Part 23 Itu Janjiku!

102 8 0
                                    

“Papa ... Mama ....” Aku terus berteriak memanggil kedua orang tuaku. Air mata mengalir tak terbendung lagi. Tedi terus menahanku. Dia tidak membiarkanku masuk ke rumah orang tuaku. Aku terus meronta, namun tenaga Tedi lebih besar.

“Kamu tenang dulu Al.” Hanya kalimat itu yang diucapkannya berkali-kali.

Akhirnya aku pasrah. Aku membiarkan tubuhku berada dalam pelukan Tedi. Api masih membumbung tinggi. Belum ada tanda-tanda akan padam. Rumah orang tuaku menjadi bahan bakarnya.

Seorang pria menghampiri kami. Dia adalah pegawai Papaku yang waktu itu meminjamiku ponsel untuk menelepon Papa. Dia menatapku dengan iba.

“Mas ... Katakan Papa dan Mama masih di luar kota kan? Papa dan Mama tidak ada di rumah kan Mas?”

Orang yang aku ajak bicara hanya diam. Aku tahu jawaban dari pertanyaanku. Aku bisa melihat mobil orang tuaku terparkir di halaman rumah. Namun aku masih terus berharap bahwa orang tuaku tidak ada di rumah saat ini.

“Bapak sama Ibu sudah pulang semalam mbak, dan saat ini mereka terjebak di dalam rumah, karena semua rumah Bapak sama Ibu kan dipagari teralis.”

Jawaban dari pria di depanku sungguh membuatku kesal. Aku tidak ingin mendengar hal seperti itu. Saat ini aku bahkan mengutuk orang yang mendesain rumah kami.

Tiga unit mobil pemadam kebakaran sudah di kerahkan, namun masih belum mendapatkan hasil yang di harapkan. Mereka bilang api membesar karena disertai ledakan tabung gas yang dijual Papa di lantai dasar rumah kami. Mereka bahkan sudah pesimis kalau orang tuaku bisa selamat.

“Mbak, tadi ada temen mbak nitipin ini.” Pegawai Papaku menyerahkan sebuah amplop padaku. Isinya sebuah surat. Ditulis dengan menggunakan cat merah. Perlahan aku membacanya

ANGGAP INI SEBAGAI PERINGATAN!!!

“Mas ....” Aku menyerahkan surat tersebut kepada Tedi.

“Ini jelas bukan sebuah kecelakaan Al,” ucap Tedi geram.

“Siapa yang tega melakukan ini sama aku mas?” Aku kembali terisak.

Tedi mengambil alih surat di tanganku, “siapa yang memberikan ini mas?” tanya Tedi pada pegawai Papa yang tadi memberikan surat tersebut.

“Saya tidak kenal Mas, saya juga tidak bisa melihat wajahnya karena dia memakai masker dan kaca mata hitam.”

“Bagaimana ciri-cirinya?” desak Tedi.

“Badannya agak kurus, tinggi badannya dibawah mas sedikit. Dari suaranya kayaknya masih remaja mas, mungkin SMA atau kuliahan gitu,” jawabnya.

Aku dan Tedi saling pandang. Kami berkecamuk dalam pikiran kami masing-masing.

Sebuah motor sport berhenti tak jauh dari kami. Sang pengendara turun dan berjalan ke arah kami. Ia menatap ke arahku. Tedi perlahan merenggangkan pelukannya dan aku pun menjauh darinya.

“Kamu gak papa Al?” Pria pengendara motor tersebut menghambur memelukku. Aku masih bergeming tanpa berniat membalas pelukannya.

“Aku baik-baik saja Ndi,” ucapku pelan.

“Sukurlah, aku khawatir kamu kenapa-napa.”

Tedi perlahan menjauh dari kami. Mungkin dia merasa tidak nyaman melihatku dipeluk oleh Andi. Aku menahan tangannya. Kami saling pandang sejenak, lalu perlahan ia melepaskan tautan tangan kami. Tedi tersenyum, lalu mengangguk, kemudian ia pergi meninggalkan kami.

“Kamu tahu dari mana aku di sini Ndi?” aku mencoba melepaskan pelukan Andi. Entah mengapa rasanya kini sangat tidak nyaman.

“Aku mencarimu selama beberapa hari ini Al, terakhir kamu pamit katanya mau menjenguk mbak Dini, tapi setelah itu kamu tidak pernah kembali.”

“Sekarang hari apa?” tanyaku seraya melihat mobil Tedi yang mulai menjauh.

“Kamis,” jawab Andi.

Kamis? Itu artinya aku pergi sudah empat hari. Batinku.

“Sebenarnya kamu kemana Al?”

“Ceritanya panjang Ndi, nanti aku ceritakan.”

Kami melihat proses pemadaman api selama berjam-jam. Api baru bisa padam sempurna ketika hari sudah malam. Sebuah ambulance datang, dan membawa pergi dua jenazah yang berasal dari rumah kami.

Papa ... Mama ....

“Sebaiknya kita pulang Al,” ucap Andi, “besok kita urus pemakaman jenazah orang tua kamu.”

Aku mengangguk. Pikiranku kosong saat ini. Aku bahkan sudah pasrah jika Andi akan membunuhku juga.

Di perjalanan kami melewati showroom mbak Tati. Dan ... Catnya berwarna merah, nampak masih baru. Apakah itu artinya noda merah yang aku lihat di tangan Andi waktu itu benar-benar berasal dari cat rumah mbak Tati?

Kami sampai di rumah ibu mertuaku saat tengah malam.

“Istirahatlah Al, kamu pasti lelah,” ucap Andi.

Aku mengangguk. Aku merebahkan diri di atas kasur, tanpa membersihkan diri ataupun mengganti pakaianku. Sekelebat bayangan kedua orang tuaku tiba-tiba menghampiri. Saat terakhir kami bertemu, di restoran ayam geprek. Dan air mataku pun kembali luruh.

“Mama ... Papa ....” Aku kembali memanggil-manggil kedua orang tuaku, walaupun aku tahu, tidak akan ada yang menjawabnya.

Andi duduk di tepi tempat tidur, ia mengusap rambutku lembut, “menangislah Al, menangislah kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”

Dan ucapan Andi berhasil membuat tangisku pecah. Hingga tanpa sadar aku tertidur.

***

Cahaya matahari masuk menelusup melalui celah jendela. Aku mengerjapkan mata. Ku lihat Andi masih berada di posisi yang sama ketika terakhir kali aku melihatnya. Ia tertidur bersandar pada sandaran kasur. Tangan kami masih saling berpaut, entah sejak kapan.

Aku mengamati dengan seksama wajah Andi. Wajah tampan itu pernah membuatku jatuh cinta. Tapi entah mengapa perasaan itu kini sudah tidak ada lagi. Ada orang lain yang telah menggantikannya di hatiku.

Andi, maafkan aku. Bukan inginku mengkhianatimu. Hatiku telah mencintainya.

Merasakan pergerakan dariku, Andi terbangun. “Sudah bangun Al?” tanya Andi. Ia meregangkan otot-ototnya. Mungkin merasa tidak nyaman karena tidur dengan posisi seperti itu. “Aku mau mandi dulu.”

Aku mengangguk. Ku pandangi punggung Andi yang mulai menjauh. Punggung itu yang selalu menjadi sandaran ketika aku bersedih. Kuyakinkan diri, benarkah sudah tidak ada cinta dihatiku untuknya?

“Andi tunggu.” Aku berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang. Ingin memastikan masihkah ada getaran itu? Getaran yang selalu kurasakan saat kami bersama, dulu.

Aku melepaskan pelukanku, mempersilakan Andi untuk masuk ke kamar mandi. Sekarang aku yakin, cinta itu memang sudah benar-benar tidak ada.

***

Aku beserta keluarga besar Andi mengantarkan kedua orang tuaku ke peristirahatan terakhir mereka. Tidak ada keluarga dari pihak Mama maupun Papaku yang datang ke pemakaman. Aku tidak sempat memberitahu siapa-siapa.

Para tetangga dan pegawai di depot Papa pun ikut mengiringi kepergian kedua orang tuaku. Mereka ikut mendoakan orang tuaku.

Suasana haru tercipta ketika pemuka agama membacakan doa. Namun entah mengapa aku tidak menangis. Air mataku seolah sudah kering. Aku sudah mengikhlaskan kedua orang tuaku. Namun, aku bertekad akan mencari siapa dibalik semua ini. Dia harus menerima akibat dari segala perbuatannya. Itu janjiku!

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang