Part 12 Selamat Tinggal Kenangan

246 10 2
                                    

Aku menangis tergugu dengan membenamkan kepalaku di atas lutut yang tertekuk. Sekali lagi aku menoleh ke arah pria di sampingku yang masih terlelap di bawah selimut yang sama denganku. Guncangan akibat tangisanku berhasil membangunkannya.

“Kamu kenapa Al?”

Pria tersebut bangun dan duduk mensejajariku. Selimut yang kami gunakan sedikit tersibak menampilkan tubuh bagian atasnya yang masih bertelanjang dada. Aku kembali melongok ke dalam selimut yang menutupi tubuhku. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhku kecuali selimut ini.

“Katakan ini semua tidak benar mas,” ucapku masih dengan tangisan yang belum mereda.

“Apa maksud kamu Al?” Pria tersebut nampak bingung melihat aku sedari tadi menangis. Ia mencoba mengusap air mataku, tetapi aku segera menepisnya. Merasa jijik padanya, juga pada diriku sendiri.

“Katakan tadi malam kita tidak melakukan apa-apa!” ucapku setengah berteriak.

Tedi mendekatkan dirinya ke arahku, berusaha menenangkanku, namun dengan sigap aku kembali menepis tangannya.

“Jangan sentuh aku mas!”  Tangisku pun kembali pecah.

“Al ... Hei ... Tenang ... Kamu kenapa?” Tedi membawaku ke dalam dekapannya. Aku berusaha meronta, tapi tentu saja tenagaku kalah kuat dibanding tenaga Tedi. Akhirnya aku memutuskan untuk pasrah.

“Sekarang kamu katakan, kamu kenapa? Kamu menyesal atas apa yang kita lakukan semalam.”

Tangisku kembali pecah. Jadi benar, ini semua bukan mimpi.

“Seharusnya mas tidak melakukan itu. Seharusnya kita tidak melakukan itu mas.”

Tedi meregangkan dekapannya dan menatap mataku, “Al, aku bukan pemerkosa. Kalau semalam kamu menolaknya, aku tidak akan memaksa. Kita melakukannya atas keinginan kita sendiri. Tidak ada yang memaksa ataupun dipaksa.”

“Aku merasa bersalah pada Andi mas. Apa kamu tidak merasa bersalah pada Siska?”

“Hubunganku dan Siska tidak sejauh itu sampai aku harus merasa bersalah padanya. Lagi pula kenapa kamu harus menyangkal sedikit kesenangan di sini sementara aku tahu hubungan kamu dan suami kamu juga sedang buruk bukan?”

“Jika Andi tahu hal ini, hubungan kami akan lebih buruk lagi mas.”

“Kalau begitu, Andi tidak perlu tahu.”

Aku diam.

“Al, setelah ini, tidak akan ada yang berubah. Aku janji. Aku tahu kamu juga menikmati apa yang kita lakukan semalam bukan?”

Aku diam. Ingin menyangkalnya, tapi apa yang dikatakan Tedi adalah benar.

Tedi kembali membawaku ke dalam dekapannya, “semua akan baik-baik saja Al, aku janji.”

Aku ingat sekali apa yang terjadi semalam. Ketika tengah malam, aku menelpon Tedi karena tiba-tiba badanku gatal-gatal, mungkin karena alergi bebek. Aku juga tidak tahu, karena ini kali pertama aku memakannya. Tedi datang ke kamarku dan membawa obat alergi yang ia dapat dari apotek 24 jam. Tedi membantu mengoleskan salep ke punggungku. Dan itu lah awal mula terjadinya semua ini.

“Apa kamu mau kita percepat saja kepulangan kita?” tanya Tedi.

Aku berpikir sejenak. Ingin berkata iya, namun urung ku ucapkan. Ingat akan tekadku semalam yang ingin tahu sampai mana Andi bisa tahan tidak menghubunginya. Akhirnya aku menggeleng.

“Baiklah kalau begitu sekarang kamu bersiap. Aku akan kembali ke kamarku.”

“Kita mau kemana?”

“Bali.”

Kami berangkat pukul 12.30 siang, dan sampai di Bali pada 14.30. Sebenarnya waktu tempuh Surabaya – Bali hanya 1 jam perjalanan dengan menggunakan pesawat, namun karena perbedaan waktu Surabaya – Bali adalah 1 jam, maka kami sampai pada 14.30 waktu setempat.

Tedi menyewa sebuah Villa yang terletak di atas bukit daerah Jimbaran. Villa dengan gaya mediterania dan super cozy ini menyediakan private pool di dalamnya. Pemandangannya langsung mengarah ke tanjung benoa.

“Villa ini lebih cocok untuk pasangan bulan madu mas.”

“Aku sengaja memilih villa ini untuk kita.”

“Kita?”

Tedi mengangguk, “istirahatlah. Kamu pasti lelah.”

Malam harinya kami menghabiskan waktu dengan makan seafood di pantai jimbaran, kemudian dilanjutkan ke Bali Collection Shopping Centre di kawasan Nusa Dua yang berjarak sekitar 20 menit dari villa tempat kami menginap. Aku membeli beberapa oleh-oleh untuk Andi, ibu, mama, dan papaku.

“Mas tidak membeli oleh-oleh juga?”

“Tidak ada orang spesial di rumah yang harus ku beri oleh-oleh Al.”

“Orang tua mungkin? Atau ... Siska?”

“Ayahku sudah meninggal.”

“Ibu?”

“Sudahlah, kamu tidak usah mengkhawatirkanku. Beli saja apa yang kamu mau, aku yang bayar.”

“Eh, tidak usah mas. Aku punya uang kok, aku kan udah gajian.”

“Sombong sekali, memangnya gaji kamu berapa sih? Lebih besar dari penghasilan aku?”

“Engga juga sih, hehehe.”

Kami menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang menyinggung soal kejadian kemarin malam. Seolah kejadian itu tidak pernah ada.

Tedi menautkan tangannya dengan tanganku. Kami berjalan bergandengan sepanjang pantai. Entahlah apa yang kami lakukan ini adalah benar atau tidak. Aku tidak ingin memikirkannya. Namun satu hal yang aku tahu, masing-masing dari kami saling memiliki ketertarikan.

“Al?”

“Ya?”

Tedi menghentikan langkahnya. Ia menghadap ke arahku dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Bibir kami saling bertemu selama beberapa detik. Tanpa aba-aba air mataku menetes. Tedi yang menyadarinya segera menjauh.

“Maaf,” ucap Tedi tulus.

Aku menggeleng, “bukan salah mas.”

“Lalu kenapa kamu menangis?”

“Aku merasa bersalah pada Andi, tapi tidak bisa menolak sentuhan mas.”

Tedi membawaku ke dalam pelukannya, “sudahlah jangan menangis, aku mengerti perasaanmu.”

Aku tidak membalas pelukan Tedi, tidak juga menolaknya. Aku menangis dalam dekapannya. Rasa bersalah seolah menghantui, namun aku juga tidak kuasa menolak sentuhan Tedi. Jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu aku menginginkannya. Saat ini aku sedang berada di persimpangan. Aku sungguh bingung akan menuju ke arah yang mana.

Deburan ombak malam menyamarkan suara tangisku. Orang yang melihat kami mungkin akan mengira kalau kami adalah sepasang kekasih yang tengah berbulan madu. Aku tidak menyalahkan mereka atas itu. Aku hanya berharap, apapun yang terjadi di sini, biarlah hanya menjadi kenangan, tidak untuk dibawa pulang.

Rasa ini, harus segera aku kubur dalam-dalam sebelum berkembang. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Tedi. Aku sudah menikah. Terlebih lagi, Tedi adalah suami dari temanku sendiri. Hubungan kami hanya akan menyisakan sakit pada dua orang insan yang tidak bersalah.

Namun, apapun yang akan terjadi malam ini, biarlah terjadi. Setelah itu, barulah cerita tentang kami, yang baru saja dimulai, akan kami akhiri. Itulah janjiku.

Kami pulang keesokan harinya dengan meninggalkan semua kenangan yang kami lewati di sini. Aku menoleh sekali lagi ke arah villa yang semalam kami tempati. Kolam renang itu, menjadi saksi bisu pergumulan dua insan yang tidak terikat dalam suatu hubungan. Bagi sebagian orang mungkin apa yang kami lakukan adalah sebuah pengkhianatan. Namun bagi kami, apa yang kami lakukan adalah ungkapan rasa cinta yang tidak bisa kami ucapkan.

Selamat tinggal kenangan.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang