Bab 29 : Finding

105 11 0
                                    

Ku dekap kuat kedua lutut ku disaat malam mulai bertahta. "Sayang. Dina sama Najwa mau ketemu kamu Nak,"panggil Nayla begitu lembut. "Iya Umma,"ucapku segera menghapus air mata yang tadinya mengucur deras. "Ngga usah pura-pura kuat gitu Ning,"ucap Najwa membuatku sebal.

"Kok kamu nyebelin sih,"ucapku. "Lah iya orang keliatan habis nangisnya. Kita tau kok Ning kangen dengan Ustadz Fajar tapi jangan sampai larut dalam kesedihan. Ntar malah ke ganggu loh kesehatan nya. Katanya pantang nangis sebelum ketemu,"ucap Dina. "Sok tau nya heh. Mentang-mentang anak kedokteran,"ucapku.

"Mending ikut kita Ning,"ucap Dina membuat kedua alisku bertaut. "Ngga pasti aneh-aneh,"ucapku. "Ish mana ada. Ayolah Ning, kata Bu Nyai Ning Isyana yang paling jago,"ucap Najwa membuatku mengernyitkan kening heran. "Apa itu,"tanyaku masih ngga bisa percaya begitu saja.

"Ayolah,"ucap Dina menarik ku membuatku turut ikut karena sudah kepalang penasaran. "Nah Isyana ini jago kalo ini,"ucap Kania memberi ku stick mayoret. Ku lihat Kania dan Nayla tampak tersenyum lebar membuatku membenarkan rok ku sebelum tangan ku yang sudah lama tak menyentuh nya refleks memainkan seperti dulu.

Berbeda rasanya seperti lebih ringan atau aku yang sekarang keseringan angkat berat berat padahal sudah di larang juga ngga ada yang tau. Terakhir menuntup permainan singkat ku lempar ke udara sebelum akhirnya ku tangkap kembali.

"Nah kan beda kalo yang pegang masternya,"ucap Najwa turut bertepuk tangan riuh. "Nah tau gitu dari dulu kita bisa belajar kan,"ucap Kania. "Loh emangnya kenapa Kak,"tanyaku heran. "Itu Nak. Ada festival tahunan santri salah satunya ya itu. Santriwati dengan baju yang muslimah pun terbukti bisa dalam segala bidang.

Setiap tahun yang menang SMA Negeri sebelah terus Nak. Makanya tahun ini kayaknya sudah pasrah,"ucap Nayla. "Jangan Umma biar aku aja yang main. Ngga tahan juga ini mau main stick mayoret lagi. Ngga papa kan Umma,"tanyaku. "Masya Allah beneran Nak,"tanya Nayla tampak berbinar ku angguki pelan.

"Alhamdulillah,"

Ku lihat mereka tampak begitu bahagia mendengar persetujuan ku. "Gimana gimana. Wajib menang ini kalo aku yang main. Siapa siap menang,"tanyaku mengangkat stick mayoret membuat seisi lapangan bergemuruh. "Kalo santriwan apa kabar Um,"tanyaku. "Setiap tahun menang. Soalnya Ustadz Fajar Setiap tahun yang ikut,"ucap Dina membuat ada keresahan di dalam hati ku.

"Ngga papa. Tahun ini pasti menang juga,"ucap Nayla menyentuh bahu ku meyakinkan ku. "Bener harus menang. Ayok latihan,"ucapku mengibarkan semangat. "Anggap saja kau masih dalam kehidupan dunia pendidikan An jadi harus menang,"tekadku dalam hati.

-^-

Di saat malam sudah memabukkan para makhluk bumi menyisakan ku yang masih terus berputar dengan stick mayoret di lapangan. Hanya dengan begini kesedihan ku bisa berkurang sesaat. Bukan berkurang hanya teralih. Ku sunggingkan senyum luas sembari menatap luas langit yang menaburkan bintang.

"Sudah Ning. Sudah malam. Saatnya istirahat. Untuk tetap baik-baik saja juga butuh tenaga,"

Ucapan itu membuatku melihat sosok laki-laki dengan peci putih membawa sebuah senter. "Hm makasih silahkan lanjutkan kegiatan mu,"ucapku santai. "Bener kata Ustadz Fajar. Perempuan itu keras kepala, susah dimengerti lagi,"ucap Ilyas membuatku terkekeh geli.

"Bukan susah kalo kamu paham jalan pikir nya. Lanjutkan aku masih mau di sini,"ucapku. "Sampai kapan? Sampai fajar nya dunia bangun,"tanya Ilyas. "Sampai aku lupa hakikat sakit,"ucapku melempar lagi stick mayoret. "Manusia itu hakikatnya memang lemah. Hanya saja dengan bergantung dengan Allah membuatnya kuat.

Semakin sakit ujian seorang hamba, semakin sayang Allah padanya. Allah mau dosanya dihapuskan dan bisa bertemu dengannya di surga Nya. Itu hakikat yang benar Ning. Maaf bukan untuk menggurui. Saya juga belajar dari Ustadz Fajar begitu. Kalo sampai sakit hati, coba cek sudah kah hubungan mu dengan Allah baik,"ucap Ilyas.

Ekawira Danadyaksa~Completed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang