Bab 12 : Rasio

169 17 0
                                    

"Assalamu'alaikum Ustadz,"

"Waalaikumussalam,"

Sapaan para santri di kanan kiri saat menuju rumah menemani sore. "Ustadz Fajar,"sapa Ilyas membuatku menoleh. "Iya kenapa Gus,"tanyaku heran. "Hehe mau nyapa aja. Nanti malam jadi hadrah? Soalnya santriwan banyak yang tanya kapan bisa bareng sama Ustadz,"ucap Ilyas.

"Bisa bisa. Ngga usah sungkan sungkan gitu lah Gus. Kayak ngga biasa aja,"ucap ku sembari membenahi letak motor ku. "Ngga enak lah Ustadz. Sekarang Ustadz sudah satu tingkat di atas saya. Secara kan sudah punya keluarga sendiri. Saya mah masih nunggu ini,"ucap Ilyas membuatku teringat alasan ku kebut kebutan di jalan.

Sontak ku tarik ujung bibir ku mengingat betapa konyolnya diriku membelah jalanan. "Sabar kalo itu. Jangan lupa usaha juga di kuatkan. Apa bedanya kalo sudah berkeluarga sama ngga? Ngga usah ngadi ngadi lah,"ucap ku terkekeh. "Loh ngga gitu. Cuma kan beda kalo udah berkeluarga. Apalagi sekarang bukan Ustadz Fajar yang dulu main di kubangan sawah.

Sekarang kan sudah jadi bapak polisi juga. Gimana atuh ngga tambah sungkan Ustadz,"ucap Ilyas. "Eh bisanya kek gitu. Jabatan itu sebagai bentuk saya pengayom masyarakat aja. Udah lah ngga usah melantur,"ucapku. "Nggih Ustadz. Ning Najwa Gimana kabarnya,"tanya Ilyas.

"Najwa habis dari Umrah ke rumah Pakdhe Hasyim di Turki dulu kata Abi semalam,"ucapku mengingat percakapan semalam. Aku ngga benci Najwa karena itu juga hak nya. Hanya saja untuk semua yang sudah di usaha kan orang yang begitu mencintai pasti ngga sia-sia. Seperti Ilyas yang selalu menerima kenyataan Najwa masih mengharapkan ku.

Ngga ke geeran hanya saja fakta itu terlalu ngga bisa ku pungkiri. "Aku juga pernah jadi kamu Gus. Ikhtiar aja Allah ngga tidur kok. Kalo memang namanya yang tertulis disebelah namamu pasti pulang pada tempatnya,"ucapku menepuk pundaknya menguatkan. "Pasti Ustadz bahagia sudah dapat sosok yang selama ini ditunggu,"tanya Ilyas.

"Alhamdulillah,"ucapku setidaknya benar adanya kalo diingat. Aku perlu bersyukur karena Allah bisa sampai di titik ini. "Ustadz Fajar,"Suara terasa familiar membuatku menoleh melihat Isyana bersama Nayla dengan gamis warna soft blue juga dengan jilbab senada tersenyum tipis. Halu kayaknya aku ini bisanya aku liat Isyana senyum tipis?

"Ustadz saya pamit dulu. Kayaknya Ning Isyana sudah lama tungguin,"ucap Ilyas membuatku kembali sadar. "Oh iya nanti malam insya Allah,"ucapku sebelum berlalu mendekati dua perempuan yang menatapku penuh harap. Tidak hanya satu, satunya memalingkan wajah. Ah aku tau alasan nya sekarang kenapa bisa telfon tadi.

"Tumben agak cepat Le? Mau liat Isyana ya,"ucap Nayla memberikan genggaman Isyana begitu saja hanya ku tahan senyum. "Umma mau kemana?,"tanya Isyana tanpa peduli dengan ku. Kapan Ani perduli dengan mu? Halu mu itu terlalu tinggi Fajar. Paling ngga kamu sekarang ngga di amuk jauh lebih baik.

"Mau liat ke asrama sayang. Nanti capek loh mending sama Fajar aja ya,"ucap Nayla tersenyum lebar sebelum berlalu. Duh duh kenapa juga Nayla pake pergi mati kutu aku. "Ehm Mau masuk,"tanyaku. "Iyalah Mau kemana lagi,"ucap Isyana membuatku menghela nafas.

Ini baru Isyana yang ku nikahi. Dari pada lama membantunya berjalan, aku berinisiatif menggendongnya ala bridal style ke kamar. "Kamu gila? Ini masih petang?,"tanya Isyana memukul keras dada bidang ku. "Kenapa? Justru karena petang aku mau cepat-cepat mandi biar bisa jamaah sholat Magrib,"ucapku membuat wajahnya merona.

Ehh bentar kenapa dia merona? Apa dia mikir macam-macam? "Kenapa pipi mu?,"tanyaku was-was kena amuk. "Kepo,"ketusnya. 'Ngga ada yang nyuruh? Lagian sok inisiatif juga sih lu,'batinku mendengar kalimat ketusnya sebelum menurunkan nya. "Apa yang buat kamu masuk polisi,"tanya Isyana saat ku lepas beberapa perangkat di seragam ku.

Ekawira Danadyaksa~Completed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang