20. Closure

27 3 0
                                    

Ketika kita dipertemukan dengan masalah, maka kemungkinannya adalah hadapi atau menghindar. Dan mungkin, selama ini yang Naya kira sudah ia selesaikan tidak benar-benar selesai karena yang dilakukannya hanyalah menghindar. She thought it's okay, but it's not. Kenyataannya Naya masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalu dan kenangan buruknya.

Naya berdiri diam di depan sebuah cafe, sedang memantapkan diri untuk masuk ke dalam. Langkahnya pelan dan berat. Sebagian hatinya mengatakan untuk lari saja, tapi sebagian lagi mengatakan dia harus kuat. Ketika sampai di depan pintu, dia berulang kali menarik napas dan membuangnya kasar. Tangannya mendorong pintu masuk dengan sangat pelan.

Tiba di dalam cafe, dia mengedarkan pandangannya dan matanya menangkap seorang laki-laki yang duduk di sisi kiri—Damar. Melihat laki-laki itu, Naya kembali menarik napas berat. Jantungnya berdegup dengan kencang ketika Naya melangkahkan kakinya mendekat ke tempat Damar duduk.

Lagi-lagi dengan hati yang berat, Naya duduk di kursi depan Damar. Kini mereka berhadap-hadapan dan keduanya masih hening. Naya berusaha mengatur emosinya agar tetap stabil sementara ekspresi Damar di depannya tidak bisa ditebak. Beberapa menit hanya diam, salah satu diantara mereka akhirnya membuka suara.

"Kamu mau minum apa? Biar aku pesenin," kata Damar.

"I'll get it by myself." Naya menjawab kemudian beranjak untuk memesan minuman ke barista karena cafe ini self service.

Selagi menunggu minumannya dibuat, Naya melamun sampai tidak sadar ketika barista selesai membuat caramel macchiatonya. Barista itu sampai harus menyebut namanya beberapa kali baru Naya tersadar. Gadis itu kemudian mengucapkan terima kasih sekaligus maaf. Usai mengambil minumannya dia kembali berjalan pelan ke tempat Damar duduk.

Begitu Naya mendudukkan tubuhnya di kursi depan Damar kembali, suasana masih diliputi keheningan. Naya menyibukkan diri dengan menyesap caramel macchiatonya. Dia berusaha menghindari tatapan Damar. Kemudian Damar memutuskan untuk bicara setelah sebelumnya dia menarik napas dan menghembuskannya pelan.

"Kamu pernah bilang aku udah gak perlu tau tentang kabar kamu lagi—tapi Nay, aku tetap mau tanya, kamu apa kabar?"

"Baik. Tapi jauh lebih baik sebelum kamu muncul lagi." Naya menjawab dengan sarkastik.

Damar mengerti, mengingat apa yang dilakukannya dulu memang wajar sikap Naya defensif seperti sekarang ini.

"Aku minta maaf Nay,"

"Kamu minta maaf? Oke. Aku udah maafin kamu kok dari dulu—aku berusaha. Setelah itu apa? Kamu mau apa lagi dari aku?"

"Aku gak minta apa-apa lagi dari kamu selain maaf. Aku sadar dulu aku egois, aku udah ngelukain kamu, mungkin amat dalam. Dan masih juga aku mikirin diri aku sendiri pada saat itu. Tapi Nay, mungkin ini kedengeran seperti pembelaan dan aku nggak akan ngelak, tapi aku juga terluka. Aku tau semuanya kesalahan aku. Tapi bukan itu yang aku mau dulu. Aku gak pernah ada niat sama sekali untuk jahatin kamu.—"

"—Setelah kamu menjauh, aku akhirnya berusaha mikir jernih. Dan kamu bener, pisah adalah keputusan paling masuk akal yang bisa aku ambil pada saat itu. Karena aku punya tanggung jawab. Dan aku gak berhak menyeret kamu ke dalam semua kekacauan yang aku buat sendiri. Aku minta maaf udah ngecewain kamu. Aku gak pernah bermaksud, Nay.—"

"—Mungkin kamu juga udah tau karena kamu pernah ketemu sama dia, aku..akhirnya raised the baby. Dia gak salah, kesalahan orang tuanya gak harus dibebankan ke dia. Thanks to you, kalau bukan karena kamu dulu, mungkin aku gak akan punya kesempatan untuk ngerawat dia. Maaf Nay, maaf semuanya harus berakhir kayak gini. Gak ada yang salah dari kamu, it's all on me. Aku pengen kamu hidup bahagia, aku tulus berdoa untuk kebahagiaan kamu. Maaf aku udah gak bisa ada di sana, maaf aku malah ngasih kamu luka. I'm sorry I'm not your happy ending."

King of HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang