15. Langkah Pemulihan

11.2K 1K 18
                                    

15. Langkah pemulihan

Ps. Maaf saya telat sekali update cerita ini. Dan terima kasih banyak untuk semua yang sudah komen di bab sebelumnya. Saya tidak bisa membalas komentarnya karena nggak tahu kenapa, susah sekali menulis komentar di cerita ini. Oh satu lagi, silahkan dikoreksi dan dikritik kalau ada yang kurang .

Happy Reading!

Aku menghabiskan waktu selama perjalanan pulang dari apartemen dengan menangis di dalam taksi. Sudah tidak ada lagi usaha untuk menghentikannya, aku juga tidak mau menghibur diri dengan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Kalau kemarin aku menangis karena sakit mendapat penolakan, kali ini aku benar-benar sekarat.

Tangisku bukanlah jenis tangis yang anggun, yang hanya diam dengan air mata yang membasahi wajah. Bukan. Aku menangis tersedu-sedu, bahkan kalau tidak ada supir taksi aku sudah berteriak. Di saat seperti ini aku bersyukur karena supir taksi tidak mau susah-susah melirikku yang berisik, pasti aku adalah penumpang kesekiannya yang menaiki taksi dalam keadaan kacau.

“Mbak, sebenarnya kita mau kemana? Dari tadi hanya putar-putar saja karena Mbak bilang ‘jalan saja,Pak’. Untuk pertama kalinya supir taksi yang kutaksir berusia setengah abad melirikku.

Kulihat argo yang terus berjalan. Ya Tuhan… jadi tadi aku jalan satu jam lebih dan sekarang I’m in nowhere. Kalau begini caranya bukan hanya air mataku yang terkuras, tapi juga dompet.

“Mbak?”

Aku mengatakan alamat kost sambil memikirkan berapa ratus ribu yang harus keluar, mengingat jarak ke kost masih jauh belum lagi kalau nanti macet.

***

“Tunggu di sini dulu ya, Pak.” Pesanku setelah turun dari taksi. Aku bermaksud untuk mengambil uang di kamar karena tidak ada sepeser uang pun yang terbawa saat Yoga menyeretku dini hari tadi.

Laki-laki itu. Hah, semarah-marahnya dia padaku tentu tidak akan sampai hati menjadikanku gelandangan. Dia menawari untuk mengantarkanku kembali ke kost yang langsung kutolak mentah-mentah. Sudah kubilang, aku lebih baik jalan daripada lebih lama lagi dengannya –walaupun kenyataannya aku naik taksi dan tekor –

“Ini, Pak.” Aku menyerahkan sejumlah uang kepada supir taksi dan tak lama setelah itu si bapak supir taksi melu ncur.

Astaga… itu harusnya kembalian dua puluh ribu kenapa dibawa lari juga? Kan lumayan bisa beli nasi bungkus. Aku pelit? Bukan, jelas-jelas bukan. Aku hanyalah mahasiswi yang tinggal di kost dan meskipun sudah bekerja, bukan berarti aku bisa menghambur-hamburkan uang dengan menjadi sok kaya –dalam hal ini memberikan tip –. Kalau kalian ingin tahu, kebutuhanku di Jakarta bukan hanya makan. Ada text book, fotocopy, listrik, kosmetik, alat mandi dan masih banyak yang harus kupenuhi.

Dengan hati yang mencoba ikhlas –ikhlas dimaki-maki dan ikhlas uang dibawa pergi supir taksi –aku berjalan gontai menuju kamar. Kali ini aku tidak mau pusing-pusing memikirkan ada air atau tidak, sepertinya air mataku sudah cukup untuk memandikan anak satu kost sekalipun.

Tapi lagi-lagi… aku tidak bisa masuk kamar dengan tenang. Kenapa semua orang rasanya gemar sekali ‘nampang’ di depan pintu kamarku? Kemarin Wika, sekarang … Bruno.

Aneh! Tadi aku tidak melihatnya saat mengambil uang.

***

“Lo sejak kapan di sini?” Aku baru sadar kalau wajah Bruno tidak kalah kacaunya denganku, hanya saja yang membedakan tidak ada air yang menganak sungai di kedua pipinya. Alih-alih mengeluarkan air mata, matanya malah kelihatan sebam dan agak sipit.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang