Mulai part ini sampai selesai, POV author ya teman-teman. Happy reading 🥰
Tedi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apa yang Siska ucapkan mengganggu pikirannya. Bukan mengenai kenyataan bahwa Alya hanya mencintai uangnya. Tedi tidak peduli akan hal itu. Tapi karena Alya berencana meninggalkannya dan hidup bahagia bersama dengan Andi setelah mendapatkan hartanya.
Tedi memarkirkan mobilnya di tepi jalan yang lumayan sepi. Ia kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi nomor Alya.
“Halo,” sapa suara lembut wanita yang selalu ia rindukan itu.
Tedi menetralkan suasana hatinya agar terdengar biasa saja. “Hai Al.”
Hening.
“Bisa kita bertemu? Ada yang perlu aku bicarakan.”
Lama Alya tidak menjawab pertanyaannya, dan itu membuat Tedi geram.
“Bersiaplah, aku akan menjemputmu.”
“Ke-kemana?”
“Hanya makan malam.”
“Kita bertemu di lokasi saja.”
“Baiklah, akan aku kirim alamatnya.”
Tedi mengirimkan sebuah alamat restaurant yang ada di pusat kota. Ia sendiri segera menuju ke lokasi. Lebih baik ia menunggu Alya di sana saja. Mengendarai mobil dengan tujuan tidak jelas, ditambah akal pikirannya yang sedang tidak waras, itu akan sangat berbahaya.
Sekitar satu jam menunggu, Alya akhirnya datang ke restaurant itu. Ia tidak mengenakan gaun backless seperti kesukaan Tedi. Tedi mulai menyadari kalau Alya sudah mulai menjauhinya.
“Mau makan apa?” tanya Tedi ketika Alya duduk di hadapannya.
“Samain aja mas,” jawab Alya singkat.
Makan malam kali ini sangat berbeda dengan biasanya. Hening. Mereka berdua fokus dengan makanan di piring mereka masing-masing. Mereka lebih mirip pasangan yang sedang kencan buta.
Makan malam terjadi begitu saja. Bahkan sampai makanan di piring habis, tak ada obrolan, candaan, atau kata-kata romantis yang biasa Tedi ucapkan.
“Aku antar kamu pulang,” ucap Tedi pada akhirnya.
Alya mengekori Tedi dari belakang. Terlihat sekali ia sangat ketakutan untuk masuk ke mobil Tedi. Ia duduk dengan gugup di samping Tedi.
Tedi melihat dengan jelas ketakutan di wajah Alya. Ia tidak mengerti ada apa dengan wanitanya ini. Jika Alya ingin meninggalkannya, tidak seharusnya ia bersikap seperti itu. Sebaliknya, ia mungkin akan lebih menggodanya untuk memberikan lebih banyak uang.
“Al ....” Tedi menyentuh bahu Alya.
“Jangan sakiti aku!” Alya berteriak di hadapan Tedi, membuat Tedi mengernyit heran. “Jangan sakiti aku, aku mohon mas.”
“Siapa yang menyakiti kamu Al?” Tedi bingung sendiri. Ia melepas seatbelt yang sempat ia pasang, lalu menghadap ke arah Alya.
Tanpa diduga, Alya mengeluarkan pisau lipat dari dalam tasnya dan mengarahkannya kepada Tedi, “jangan mendekat! Aku bisa berteriak,” ancamnya.
“Al, turunkan itu. Itu sangat berbahaya.” Tedi mencoba meraih pisau dari tangan Alya, namun Alya menangkisnya dengan cepat hingga melukai pipi Tedi. Darah segar mengalir dari sana.
“Sudah aku bilang jangan mendekat, aku bukan wanita seperti yang kamu bayangkan mas. Aku bukan wanita lemah yang bisa kamu permainkan.”
Tedi memperhatikan gerak bibir Alya. Jelas sekali ia sangat ketakutan saat mengatakannya.
“Letakkan pisau itu Al, kita bisa membicarakan ini baik-baik.”
“Tolong jangan lakukan ini mas. Tolong ....” Alya kembali memohon.
“Apa? Apa yang telah aku lakukan?” tanya Tedi bingung.
“Aku akan melupakan kejadian yang menimpa orang tuaku, tapi tolong, lepaskan aku mas. Aku janji tidak akan melaporkan mas ke kantor polisi.”
“Kenapa kamu berpikir kalau aku yang melakukan itu Al? Aku tidak melakukan itu, kamu tahu kan?”
Alya menggeleng, “aku bukan hanya berpikir, tapi aku tahu mas. Siska sudah menceritakan semuanya kepadaku.”
“Apa?” Tedi terlonjak kaget mendengar nama Siska di sebut-sebut.
“Siska sudah menceritakan bagaimana kalian menikah. Bagaimana kamu membujuknya untuk mengandung anak kamu, dan setelah dia memberikan kesuciannya, kamu mencampakkannya begitu saja. Aku tahu semuanya mas. Aku juga tahu kalau kamu memaksa dia untuk mengaku sebagai sebatang kara hanya karena kamu malu mempunyai istri dari kalangan bawah.” Alya tersengal saat mengatakannya. “Aku berjanji tidak akan melaporkan kamu ke kantor polisi, asalkan kamu juga berjanji tidak akan menyakiti Siska.”
Tedi menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil. Ia menatap jauh ke depan. Mengamati mobil-mobil yang berjejer rapi di parkiran restaurant. “Jadi ini ulahnya?” ucap Tedi lirih.
“Apa kamu mencintaiku Al?” tanya Tedi parau, tanpa mengalihkan pandangannya dari mobil-mobil di depan sana.
“A-apa?”
“Setelah kita bersama, tidak bisakah kamu merasakan dalamnya cintaku padamu Al?” Tedi mencengkram paksa tangan Alya yang sedang memegang pisau, lalu mengarahkan pisau itu ke lehernya, “lakukan Al, lakukan kalau kamu merasa cintaku padamu adalah palsu, lakukan kalau kamu merasa aku adalah dalang di balik meninggalnya kedua orang tua kamu!”
Alya meronta, mencoba menarik paksa tangannya. Ia tahu, jauh dari dalam lubuk hatinya ia tidak percaya kalau Tedi adalah orang seperti itu. Alya sangat mencintainya.
Usaha Alya sia-sia. Tenaga Tedi jauh lebih besar. Tepat ketika pisau itu akan mengenai leher Tedi, Alya menjatuhkannya.
Tedi mendekat ke arah Alya dan memeluknya. Alya pasrah, ia menerima segala kehangatan yang Tedi berikan.
Setelah merasa Alya sudah mulai tenang, Tedi merenggangkan kembali posisi duduknya. Ia memasang kembali seatbeltnya dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
“Kita mau kemana mas?” tanya Alya.
“Membuat perhitungan pada orang yang telah melakukan semua ini terhadap kita.”
Walaupun Alya tidak tahu pasti kemana mereka akan pergi, namun Alya lebih memilih untuk percaya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)
RomanceAlya dan Andi yang sudah berpacaran semenjak SMA memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah. Bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya?