23. Akhir untuk Menuju Awal (2)

9.3K 820 27
                                    

23. Akhir untuk Menuju Awal (2)

Happy reading!

Aku terpaku menatap nomor 1006 yang menempel di pintu. Tadi, satu jam sebelum waktu janjian, April menghubungiku dan bilang kalau dia tidak bisa bertemu di kafe atau tempat umum mana pun. Setelahnya, aku hanya mengiyakan. Tidak masalah juga bagiku akan bertemu dimana, yang penting tidak ada Yoga dan kami bisa bicara dengan tenang.

Kutekan bel sambil menghela napas panjang. It must be hard! Untuk pertama kalinya, aku tidak tahu bagaimana menghadapi sahabatku sendiri. Mungkin akan lebih mudah kalau yang akan aku hadapi adalah orang lain, atau siapapun yang jelas jangan yang sedekat April. Sekesal apapun aku padanya, aku tidak akan sanggup memakinya. Tapi memang benar sial, mana bisa rasa kesalku hilang begitu saja!

"Masuk, Va!"

Aku tersentak mendengar suara April, dan lebih kaget lagi melihat penampilannya yang berantakan. For God's sake! Ini April lho yang selalu tampil sempurna dengan kadar kepercayaan diri yang tinggi.

"Va?"

Panggilan kedua April berhasil menyadarkanku. "Lo sekarang tinggal di sini?"

April mengarahkanku untuk duduk di sofanya yang nyaman. "Yoga yang cerita ya?"

Aku mencoba untuk tersenyum agar lebih rileks, tapi ya Tuhan... ternyata untuk tersenyum kecil pun aku tidak sanggup. "Ya, he told me." Cuma itu yang sanggup keluar dari bibirku.

Selebihnya aku menunggu dia yang bicara. Meskipun aku yang mengajak bertemu, tapi dia yang mempunyai kewajiban untuk menjelaskan. Tugasku hanya mendengar, menyiapkan hati, dan kalau bisa menahan jangan sampai menangis. Di sini aku bukannya ingin menunjukkan seberapa kuatnya diriku, tanpa kuceritakan pun kalau April tahu yang kurasakan. Aku hanya mencegah untuk melewati malam dengan mengompres mata agar tidak bengkak.

Sembari menunggu April yang sepertinya masih mengumpulkan kata-kata, mataku menelisik setiap sudut apartemen. Saat pertama kali kesini, aku terlalu sibuk menghadapi kemarahan Yoga sampai tidak bisa memerhatikan dengan detail. Dan tak perlu waktu lama untukku menyadari sesuatu, apartemen ini ... sangat dingin dan sepi!

Kuhela napas panjang, entah sudah keberapa kali sejak aku menginjakkan kaki di sini. Temanku, April, bagaimana mungkin dia bisa menjalani kehidupan seperti ini? Aku tahu benar meskipun ia nampak supel dengan pergaulan luas, tapi jauh di dalam hatinya, seorang April hanya punya segelintir orang untuk berbagi.

Aku ingat pertama kali kami bertemu saat masa orientasi mahasiswa baru. April terlihat cuek sekaligus antusias, hangat sekaligus dingin, tapi pada akhirnya aku mendekat. Mengabaikan segala kemungkinan akan ditolak, aku memperkenalkan diri dan dengan polosnya bertanya apakah dia keberatan kalau berteman dengan gadis kurang pergaulan sepertiku? Terlalu apa adanya memang, tapi waktu itu aku hanyalah gadis yang baru saja "terdampar" dari Jogja ke Jakarta.

Kulirik April sekali lagi. Ternyata masih tidak berubah dari posisinya yang tadi, menunduk dengan kedua tangan yang bertaut. Baiklah, tidak masalah kalau ini akan sedikit lebih lama. Setidaknya aku punya waktu untuk menemukan alasan agar bisa memaafkannya.

Di tengah pikiran kalutku, satu hal yang kusadari bahwa seseorang tidak akan bisa menyimpan dendam pada orang yang benar-benar dianggapnya sebagai sahabat. If I do, then she's not my bestfriend anymore! We're not!

***

"Sorry," adalah kata pertama yang keluar dari mulut April setelah hampir lima belas menit.

Aku mengalihkan pandangan kepadanya tanpa berkata apapun, sudah bisa menebak ini. Tapi entah kenapa, balasan dari permintaan maaf tidak bisa begitu saja keluar. Demi Tuhan, aku bukan pendendam! Sama seperti April, aku sedang bingung. Haruskah aku memaafkannya saja meskipun tidak sepenuhnya lega?

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang