Satu bulan berlalu dari semenjak kebakaran rumah orang tuaku. Aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Bukan tidak ingin, aku ingin sekali mencari pelaku pembunuhan kedua orang tuaku. Tapi Tedi memintaku agar untuk sementara ini aku tidak keluar rumah, dia yang akan bergerak. Aku memilih untuk menurutinya.
Ponsel di sampingku berdering, menampilkan nama Tedi di sana. Aku segera mengangkatnya, berharap kali ini dia memberikanku berita baik.
“Halo mas,” sapaku segera.
“Halo Al? Gimana kabar kamu?” Tanyanya di seberang sana.
“Baik Mas. Sudah ada perkembangan mengenai pelaku kebakaran itu mas?” tanyaku tak sabar.
“Itulah yang akan aku bicarakan Al.” Nada khawatir terdengar jelas dari suara Tedi.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Beberapa hari yang lalu, detektif swasta yang aku sewa mengatakan kalau dia sudah menemukan titik terang mengenai pelaku, tapi ....” Tedi menggantung kalimatnya, dan aku tidak suka itu.
“Tapi apa Mas?”
“Dia terbunuh Al.”
Aku tercekat.
“Lawan kita sangat licin Al, dia bisa tahu dengan mudah pergerakanku.”
Tanganku tiba-tiba bergetar. Bahkan aku tidak sanggup memegang ponselku dengan benar, hingga menyebabkannya terjatuh.
“Halo ... Halo ....” Masih bisa ku dengar suara Tedi di seberang sana. Hingga sambungan kami terputus.
IPhone 12 pro max yang Tedi belikan satu bulan yang lalu itu tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Aku menekuk kedua lututku dan membenamkan wajahku di atasnya. Kini aku sudah diambang keputus asaan. Disaat penyelidikan hampir menemukan titik temu, kenapa semuanya harus menjadi seperti ini?
Aku tidak bisa diam saja, aku harus segera bertindak. Aku segera bangun dan berganti pakaian. Ku pilih blouse lengan panjang dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna biru tua. Tidak lupa ku kenakan sneaker berwarna putih dan menyambar tas yang tergeletak di atas nakas yang sebelumnya telah aku masukkan ponsel serta dompetku ke dalamnya.
“Mau kemana Al?” aku berpapasan dengan ibu mertuaku di depan pintu kamar.
“Mau cari angin Bu,” jawabku asal.
“Gak nunggu Andi aja? Biar dia yang anter. Ibu gak enak perasaan Al.”
Hari ini hari Rabu, jadwal Andi melatih basket.
“Alya gak jauh-jauh kok Bu, cuma ke depan aja.”
“Yaudah kalau begitu hati-hati ya.”
“Iya Bu ....”
Aku masuk ke dalam mobilku yang sudah hampir satu bulan ini tidak pernah aku gunakan dari semenjak Tedi mengirimkannya lagi ke rumah ini. Beruntung mesinnya tidak rewel, karena setiap pagi Andi selalu memanaskan mesinnya.
Andi sempat bertanya perihal mobil ini. Aku mengatakan kalau mobil ini adalah bonus dari perusahaan karena aku bekerja dengan baik dan memberikan keuntungan besar bagi perusahaan. Sepertinya Andi percaya.
Dia juga menanyakan perihal ponsel yang Tedi kirimkan untukku melalui Ayu. Dan lagi-lagi aku harus berbohong kalau ponsel tersebut sebagai ganti rugi perusahaan karena ponselku hilang saat sedang dinas luar kota.
Mobil yang ku kendarai keluar dari halaman ibu mertuaku dan melewati rumah mbak Dini. Di sana sangat ramai, banyak warga berkerumun. Mungkin mas Ridwan sedang membagikan sembako lagi, seperti yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Bukan karena peduli, tetapi lebih kepada untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Sebentar lagi sudah masuk masa kampanye terbuka untuk semua calon anggota dewan, ia harus sering-sering berbagi agar mendapat dukungan dari masyarakat. Entah berapa rupiah yang sudah ia keluarkan.
Mobil hampir melewati gerbang rumah mbak Dini ketika tiba-tiba seseorang berlari ke arah mobilku dan menabrak bagian depannya. Untung saja aku mengendarainya cukup pelan, sehingga tidak menimbulkan luka pada orang tersebut.
“Alam?” ucapku pelan.
Aku turun dari mobil dan menghampiri remaja SMA yang baru saja menabrak mobilku.
“Alam? Kamu gak kenapa-kenapa kan?”
“Tante, tolong Mama tante ....” Alam tidak menjawab pertanyaanku, ia malah memintaku untuk menolong mbak Dini.
“Mama kamu kenapa?” tanyaku.
“Mama jatuh dari tangga tante.”
Aku terbelalak kaget, “Papa kamu kemana?”
“Papa belum pulang tante, tadi sudah coba Alam telepon, tapi tidak di angkat.”
Pasti mas Ridwan sedang bersama perempuan-perempuan muda. Batinku.
Alam menarikku untuk masuk ke dalam rumahnya. Di sana nampak mbak Dini tergolek lemah di atas sofa dengan Ryan dan Fauzi di sisinya. Anak-anak malang tersebut terisak memanggil-manggil nama mamanya.
Seorang wanita paruh baya menghampiriku, “sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja mbak, keadaan mbak Dini sangat mengkhawatirkan.”
Aku mengangguk, “ibu-ibu tolong bantu masukin mbak Dini ke mobil saya ya.” Aku mengatakannya karena tak ku lihat satu pria pun di sana, selain anak-anak mbak Dini.
Beberapa orang diantara mereka membantu mengangkat tubuh mbak Dini untuk dimasukkan ke dalam mobilku. Mereka mendudukkannya di kursi belakang. Kemudian aku segera duduk di balik kemudi.
Alam ikut masuk dan duduk di samping mamanya. Sementara Ryan dan Fauzi ditahan warga agar menunggu di rumah. Mereka sempat meronta karena ingin ikut bersama mama dan kakaknya.
“Bu, tolong kabari ibu mertua saya ya, nanti biar nyusul sama Andi atau mas Ridwan.” Aku menitipkan pesan pada ibu-ibu separuh baya yang memegangi Ryan dan Fauzi.
Aku menjalankan mobil dengan kecepatan penuh, ingin segera sampai di rumah sakit. Sesekali Alam memberitahu jalannya jika kami sampai di persimpangan.
“Depan belok kiri tante.”
Kami akan membawa mbak Dini ke rumah sakit di mana biasanya ia kontrol.
Sekitar 40 menit berkendara, kami akhirnya sampai di rumah sakit. Mbak Dini langsung dibawa ke UGD. Ku lihat Alam hilir mudik di depan pintu UGD. Dia pasti sangat khawatir sekarang.
“Lam ....” Aku menyentuh bahunya, agar ia tenang, agar ia tahu kalau ia tidak sendiri.
“Kenapa dokter lama sekali meriksa Mama tente.” Lucu sekali melihat remaja laki-laki menangis. Kalau bukan dalam situasi saat ini, aku pasti sudah menertawakannya.
“Sabar Lam, Mama kamu sudah di tangani sama ahlinya,” ucapku, “by the way, kenapa Mama kamu bisa jatuh dari tangga sih?”
“Akhir-akhir ini keadaan Mama sebenarnya sudah membaik tante. Mama sudah bisa jalan dengan bantuan tongkat, tidak duduk di kursi roda lagi. Hari ini, Mama sedang berlatih naik turun tangga, dan ... Dan Mama malah terjatuh tante.” Alam kembali menangis, membuatku tidak tega untuk memintanya bercerita.
Ibu mertuaku datang ke arah kami, disusul oleh Andi di belakangnya. Alam berlari ke arah neneknya tersebut dan menghambur ke pelukannya. Ia menumpahkan segala kesedihannya pada orang yang telah melahirkan mamanya tersebut.
Andi menghampiriku, “terima kasih yah Al,” ucapnya.
“Terima kasih karena sudah mengantarkan mbak Dini ke rumah sakit. Terima kasih karena sudah peduli pada keluargaku.”
Aku tersenyum. Ada perasaan hangat saat Andi mengucapkannya. Ternyata begini rasanya membantu orang lain. Ini kah yang Andi rasakan ketika membantu saudaranya yang membutuhkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)
RomanceAlya dan Andi yang sudah berpacaran semenjak SMA memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah. Bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya?