Sudah setengah jam aku duduk di apotek untuk mendengar namaku dipanggil, dan ini sungguh membosankan! Andai saja aku tidak lupa kalau persediaan obatku habis, pasti waktu senggang setelah kuliah bisa kugunakan untuk tidur. Sekarang, jangankan memikirkan istirahat, bisa sampai ke lokasi pemrotetan tepat waktu saja sudah bersyukut.
“Yuva?”
“Bruno.”
“Gue nggak nyangka ketemu lo di sini.” Bruno mengambil posisi duduk di sebelah kiriku yang kosong.
“Gue nggak pernah terkejut kalau ketemu lo di tempat umum.” Balasku dengan nada ketus.
“Wow… Wow… calm, girl.” Ia mengangkat kedua tangan ke atas seperti mengajak berdamai atas sifat ketidakbersahabatanku. “Lo kenapa sih selalu jutek sama gue?”
Haruskah dia bertanya seperti itu? Absolutely, Yes! Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali bersifat ramah dengannya. Mungkin tak pernah! Tapi aku jelas tak harus menjawab pertanyaannya dengan jujur, aku tak mungkin berteriak kalau aku tak suka padanya yang selalu menggantung April. Hal itu membuat April bosan, sampai pada akhirnya memilih Yoga untuk jadi kekasihnya, dan kesempatanku untuk bersama Yoga menjadi NOL BESAR!
“Yuva?” Bruno mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan mukaku.
“Lo sendiri kenapa tiba-tiba jadi hobi menyapa gue?” aku balik bertanya.
Ia menyandarkan punggungya di kursi sambil tertawa. Aneh! Memangnya dia pikir aku sedang melawak? Tapi tunggu… Melihatnya tertawa lepas dengan ekspresi rileks seperti ini membuatku sadar kalau Bruno itu tampan? Aku memang sudah lama mengenalnya, tapi tak pernah melihat ia dalam keadaan sesantai ini. Segala kesan menyebalkan seperti tukang tebar pesona sampai playboy kelas teri rasanya tak pantas jika melihat wajah bocahnya saat tertawa. Mungkin inilah hal yang dulu membuat April jatuh cinta, bahkan rela digantung .
“Va, nama lo dipanggil tuh.”
Aku mengerjap seketika. Aaa…. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Apa sih yang bercokol di otakku sampai melamunkan makhluk menyebalkan ini? Gila! Setelah memberi decakan sebal kepada Bruno, aku melangkah menuju apoteker untuk menebus obat.
“Gue duluan!” pamitku pada Bruno dengan sangat singkat –ini hanya sebagai sopan santun sebagai teman –
“Lo pulang naik apa?”
Aku yang hendak melewatinya terpaksa harus menahan langkah sejenak. “Taksi.”
“Tunggu di sini!” Bruno berdiri dan berjalan ke arah apoteker. Aku tak tahu apa yang dibicarakannya, tapi tak lama setelah itu, ia kembali menujuku dengan sekantung obat di tangannya.
“Ayo!” Bruno menggedikan dagunya ke arah mobil yang terparkir di depan apotek, tapi aku tak bergeming sedikit pun. “Ayo, gue antar pulang.” Tambahnya kemudian.
“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri.” Tolakku cepat. Yang benar saja, jangan-jangan ia memang berniat menjadikanku target selanjutnya!
Bruno menghela napas, jelas terlihat kalau ia masih berusaha sabar atas responku. “Di sini daerah rawan, bahaya kalau lo pulang sendiri, Yuva.”
.“Nggak usah nakut-nakutin deh! Gue sudah pernah pulang sendiri dari sini.”
“Iya, tapi nggak dalam keadaan sore-sore begini kan?”
Bagaimana ia bisa tahu kalau aku tak pernah lewat jalan sini waktu sore? Dia bukan seorang mind reader kan?
“Astaga… Lo jangan berpikiran yang aneh-aneh deh! Kalau lo sudah pernah lewat di sini sore hari, lo pasti kapok karena kadang ada geng motor!” Tanpa menunggu balasan dariku lagi, ia menggandeng tanganku untuk menuju mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You (Slow Update)
General FictionYuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yang padat adalah untuk melihat Yoga, iya karena laki-laki. Cinta dalam hati, itulah yang ia lakukan. I...