18. This Is Not A Fairy Tale

26 2 0
                                    

Naya keluar dari ruangan dosen setelah menyelesaikan urusannya di sana. Ketika ia menengok ke kursi di sebelah kiri ruangan dosen, terlihat ada Dery duduk di sana. Naya mengernyitkan kening. Dery kelihatan serius menekan-nekan layar ponsel dengan jarinya, pasti sedang main game. Dia bahkan tidak menyadari Naya yang keluar ruangan sampai Naya mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah laki-laki itu.

Dery melirik Naya tidak lebih dari lima detik sebelum kembali menundukkan kepalanya. "Nay bentar Nay, nanggung nih udah mau menang."

Bukannya menunggu, Naya malah jalan meninggalkan Dery. Memangnya dia punya kewajiban nungguin Dery? Kan dia tadi ke sini sendiri, dia saja tidak tahu Dery sedang ada urusan apa.

Dery yang menyadari Naya justru melangkah menjauh, berusaha menghentikannya seraya tetap melanjutkan game yang katanya tanggung itu. Dia ikut berdiri, mau menyusul Naya. Kepalanya masih terus menunduk melihat ponsel.

"Nay tungguin dong, eh kok ditinggal sihh," rengeknya.

Karena menunduk, Dery jadi tidak siap ketika Naya tiba-tiba berhenti dan membalikan badannya. Ya sudah deh, mereka jadi tabrakan. Karena tinggi Naya hanya sebatas bahu Dery, kepalanya jadi menyundul handphone yang sedang dipegang Dery sebatas dadanya. Naya meringis, Dery kaget.

"Nay?? Sorry sorry." Tersadar sesuatu, Dery kemudian kembali melirik ponsel yang masih menampilkan game yang sebelumnya masih berjalan. Sialnya, ternyata dia sudag kalah.
"Yaaahh, jadi kalah Nay..." Dery merengek.

Naya kesal, keningnya sakit karena terantuk ponsel tapi Dery malah memusingkan kalah main game. Dia buru-buru membalikan badannya—berniat pergi. Namun Dery lebih dulu menahan lengannya.

"Eh, mau ke mana sih? Ditinggal mulu gue."

"Ke mana kek!" sungut Naya, jutek banget.

Dery terkekeh pelan. "Marah ya? Sorry.. Lagian kenapa gue ditinggal sih? Kan tadi gue minta ditungguin, nanggung gamenya."

"Lo main game aja sana sampe ayam beranak! Sakit nih jidat gue kepentok hp lo!" kata Naya berapi-api.

Dery memerhatikan wajah Naya lekat, baru sadar juga kening gadis itu memerah. Dia refleks mengelus bagian kening Naya yang kemerahan dengan jarinya. "Kaciaaan, sini ditiupin," katanya sambil meniup-niup kening Naya yang sedang dielusnya.

Naya mendadak jantungan. Dia bahkan takut Dery bisa mendengar detak jantungnya sekarang, makanya dia langsung buru-buru menepis lengan Dery. "Gak usah pegang-pegang!" sungutnya. Kemudian langsung membalikan badan dan berjalan duluan meninggalkan Dery.

"Refleks, maapin." Suara Dery di belakang masih bisa terdengar oleh Naya.

Dery melebarkan langkahnya menyusul Naya. Mereka kemudian memasuki lift dan turun ke bawah. Saat sudah di lobby, Naya masih saja defensif. Dery? Masih semangat juga merayu.

"Renjanii, kok masih jutek sih, kan udah minta maaf.." katanya. Pakai manyun segala lagi, Naya yang melirik dari ekor matanya sebenarnya gemas tapi masih kesal juga.

"Bawel."

"Harus ngapain biar dimaafin?"

"Gak tau."

Kemudian ketika mereka sedang berjalan hampir sampai ke pintu keluar gedung, sekelompok mahasiswa ramai-ramai masuk dan salah satunya menabrak bahu Naya sampai gadis itu terhuyung. Kalau saja Dery tidak cepat memegangnya, mungkin Naya sudah jatuh. Mahasiswa yang menabrak Naya itu bahkan tidak pusing-pusing untuk minta maaf. Padahal harusnya dia punya common sense untuk sekadar berkata maaf dong? Dasar.

King of HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang