19. Dari yang Lain

10.3K 898 30
                                    

19. Dari yang Lain.
Aku memandang modem yang masih tertancap di laptop dengan pandangan kosong. Ini sudah lebih dari dua jam aku browsing untuk mencari informasi tentang Enron, dan kupikir materiku sudah cukup untuk membuat makalah. Tapi masalahnya... otakku buntu harus menuliskan apa di setiap bab. Bagian yang sukses kutulis adalah sampul yang berisi logo universitas, namaku dan April, NIM kami, dan judul makalah. Oh bab pendahuluan juga hampir selesai. Selain itu, semuanya stuck! Tulis hapus tulis hapus berkali-kali.
Aku bukan termasuk mahasiswi yang bodoh, meskipun masih kalah kalau dibandingkan April. Tapi, makalah dengan waktu mengerjakan satu minggu dan berkelompok, jadi bagaimana caranya aku mengerjakan hanya dalam satu hari dan individu? Sanggup? Jelas tidak. Dan kalaupun jadi, aku yakin hasilnya tidak maksimal.
Suara ketukan di pintu kamar semakin membuat konsetrasiku buyar. Aku termasuk jarang menerima tamu karena beberapa dari teman kuliahku tahu kalau sulit menemuiku di kost. Tapi kenapa sekalinya ada tamu di saat seperti ini? Mau tidak mau aku beranjak dari kursi untuk menemui siapapun itu di balik pintu.
***
"Hai," adalah sapaan yang kuterima pertama kali saat pintu terbuka.
Keningku mengerut melihat kehadirannya. "Lo tau kan dimana letak ruang tamu?" sindirku sambil mendahuluinya ke ruang tamu. Sebenarnya kost-ku tidak melarang laki-laki masuk kamar asal pintunya terbuka, tapi melihat kondisi kamarku yang berantakan, sebaiknya jangan.
"Kalau gue menunggu di ruang tamu, yang ada lo cari alasan buat menghindar."
Aku melengos, jawaban yang sangat mencerminkan Bruno. Kutunjuk kursi dengn dagu sebagai perintah agar dia duduk.
"Mau apa?" tanyaku ketus. Aku memang tidak ada alasan untuk beramah tamah dengan Bruno. Sejak pertemuan terakhir kami, aku juga agak malas bertemu dengannya.
"Lo masih marah sama gue?"
"Aduh cepetan deh, lo mau apa?" tanyaku lagi yang sudah mulai tak sabar.
Bruno mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang langsung kusadari kalau itu makalah Enron. "Buat lo," katanya sebelum aku sempat bertanya.
Kuambil makalah yang tebalnya sekitar lima puluh halaman. Butuh waktu lima menit untuk memeriksa isinya sekilas. "Maksudnya apa?" tanyaku sambil meletakkannya kembali ke meja.
Bruno terlihat agak salah tingkah. Aku bisa melihat ia beberapa kali menarik napas lalu menghelanya panjang sejak pertama kami bertemu tadi. Aneh, biasanya dia terlihat santai dan rileks. Kenapa sekarang jadi tegang begini?
Kalau aku boleh narsis, dia pasti mau membuatku terkesan. Aku tidak mau berpikir keras untuk memastikan kalau Bruno mengetahui apa yang Yoga katakan padaku tempo hari. Aku hanya yakin dia pasti tahu. Mungkin makalah ini sebagai permintaan maaf atau upaya untuk pendekatan padaku. Ya, untuk Bruno yang kadang berotak encer, pasti cara seperti ini yang akan dia pakai.
"Mikir apa lo?" tanyanya balik.
Kuangkat alis tinggi-tinggi. "Gue yang tanya ini buat apa? Kenapa lo malah balik bertanya?"
"Gue tahu April belum kembali ke Indonesia. Mungkin lo sedikit kesusahan mengerjakan tugas sendiri."
Pandanganku bergantian dari Bruno ke makalah, makalah ke Bruno lagi. "Melihat dari 'bantuan' ini, lo pasti berpikirnya gue sangat kesusahan, bukan 'sedikit' lagi."Ucapku sarkastik. Kalau dalam keadaan normal pasti aku tidak akan berpikir dua kali untuk menerima bantuan dari Bruno. Bukannya aku malas atau apa, hanya mencoba realistis di saat kepepet.
Tapi begitu mengetahui bagaimana perasaan Bruno padaku, aku langsung berpikir bantuannya ini termasuk dalam gratifikasi. Suapan supaya aku tidak marah padanya dan kita bisa haha hihi lagi. Katakanlah aku terlalu percaya diri atau apa, tapi memang itu yang kurasakan.
"Singkirkan semua pikiran buruk lo, Va!"
Dia peka. Jelas!
"Kenapa lo mempermainkan April? Lo tahu dari awal kalau keluarga kalian bersitegang, but April didn't kno."
"Gue tulus bantu lo. Lo harus mengumpulkan makalah besok ke Andre 'kan?"
Kugebrak meja kayu yang memisahkan kami dengan keras. Efek suara yang ditimbulkan memang tak seperti yang kuharapkan -meskipun aku yakin telapak tanganku sekarang sudah memerah- tapi itu sudah cukup membuat Bruno terkejut.
"Gue memang marah ke April, ke Yoga, karena secara nggak langsung gue merasa dipermainkan." Napasku mulai memburu sebelum memulai bicara lagi. "Tapi lebih dari itu, gue nggak pernah suka kalau ada laki-laki yang mempermainkan perempuan, seperti mereka tidak lahir dari rahim seorang perempuan saja!" Mataku menikam Bruno, jauh menelisik ke dalam jiwanya.
"Apa maksud dari semua ini, Va?" Bruno akhirnya menyerah, memilih menanggapi amukannya. Memang dia harusnya seperti itu 'kan? Iya 'kan? Kini tatapannya tajam membalas.
"Kalian, laki-laki, terkadang lupa cara memakai hati." Desisku.
Bruno masih memandangku lurus, dan lama. Bahkan ketika dia mulai berbicara, tak satupun ekspresi yang ditunjukkan. "Apa menurut lo gue sejahat itu?" Ia mengangkat tangannya saat aku hendak menjawab. "Ya, gue sejahat itu, Va. Tapi apa gue pernah jahat ke lo? Kalaupun iya, gue pasti melakukannya tanpa sengaja."
"Lo masih nggak- "
"Gue tahu! Lo berpikir kalau pangkal dari semua ini adalah gue yang jahat ke April, iya kan?"
Aku mengangguk puas mendengar pertanyaannya. "Nah, that's the point! You got it!"
"What do you want then? Can we start it again?"
Kulihat Bruno lekat-lekat untuk beberapa detik. Tuhan, aku bohong kalau bilang dia itu biasa saja. Nyatanya Bruno itu good looking, lumayan pintar dan kaya. Perpaduan yang bisa membuat orang dengan mudah menyukainya, tapi ternyata hal yang sama tidak terjadi padaku? Untuk ukuran perempuan 'biasa saja' sepertiku, disukai oleh makhluk seperti Bruno adalah anugrah, tapi memang aku saja yang tak tahu diri.
Mungkin keadaannya akan berbeda kalau lebih dulu bertemu dengan Bruno. Bisa jadi aku menjadi salah satu anggota Bruno Lovers di kampus -yang sering kukatakan norak. Atau kalau tidak, aku akan menyamakan jadwal kuliahku dengannya agar kita sering bertemu -mirip seperti yang kulakukan pada Yoga. Tapi aku kembali lagi pada keadaan sekarang. Meskipun hatiku adalah milikku, aku tidak bisa menentukan sendiri dengan siapa aku mau. Belum.
"Bruno," kudorong makalah padanya.
"No no no Va! This is friend's help. Apapun jawaban lo, gue akan tetap paksa lo bawa ini makalah." Tolaknya.
Kuangkat sebelah alisku. "Really? Even my answer is no?" tanyaku memastikan.
Bruno mengangguk. "I have mine. Yang ada ini makalah Cuma akan membuat penuh kamar gue."
Akhirnya, mau tak mau kutarik kembali makalahnya. "Thanks then."
"So?"
"Uh?"
"The answer?"
Aku terkesiap. Aku lebih mengharapkan Bruno peka dengan gelagatku dan bisa langsung menyimpulkan apa yang akan menjadi keputusanku, bahkan kalau bisa, aku berharap dia bisa membaca pikiran agar aku tak harus mengatakannya langsung.
"Va?"
"Too hard to say 'yes' or 'no'. You know, where's my heart? It's still there. Can you grab it and make it yours?"
Bersambung
Fe's Note :
Saya tahu ini sedikit. #Senyum #Senyum #Senyum. Skripsi sukses menyita waktu dan dosbing saya perfeksionis. Mungkin saya akan piknik dulu biar nggak panik, atau paling nggak biar ada foto lain yang bisa saya upload di Instagram wkwk.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang