jawaban.

Lalu kami berjalan ke arah dapur. Ternyata ibu mertuaku sedang ada di sana. Ia sedang mencuci piring-piring kotor yang numpuk di dalam wastafel.

“Bu,” sapa suamiku. Ia berjalan mendekat ke arah ibunya. Sementara aku berdiri agak jauh dari mereka.

“Baru bangun kamu Ndi?”

“Iya bu, ibu masak apa hari ini?” Aku menepuk jidat, mengapa suamiku malah menanyakan makanan sih.

“Ada pepes ikan mas, lalapan, sama sambal, kamu mau makan?”

“Ibu tadi marahin Alya lagi?”

Ibu mertuaku menghentikan gerakan tangannya, “Alya ngadu sama kamu?”

“Ibu seharusnya lebih sabar sama Alya, Bu.”

Ibu mertuaku menatap ke arah suamiku, “Alya itu sudah hampir tiga bulan tinggal di rumah ini. Tak sehari pun dia mau membantu pekerjaan rumah. Kerjaan dia hanya main hape terus. Ibu tidak menyuruh dia mengerjakan pekerjaan berat kok. Setidaknya dia cuci baju kotornya sendiri, atau cuci bekas makannya sendiri. Lalu sapu lantai yang kotor. Apa dia tidak merasa risih jalan dilantai yang berpasir?”

Ibu mertuaku lalu menunjuk ke arah wastafel yang penuh dengan piring kotor, “kamu lihat, ibu tadi pagi buru-buru pergi ke rumah mbakmu untuk membantu memandikan bayinya, apakah tidak tergerak hatinya melihat piring kotor ini? Bukannya membersihkannya, dia malah menambahnya!”

“Itu bukan piring bekas aku Bu!” Aku tiba-tiba masuk ke dapur, mengejutkan kedua ibu dan anak tersebut yang tengah berdebat. “Itu piring-piring bekas si Alam, Ryan, sama Fauzi yang numpang makan disini.”

Ibu mertuaku menatap nyalang ke arahku, “berani-beraninya kamu menyebut cucu-cucuku numpang makan disini! Mereka itu anak-anak Dini, mbaknya Andi, mbakmu juga. Artinya mereka itu keponakan kamu Alya! Kalau ada yang disebut numpang itu kamu!”

Antara percaya dan tidak percaya ibu mertuaku terang-terangan menyebutku numpang. Aku lebih mendekatkan diri dengan mereka, lalu berdiri ditengah-tengah ibu dan Andi, menghadap ke arah suamiku itu dan membelakangi mertuaku.

“Kamu dengar Ndi? Ibu bilang aku ini disini cuma numpang! Aku tidak terima ibu memperlakukan aku seperti itu ya Ndi.” Usai mengatakan itu, aku segera pergi meninggalkan mereka.

Aku berjalan cepat ke arah kamarku, lalu membanting pintunya dengan keras. Nafasku masih tersengal karena amarah yang tidak terluapkan semuanya.

Sebenarnya aku kecewa, karena aku pikir Andi akan memarahi ibunya setelah tahu dia mengomeli aku, tapi nyatanya tidak. Dasar laki-laki lemah!

Kuraih ponsel di atas nakas, lalu mencari sebuah kontak di sana. Setelah menemukan kontak yang aku cari, aku segera menghubunginya.

“Mamaaaaa ...,” Rengekku begitu panggilan terhubung.

Kenapa lagi Al?”

“Ibu mertuaku jahat Maaa ....”

Memangnya tidak ada pembahasan lain yang lebih menarik Al?”

“Mama kok gitu sih, Mama udah gak peduli lagi sama Alya?”

Hampir setiap hari kamu menelpon dengan pembahasan yang sama, Mama bosan. Memangnya kali ini ada masalah apa lagi?”

Aku sedikit mengiba, “masa Ibu mertua aku bilang aku numpang di rumah ini Ma.”

Memang benar kan?”

“Mama kok gitu sih? Mama jahat.”

Kamu dan suami kamu itu sama saja. Sama-sama beban keluarga!”

“Mamaaaa ....”

Tak percaya rasanya Mamaku sendiri mengatakan hal seperti itu. Kututup sambungan telepon secara sepihak. Aku sebal sama Mamaku dan Ibu mertuaku.

Ting. Sebuah pesan masuk.

[Hari ini Mama masak brownies kukus kesukaan kamu, mau mama anterin kesana atau kamu yang kesini?]

Senyumku tiba-tiba mengembang.

[Bentar lagi Alya otewe].

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang