Jaya baru keluar dari kelas sehabis mengikuti mata kuliahnya ketika matanya menangkap Juan yang juga baru keluar kelas—di ruangan yang berbeda. Mereka berdua memang satu jurusan, namun tidak sekelas, hanya di beberapa mata kuliah umum mereka mengambil kelas yang sama. Juan terlihat buru-buru dan tidak melihat Jaya, dia sibuk menghindari kerumunan teman-temannya yang berbondong-bondong keluar kelas agar tidak menabrak. Namun Jaya tentu bisa dengan mudah melihat Juan dari awal laki-laki itu keluar kelas, sebab postur tubuh Juan yang tinggi—cenderung lebih tinggi dari temannya yang lain, menjadikan laki-laki itu mencolok.
Ketika Juan berhasil membebaskan diri dari kerumunan, Jaya juga sudah berada di belakangnya. Juan masih tidak sadar. Jaya sekonyong-konyong menepuk pundak laki-laki itu sampai Juan terlonjak kaget.
"Anj—" kata Juan sambil kepalanya menengok ke belakang, tidak jadi meneruskan umpatannya ketika melihat Jaya di belakangnya, nyengir pula.
"Apaan sih? Ngangetin aja lo!" sungut Juan.
"Masih ada kelas gak lo? Kansip yuk! Makan tapi sebat dulu lahh."
"Gak bisa Jay, gue ada konsolidasi aksi."
"Aksi apaan lagi sih? Lo aksi mulu pemerintah tetep gitu-gitu aja."
"Justru itu, mahasiswa udah turun ke jalan menuntut keadilan aja masih gak didenger, gimana kalau mahasiswa diem-diem aja?"
"Lo nyindir gue ya?"
"Gak ada yang nyindir siapa-siapa. Turun ke jalan itu pilihan, lo punya pilihan lo sendiri, gue juga."
"Ya udah deh, good luck ye, gue bantuin doa."
"Makasih."
Setelahnya Juan pergi meninggalkan Jaya. Laki-laki itu berlari-lari kecil sampai menghilang dari pandangan Jaya. Juan itu, diantara penghuni kosan enam pintu lainnya memang yang paling vokal sebagai mahasiswa—vokal menyuarakan ketidak adilan dengan turun ke jalan. Bisa dibilang, Juan ini aktivis kampus. Kegiatannya diluar akademik sangat banyak. Kenalannya di penjuru kampus juga banyak. Kalau teman-teman geng kosannya bilang sih, Juan si sibuk.
Namun sesibuk apapun Juan, dia pasti tetap menyempatkan waktu untuk main dengan teman-teman geng kosannya. Juan itu mood maker, keberadaannya bisa membuat suasana menjadi menyenangkan. Makanya, kata teman-temannya kalau Juan nggak ikut nongkrong tuh, kayak ada yang kurang.
Berbeda dengan Juan, Jaya justru kebalikannya. Dia tidak tertarik untuk ikut kegiatan kemahasiswaan apapun—cenderung apatis. Dia bahkan sampai diledek oleh teman-teman geng kosannya, 'anak Ilpol kok apatis', kata mereka. Jaya sih nggak pernah ambil pusing. Benar kata Juan, setiap orang punya pilihannya masing-masing.
Sebenarnya kalau boleh jujur, jurusan yang diambil Jaya memang bukan pilihan pertamanya. Tidak pernah jadi pilihan, bahkan. Kalau bukan karena diancam oleh orang tuanya, Jaya tidak akan memilih Ilmu Politik sebagai tempatnya menimba ilmu. Dia lahir di keluarga politikus—yang cukup memiliki nama mentereng, dan itulah mengapa dia juga harus berkarir di bidang yang sama. Pasalnya, apapun yang dipaksakan itu tidak baik. Makanya Jaya sekarang setengah hati menjalani kuliahnya—masih mending, karena setidaknya dia tidak memberontak, atau mungkin belum.
Jaya masih berdiri diam ketika seorang perempuan mendekat ke arahnya. Perempuan itu tersenyum dan ia membalas senyumannya. Dia kenal perempuan itu, pernah jadi targetnya ngalus. Namun sudah beberapa waktu ini mereka tidak pernah berhubungan lagi, dengar-dengar sih, perempuan itu balikan dengan mantannya, Jaya tidak ambil pusing juga.
"Hai Jay, abis kelas atau mau kelas, nih?"
"Abis kelas nih gue, lo?" kata Jaya, tak lupa memamerkan senyum ramahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
King of Hearts
Ficción GeneralBagi Renjani Nayanika, perasaan, keresahan dan ketakutannya tidak seberapa penting untuk orang lain. Apapun itu, cukup hanya ia saja yang tahu. Sebab dia paham, pada akhirnya, yang tinggal hanya dirinya sendiri. Dia paham, orang lain bisa pergi--den...