Part 38 Alya Pergi

450 16 0
                                    

“Bu, Alya pergi.” Dengan menyeret kopernya, Alya memberanikan diri untuk berpamitan pada ibu mertuanya yang masih menangisi kepergian anak kesayangannya.

Tidak ada jawaban. Bahkan menoleh pun tidak.

Alya merasakan sakit di hatinya. Diabaikan ibu mertuanya ternyata lebih terasa sakit daripada diabaikan oleh Andi sendiri. Ibu mertua yang ia anggap cerewet dan bawel saat pertama kali datang ke rumah ini, tapi Alya baru sadar, diam-diam ia mulai menyayanginya.

Alya mundur perlahan dan berbalik mantap meninggalkan rumah ibu mertuanya. Tujuannya saat ini adalah pergi ke rumah Tedi. Sebelumnya ia sudah mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif.

“Kamu salah jika memilih untuk pergi, Alya!” Suara berat seorang laki-laki sukses mengejutkan Alya yang tengah menunggu taksi.

Alya menghapus jejak air matanya dan menoleh ke arah sumber suara, “mas Ridwan?”

“Jika aku jadi kamu, aku akan memilih untuk tinggal.”

Alya menunduk, “aku sudah tidak mempunyai muka lagi untuk tinggal di sini mas. Aku sudah tidak layak berada di sini.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Pergi bersama pacar kamu dan menghancurkan keluarganya juga?”

Alya diam.

“Kamu sadar kan, kalau kamu pergi, kamu akan menghancurkan dua keluarga?”

Alya masih diam.

“Pikirkan ini baik-baik Alya. Sekali kamu meninggalkan rumah Andi, selamanya kamu tidak akan pernah bisa kembali.”

Alya menatap bola mata mas Ridwan dalam, “mas tidak mengerti, karena mas tidak merasakannya. Mas bisa berhubungan dengan beberapa wanita di luar sana, dan bisa kembali pulang dengan sambutan keluarga. Mungkin kepergian mbak Dini juga tidak begitu berpengaruh pada kehidupan mas. Oke, mungkin sekarang mas Ridwan merasa sedih, tapi berapa lama? Mas bisa saja mencari gantinya, kapan pun mas Ridwan mau. Mas tinggal tunjuk wanita itu dan—“

“Cukup! Cukup Alya!” mas Ridwan memotong ucapan Alya, “jangan membicarakan sesuatu yang kamu sendiri tidak tahu akan hal itu.”

Melihat keseriusan di wajah mas Ridwan, seketika membuat Alya bungkam.

“Kamu tahu, kehilangan Dini adalah kehilangan terbesar dalam hidupku. Aku sangat mencintainya.”

“Kalau mas mencintai mbak Dini, kenapa mas selingkuh?”

Mas Ridwan mengembuskan napas berat, “baiklah, aku akan menceritakan sebuah rahasia kepadamu. Dini ... Mengalami suatu kondisi di mana ia akan merasakan sakit ketika berhubungan intim. Dokter bilang itu adalah Vaginismus. Dan itu terjadi setelah ia melahirkan Fauzi. Salahku memang, waktu itu aku mengajak Dini berhubungan saat ia masih dalam pemulihan pasca melahirkan Fauzi secara sesar.”

Alya mendengarkan cerita mas Ridwan dengan seksama.

“Karena tidak tahan Dini terus menerus merasa kesakitan saat berhubungan, akhirnya aku tidak berani menyentuh Dini lagi. Dini merasa bersalah, karena tidak bisa melayaniku di atas ranjang. Dan pada akhirnya, dia memintaku untuk memuaskan diriku bersama wanita lain, dengan pengaman tentunya. Sejak saat itulah, aku mulai mengonsumsi minuman keras, agar aku melupakan rasa bersalah saat melakukannya. Aku tahu, Dini sangat tersiksa mengetahui hal itu, tapi dia tetap tidak menghentikanku.”

Alya melihat bola mata mas Ridwan mulai berkaca-kaca.

“Kamu tahu Al, apa yang membuatku sangat merasa bersalah? Dini berkorban perasaan membiarkanku bercumbu dengan wanita lain demi aku, sedangkan aku dengan egoisnya melakukan itu walaupun aku tahu Dini menyimpan banyak kesedihan. Bukannya seharusnya aku juga bisa berkorban? Aku bisa saja meredam keinginanku berhubungan intim sampai Dini sembuh kan? Aku sangat menyesal Al.”

“Mas ....”

“Dan apa tadi kamu bilang? Mengganti Dini dengan wanita lain? Itu tidak mungkin Al.” Mas Ridwan kembali mengembuskan napas berat, “beberapa hari yang lalu aku divonis mengidap impotensi oleh dokter. Kamu tahu artinya kan? Bagi medis, ini mungkin terjadi karena kebiasaan burukku mengonsumsi minuman beralkohol, tapi bagiku, ini adalah teguran dari Tuhan atas dosa-dosaku.”

Bola mata Alya membulat seketika.

“Belajarlah dari kesalahanku Al, hukuman Tuhan itu sangat nyata. Rumah tanggamu hancur karena kesalahanmu sendiri, tapi jangan sampai kamu menghancurkan keluarga orang lain. Apalagi aku dengar, laki-laki itu adalah suami dari sahabatmu sendiri. Dan dia baru saja melahirkan seorang bayi bukan? Jangan hancurkan masa depan anak yang tidak bersalah Al.”

Alya diam, sampai sebuah mobil berhenti di depan mereka.

“Atas nama mbak Alya?” tanya sang driver.

Alya menoleh, “iya pak, tunggu sebentar.”

Mas Ridwan menghentikan gerakan tangan Alya yang akan mengeret kopernya, “ingat Al, sekali kamu pergi, kamu tidak akan pernah bisa kembali.”

Alya melihat ke arah tangan mas Ridwan yang mencekalnya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah jalan yang menuju ke rumah Andi, lalu ia mengangguk dengan pasti, “aku tahu apa yang aku lakukan mas.”

Mas Ridwan perlahan melepaskan tangannya. Ia sudah berusaha sampai sejauh ini, dan apa pun keputusan Alya, pasti sudah dipikirkan matang-matang. Bola matanya mengikuti langkah kaki Alya yang memasuki taksi online setelah sebelumnya memasukkan kopernya ke dalam bagasi.

Mobil perlahan menjauh, hingga hilang dari pandangan.

“Sesuai titik ya mbak?” tanya sang driver.

“Iya pak,” jawab Alya. Ia kemudian memejamkan matanya dan bersandar pada sandaran kursi.

Alya kemudian teringat sesuatu. Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya, dan mencoba menghubungi Tedi kembali, ternyata masih tidak aktif. Pikirannya mulai kacau, ia mulai berpikir kalau Tedi menghindarinya.

“Aaarrgghhh!!!” Tanpa sadar, Alya berteriak, hingga ia mendengar tangisan seorang bayi.

Alya menoleh ke kiri dan ke kanan. Apakah ia sedang berhalusinasi? Tapi ternyata tidak. Ia dengan jelas melihat seorang bayi di dalam box bayi di kursi depan.

“Bapak membawa bayi?” tanya Alya kepada sopir taksi yang sedang berusaha menenangkan bayi tersebut.

“Iya mbak, maaf ya. Kalau boleh, minta waktunya sebentar untuk berhenti buat nenangin cucu saya?” tanya sang sopir hati-hati.

Alya mengangguk dalam diam. Ia merasa bersalah, pasti bayi itu terbangun karena suara teriakannya. Tapi, mengapa seorang sopir taksi online membawa seorang bayi ketika mengantarkan penumpang?

Mobil berhenti di pinggir jalan. Sang sopir menggendong cucunya dan menimang-nimangnya agar kembali tertidur. Karena tidak berhenti menangis, ia mencoba memberikan susu yang telah ia siapkan sebelumnya kepada bayi tersebut dan akhirnya tangisan pun mereda.

“Emh, maaf mbak, kalau mbak buru-buru, mbak bisa pesan taksi lain saja. Ini biasanya cucu saya suka lama kalau lagi nyusu.”

“Eh, tidak apa-apa pak, saya santai kok,” jawab Alya.

Alya mengamati cara sang sopir mengurus cucunya dengan sangat telaten. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk menggendong bayi tersebut, “boleh saya gendong pak. Ehm ... Maksudnya biar saya saja yang gendong, biar bapak bisa lanjut menyetir.”

Sang sopir yang sempat ragu akhirnya menyerahkan bayi tersebut kepada Alya. Alya menggendongnya dengan sangat hati-hati.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang