24. Rasa sakit

5.1K 688 50
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak dulu, ya.

Happy Reading

****

Pak Bimo membenarkan kacamatanya selagi kedua matanya terfokus pada berkas-berkas yang sedang dipegangnya. Membaca tiap kalimat dengan detail. Umurnya memang tidak muda lagi, tetapi daya ingatnya lumayan masih kuat. Karena dia harus membantu Kenzie. Anak itu sempat memintanya untuk mencari informasi tentang bisnis yang dilakukan seseorang. Dan mereka adalah kedua orang tua Hana.

Setelah menyelesaikan setengah jam, Pak Bimo berhasil mengumpulkan beberapa data penting. Dia harus memberi tahu Kenzie terlebih dahulu sebelum mencarinya lebih dalam. Pak Bimo mengumpulkan berkas-berkas itu menjadi satu dan merapikannya. Pada saat yang bersamaan, sesuatu jatuh di atas meja. Pak Bimo yakin itu pasti terselip di antara berkas-berkas itu.

'aku menyelipkan foto mereka jika kau ingin mengetahui wajah para korban kita.'

Pak Bimo ingat Kenzie pernah berkata seperti itu. Tangannya meraih foto itu dan menatapnya seksama. Seketika raut wajah Pak Bimo berubah.

"Mereka ini..."

****

Hening. Sangat canggung. Hana terdiam setelah Kenzie mengatakan itu. Apa dia kesini untuk memarahinya? Atau mencelakai dirinya? Sangat pas sekali bukan? Keadaan juga sangat mendukung. Tempat ini gelap dan juga jauh dari keramaian.

"Mendekatlah."

Suara berat Kenzie seakan sedang mengintruksinya. Kaki Hana melangkah dengan pelan. Langkah sepatu Hana berhasil memecah keheningan. Hingga Hana sampai di depan Kenzie. Entah apa yang akan dilakukan laki-laki itu. Hana tidak mengerti, jika dia ingin marah. Marah saja, toh Hana tidak bisa melihat wajahnya di dalam gelap seperti ini.

"Aku akan membunuhmu."

Kedua mata Hana membulat sempurna. Hana mendongak berusaha melihat Kenzie, apa yang baru saja dia katakan?

"Yang benar saja, tidak ada pembunuh yang memberi tahu korbannya terlebih dahulu sebelum dibunuh." ujar Hana menanggapinya.

"Kau bersedia untuk kubunuh?"

Dahi Hana berkerut bingung. Kenapa Kenzie menanyakan itu? Logikanya tidak ada satupun orang yang ingin mati terbunuh. Sangat konyol sekali jika seorang Kenzie menanyakan itu.

"Ken, kau tidak apa-apa?"

Seulas senyuman samar muncul dari bibir Kenzie. Dia tau Hana memiliki kepekaan terhadap hal-hal kecil. Sebentar lagi Hana akan mengerti dengan sendirinya tentang pertanyaan yang dia ajukan tadi. Cepat atau lambat, Kenzie akan melakukan sesuatu pada gadis di depannya itu. Namun, kenapa dia belum bisa memutuskan apapun?

"Akhh," Kenzie memegangi perutnya. Luka yang benar-benar merepotkan.

"Ken!" teriak Hana menyadari ada yang tidak beres dengan Kenzie.

"Lepas," Kenzie menepis tangan Hana. Membuat Hana mundur beberapa langkah kebelakang.

Kenzie tidak ingin Hana melakukan apapun. Kenzie tidak butuh pertolongan darinya. Apalagi itu dari orang yang sudah memanfaatkannya.

Tangan Kenzie meraih bangku taman yang ada di sebelahnya. Perutnya terasa sangat sakit dari yang sebelumnya. Dia merasakan bajunya yang basah tepat karena darah dari lukanya. Kenzie menggertakkan giginya, sakit nya sangat luar biasa hingga keringatnya bercucuran.

"Ken kau baik-baik saja? Apa--" tanya Hana mencoba mendekat.

"DIAM." potong Kenzie cepat. Nafasnya terengah-engah. Dia kesal, sangat kesal.

My Psychopath Patient (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang