Part 8 Menolak Tua

152 13 1
                                    

Hari ini kantor libur, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah mbak Dini, ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang.

Di halaman rumah terlihat Alam tengah mencuci sepeda motor miliknya. Aku membuka gerbang yang tidak dikunci dan berjalan menghampiri Alam.

“Mama kamu ada Lam?”

“Tante?” Alam terlihat heran dengan kedatanganku. Mungkin karena ini kali pertamanya aku berkunjung ke rumahnya. “Ada tante di dalam.”

Aku masuk lebih dalam lagi, hingga sampai di ruang keluarga. Pemandangan mengharukan ku lihat di sana. Nampak mas Ridwan sedang menyuapi mbak Dini yang duduk di atas sofa, sedangkan putra bungsu mereka, Fauzi, yang masih duduk di bangku kelas 4 SD duduk di karpet seraya menonton serial kartun. Ah, sungguh keluarga yang harmonis, seandainya aku tidak melihat mas Ridwan tadi malam bersama wanita itu, mungkin aku akan berpikir bahwa mas Ridwan adalah pria sempurna.

“Selamat pagi mbak Dini,” sapaku.

Mas Ridwan nampak terkejut dengan kedatanganku. Namun hanya bertahan sepersekian detik. Ia kembali memasang wajah normal. Hah, dia sangat pandai bermain ekspresi. Benar-benar aktor yang ulung!

“Selamat pagi Alya? Tumben kamu kesini?” tanya mas Ridwan. Basa-basi sekali. Melihat cara bicaranya padaku sekarang, sulit dipercaya kalau dia adalah orang yang sama yang telah mengancamku semalam.

“Selamat pagi mas Ridwan.”

“Duduk Alya.”

Mas Ridwan sangat telaten mengurusi mbak Dini. Ia mengusap bubur yang bercecer di sekitar mulut mbak Dini dengan tissue. Mbak Dini tidak bisa mengunyah dengan benar. Mulutnya serong ke arah kanan. Tangan dan kaki kirinya masih bisa bergerak, walau terbatas. Sedangkan tangan dan kaki kanannya tidak bisa bergerak sama sekali. Kasihan sekali mbak Dini.

“Bagaimana keadaan mbak Dini mas?” tanyaku, ikut berperan dalam akting yang dia ciptakan.

“Ya seperti yang kamu lihat Al, Dini terkena stroke karena darah tingginya.” Ah, basi-basi macam apa ini. Aku jadi muak sendiri.

“Kalau begitu aku pulang dulu ya mas.”

“Kok buru-buru Al? Gak mau mas buatin teh dulu?”

“Tidak usah mas, terima kasih.”

Aku beranjak bangun meninggalkan mas Ridwan dan juga mbak Dini. Tanpa aku sadari, mas Ridwan ternyata mengikutiku.

“Alya tunggu!”

Aku berbalik, melihatnya setengah berlari ke arahku, “ada apa mas?”

“Soal semalam, mas minta maaf,” ucapnya setengah berbisik.

“Mas seharusnya minta maaf sama mbak Dini, bukan sama aku,” jawabku tak kalah pelan.

“Kamu tidak mengerti Alya. Mas sangat mencintai Dini.”

“Kalau mas mencintai mbak Dini kenapa mas berkhianat?”

“Mas tidak bermaksud berkhianat Al, tapi ....”

“Tapi apa?”

“Sebagai pria, mas juga mempunyai kebutuhan. Kamu pasti mengerti maksud mas.”

“Tidak mas, aku tidak mengerti.”

“Kamu tahu Al, semenjak terkena stroke, Dini sudah tidak bisa lagi memenuhi tugasnya sebagai istri. Mas butuh itu Al.”

“Dengan memacari wanita muda yang usianya jauh di bawah mas?”

“Mas tidak memacarinya Al, mas hanya butuh tubuhnya saja.”

“Astaga ... Ternyata yang ada dalam pikiran mas ini hanya tentang selangkangan.”

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang