Semester 3
Di studio musik tempat mahasiswa UKM Kesenian biasa berlatih terdapat tiga orang laki-laki yang masing-masing sedang fokus dengan alat musik yang dimainkannya. Dery dengan drum yang kalau kata dia kekasih hatinya, Amarka-Mark panggilannya-dengan keyboard, dan Dejun yang bernyanyi sambil main gitar. Semuanya masih semangat meski sudah hampir satu jam mereka berlatih.
"Break dulu ya guys.." kata Dejun usai menyelesaikan satu lagu. Setelahnya dia langsung mengambil air mineral botolan yang terletak tidak jauh dari standing mic yang digunakannya saat menyanyi tadi.
Dery beranjak mengambil ponselnya yang sedang diisi daya dan membuka beberapa notifikasi yang menurutnya penting. Ia duduk di kursi empuk yang dibeli dari uang kas UKM dua bulan yang lalu, menggantikan kursi butut yang entah sudah berapa lama dipakai di studio itu.
"Hari ini sampe sini dulu aja kali ya?" Mark bertanya.
"Ya udah, abis ini beresin alat-alat aja berarti. Gimana, Der?" jawab Dejun sekaligus bertanya pendapat Dery yang masih sibuk dengan ponsel.
"Ngikut," kata Dery, fokusnya masih sepenuhnya pada ponsel di tangan.
Setelah itu, ketiganya merapikan alat-alat musik yang tadi mereka gunakan sebelum kemudian meninggalkan studio. Di depan pintu, Dejun pamit lebih dulu sebab dia ditunggu teman sejurusannya untuk membahas proyek salah satu mata kuliahnya.
"Lo balik kosan apa ke mana?" tanya Mark.
"Gue mau ketemu Laskar dulu di kansip, lo langsung balik Mark?" jawab Dery. Kansip itu kependekan dari kantin FISIP, mahasiswa di sana memang biasa menyebutnya seperti itu karena lebih singkat.
"Iya gue langsung balik ya, ada deadline tugas gue buat besok," kata Mark.
Dery mengiyakan dan keduanya berpisah saat Mark harus belok ke parkiran sementara Dery menuju kansip. Sampai di kansip, Dery mengedarkan pandangannya mencari Laskar dan menemukan laki-laki itu sedang duduk di ujung kiri sambil merokok. Ngomong-ngomong, daerah kansip memang bukan daerah bebas asap rokok, jadi ya bebas saja merokok di sana. Namun alih-alih menghampiri Laskar, Dery justru berbelok ke kursi di ujung kanan ketika pandangannya melihat seorang gadis yang sedang memakan siomay bersama dua temannya.
Dery duduk di kursi sebelah kanan gadis itu yang memang kosong. Ia memamerkan senyumnya yang paling cerah berikut dengan deretan gigi-giginya yang rapih, senyum yang sampai ke matanya. Dia menyapa dengan ramah.
"Renjaniiii," kata Dery pada gadis itu.
"Apa." Gadis itu menjawab singkat tanpa mengalihkan fokusnya dari siomay yang sedang ia makan.
"Dih liat By, Naya doang yang disapa dikira kita patung kali ya?" kata teman gadis itu kepada temannya yang satu lagi.
"Matanya dipake emang cuma buat ngeliatin Naya doang, Tha," jawab Abby.
"Iya lah kan Naya spesial, pake telor kornet sama keju," kata Dery. Raut jenaka terpatri dengan jelas di wajahnya.
Retha, yang tadi protes karena Dery hanya menyapa Naya mendelik. "Mie rebus kali ah temen gue."
"Iya terus omongin aja gue kayak gue gak ada di depan kalian." Naya protes sebab dijadikan objek pembicaraan.
Dery tertawa, kemudian ia bicara lagi, "Daripada diomongin di belakang, namanya itu muka dua. Nah muka gue cuma satu ada di depan, coba aja liatin deh belakang belum ada muka juga kan," katanya sambil memutar badan agar Naya bisa melihat belakang kepalanya.
"Apaan sih, gak jelas," jawab Naya sambil melirik Dery malas.
Dari arah datangnya Dery tadi, Laskar berjalan ke arah mereka. Laki-laki itu menepuk pundak Dery, yang kini malah asyik mengamati Naya yang sedang melanjutkan makan siomay, sebab terlalu malas meladeni Dery.
KAMU SEDANG MEMBACA
King of Hearts
General FictionBagi Renjani Nayanika, perasaan, keresahan dan ketakutannya tidak seberapa penting untuk orang lain. Apapun itu, cukup hanya ia saja yang tahu. Sebab dia paham, pada akhirnya, yang tinggal hanya dirinya sendiri. Dia paham, orang lain bisa pergi--den...