24. Berita Buruk

7.9K 675 9
                                    

Berita Buruk
Note:
Pertama, saya mengakui satu hal. Jadi saya bikin konflik yang beda versi, iya ini saya memang edan, dan sedang berusaha memperbaiki kekacauan yang sudah saya buat. Mungkin karena suhu di Semarang makin panas menyebabkan ingatan saya tentang alur cerita jadi menguap #alesan #alesan #alesan. Tapi saya nggak bohong lho soal suhu di Semarang yang suka gila-gilaan.
Kedua, saya akan merevisi cerita ini setelah tamat. Entah di-unplish dulu atau dicicil satu-satu, pokoknya do need revisi! Sakit mata saya bacanya, dan Cuma bisa mikir, "Ini nulis apaan?"
Ketiga,
-Happy reading-
Aku tidak ingat sudah berapa lama duduk di depan meja belajar sambil memandangi laptop yang mati. Mungkin hampir dua jam... atau lebih? Entahlah. I don't fucking care. Kepalaku sudah cukup pusing memikirkan benang merah antara cerita versi Bruno, cerita versi Yoga dan cerita versi April.
Dimulai dari Bruno. Ia mengatakan kalau tidak mungkin baginya bersatu dengan April karena keluarga mereka adalah rival bisnis. Ditambah dengan sikap Yoga yang menantang habis-habisan semakin membuat kesempatan tertutup. Kupikir masuk akal juga, Romeo Juliet does exist.
Versi Yoga. Ia mengatakan kalau April hanya dijadikan mainan oleh Bruno. Di sini, hanya April yang mempunyai rasa, sedangkan Bruno... errr suka padaku? Aku masih tidak menyangka dengan yang ini.
Versi April. Hampir sama dengan Yoga yang mengatakan kalau Bruno tidak pernah menyukainya dan malah menaruh perhatian padaku. Kemudian sahabatku yang sedang menderita BPD itu melakukan tindakan impulsive yang sangat gila dan tega. Tapi anehnya, ia tidak menyebut masalah keluarga mereka yang merupakan saingan bisnis.
Kesimpulannya adalah Bruno suka padaku, jelas. Semua tingkahnya sudah cukup menceritakan tentang itu. Dan kesimpulan kedua adalah... Dunno, tidak tahu, embuh!. Aku nyaris gila setelah beratus-ratus menit berpikir dan hanya bisa menyimpulkan hal yang jelas-jelas sudah terpampang nyata.
Aku yakin kalau ada hal yang mereka bertiga sembunyikan dariku. Tapi, sebagai orang yang tahu sopan dan tahu diri, aku cukup tahu batasan dimana harus berhenti. Biar bagaimanapun masalah mereka menyangkut keluarga dan aku hanya orang luar yang tidak berhak ikut campur .
Kembali ke tugas awal, kusingkirkan dulu April dan segala keruwetannya. Masih ada kuliah yang butuh perhatianku dan masih ada yudisium yang seharusnya kukhawatirkan karena semester ini aku menjalani perkuliahan dengan ngawur. Tapi, baru saja akan menyalakan laptop, sebuah pesan dari Mbak Rika masuk.
From : Mbak Rika
Va, ke Klik sekarang! Penting!
***
Selama bekerja di Klik Management, tidak pernah aku melihat gedung ini seramai sekarang. Biasanya yang hilir mudik adalah karyawan, model, manager atau beberapa brand yang berniat untuk memakai jasa model di Klik. Tapi sekarang kenapa banyak wartawan begini? Setahuku tidak ada yang akan menggelar konferensi pers di sini.
"Va! Va!"
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Mbak Rika sedang duduk di dalam mobil. Tangannya menyiratkan agar aku mendekat.
"Masuk buruan!"
Dengan gerakan secepat mungkin aku menurutinya. I'm smelling something fishy here, jadi begitu disuruh langsung mau.
"Ada apa sih, Mbak?" Tanyaku sambil memasang sabuk pengaman. Kuamati wajah Mbak Rika yang lebih pucat dari biasanya. "Ada masalah, Mbak?" Tanyaku lagi.
Mbak Rika melihat sekilas padaku. "Bad news, Va! Kita bicarain di tempat lain saja."
Kalau begitu kenapa tadi menyuruhku datang ke Klik? Tapi aku tak sampai menyuarakannya.
***
"Apa, Mbak?!" Aku nyaris menjerit kalau saja tak sadar dengan keberadaan asisten rumah tangga Mbak Rika yang sedang meletakkan minum. Bukan karena si Mbok suka gosip sana-sini, tapi aku kasihan kalau Mbok kaget mendengar jeritanku.
"Mbak juga nggak nyangka, Va. Ini benar-benar merugikan buat kita."
Aku berusaha mencerna kembali berita yang baru saja dikatakan Mbak Rika, mungkin saja salah dengar atau gagal paham. Demi Tuhan, ini buruk sekali!
"Selama jadi model aku nggak pernah macam-macam, Mbak. Selesai pemotretan langsung pulang. Nongkrong sampai subuh aja nggak pernah!"
"Kita sama-sama tahu kalau ini bukan tentang gaya hidup, tapi tentang be-"
"Tapi aku nggak pernah terlibat prostitusi, Mbak!" Potongku. Selama berkarir di dunia modeling, aku memang pernah beberapa kali ditawari untuk ikut ke dalam bisnis prostitusi. Mulai dari produk yang mau memakai jasaku -sebagai model tentu saja - sampai mau dijadikan gratifikasi untuk pejabat atau pengusaha. Tapi tidak satu pun yang aku terima. Aku masih cukup waras untuk tidak membuat malu orang tua dan diri sendiri. Dan ini... bagaimana ceritanya sampai ada gosip yang mengatakan kalau aku mau ditiduri agar bisa mendapat pekerjaan? Shooooooot!
"Kasus ini masih dalam penyelidikan, Va. Termasuk mencari siapa dalang yang mencatutkan nama kamu di daftar artis yang bisa dipakai. Ditambah lagi, ada beberapa model Klik yang terlibat, jadi makin gencar tuduhan ke kamu."
Mataku sontak menatap Mbak Rika. "Imey." Itu pernyataan. Jangan tanyakan bagaimana aku bisa tahu. Tentu saja itu semudah kamu mengetahui siapa temanmu sekelas yang sudah tidak perawan atau perjaka. A piece of cake! Tapi selama ini aku hanya diam. Prostitusi adalah hal biasa di dunia hiburan, seperti halnya ujian dan mencontek. Jadi selama tidak mengangguku, aku tidak akan berkomentar.
"Everbody knew that she's the real bitch!" Mbak Rika berdecak di ujung kalimatnya. Sama sepertiku, ia juga tidak menyukai Imey.
"Tapi aku mendapat tawaran dari Chic! bukan dengan cara hina, Mbak. Mereka yang datang menawari kita kan, Mbak!" Ya Tuhan, aku ingin menangis saja rasanya.
Chic! adalah nama merek tas yang memakai jasaku tiga bulan lalu. Mereka datang baik-baik dan sesuai prosedur untuk menawari pekerjaan dan aku menyetujuinya. Hanya karena pejabat Chic! "memakai" beberapa model yang ingin bekerja sama, bukan berarti aku juga melakukan hal yang sama. Gila! Pejabat sialan! Infotainment bego! Model murahan!
"Tadi Mbak dengan pihak Klik sedang merencanakan untuk menggelar konferensi pers. Tapi, ini tentu tidak akan menyelesaikan semua masalah."
Aku mendengar dengan jelas Mbak Rika mengatakan "semua masalah". Memang masalah yang timbul jadi beranak pinak. Pertama, namaku masuk dalam jejeran artis murahan. Gila ya. Aku tidak begitu terkenal dan sekalinya terkenal dengan cara hina. Kedua, untuk pertama kalinya aku harus menghadapi wartawan di konferensi pers. Selama ini wawancara yang kulakukan hanya sebatas untuk majalah remaja atau surat kabar, dan itu pun hanya seputar kegiatan sehari-hari. Ketiga, bagaimana aku menghadapi orang-orang di sekitarku sekarang? Memang namaku di daftar-artis-murahan masih sebatas dugaan, tapi orang mana mau tahu. Begitu ada kesalahan yang belum jelas, langsung habis dikorek berikut dengan komentar-komentar yang juga tidak jelas. Dan masalah yang paling parah adalah, say good bye untuk modeling. Orang tuaku pasti tidak percaya dengan gosip ini, tapi mereka jadi punya alasan super kuat untuk membuatku hengkang dari dunia modeling.
Dulu, pertama kali memasuki dunia modeling aku tidak berpikir sejauh ini. Pikiranku hanya bagaimana membagi waktu antara kuliah dengan modeling agar sama-sama jalan, dan kedua adalah bagaimana aku masih bisa memenuhi tanggung jawab kepada orang tua sebagai anak yang disekolahkan. Bisa dikatakan aku nyaris gagal dengan dua pertimbangan itu. Kuliahku akhir-akhir ini keteteran dan tinggal menunggu yudisium untuk melihat pertimbangan yang kedua juga gagal. Dan sekarang ketambahan oleh gosip murahan yang lolos dari pertimbanganku dulu.
Lagipula, sampai kemarin malam aku masih tidak memikirkan adanya gosip tentang diriku. Ini Yuva lho, hanya Yuva. Tidak se-terkenal artis sinetron karena hanya muncul di beberapa majalah. Tidak pernah macam-macam karena sudah pusing dengan kuliah. Tidak pernah nongkrong sampai subuh karena aku sendiri kekurangan waktu untuk tidur. Dan kemudian duarrr... jadi artis yang bisa dipakai, bisa dibayar, bisa diapa-apain.
***
"Terus aku harus bagaimana, Mbak? Apa aku harus diam sampai konferensi pers?" Aku benar-benar pusing dan clueless. Pulang dari sini sudah dipastikan akan memborong biogesic, aspirin, atau apa pun sejenisnya.
Mbak Rika memandang prihatin padaku. Dia juga sama pusingnya, tapi karena yang jadi masalah adalah aku, maka keadaannya jadi sedikiiiiiiit lebih bagus.
"Jangan pernah memberikan statement apa-apa, Va! Takutnya nanti malah salah omong."
Mbak Rika terlihat masih ingin bicara, jadi aku menunggu sambil menenangkan isi kepala yan mulai berlompatan sampai membuatku mual.
"Kenapa lagi, Mbak?" tanyaku kemudian karena Mbak Rika tak kunjung bicara.
"Masalah Why High..."
Ah aku hampir melupakan tentang itu. Proyek besarku.
"Why High memutuskan kontrak dengan kita."
"HAH?!"
Aku tidak percaya ini. Sudah ada beberapa masalah yang kudata dan ternyata masih ada lagi? Kepalaku rasanya mau pecah! Tapi sebelum kepalaku pecah, aku ingin membunuh orang yang berani-beraninya memfitnahku.
"Bukannya mereka sendiri yang datang ke kita, Mbak? Mereka malah tahu sendiri kalau aku mendapatkan tawarannya dengan cara yang wajar." Kuhempaskan tubuhku ke sandaran sofa. Lemas.
Mbak Rika menggeleng pelan. "Mereka bilang terlalu berisiko."
Aku memilih diam kali ini. Terlalu berisiko? Memangnya aku teroris? Aku orang yang melakukan tindak Kriminal? Oh God, aku hanya korban fitnah yang sangat sangat kejam sekaligus menjijikan. Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku aku jadi pihak Why High, tentu saja aku akan melakukan hal yang sama.
Berarti hanya seperti ini karirku di dunia modeling. Diawali dengan ketidaksengajaan dan diakhiri dengan kesalahpahaman. Tamat sudah aku kali ini. Mungkin setelah ini orang tuaku akan syukuran karena anak semata wayangnya sudah tercerahkan mata hatinya untuk menjadi mahasiswi yang bertanggung jawab. Dan tentu saja syukuran dilaksanakan ketika aku sudah terbukti tidak bersalah.
***
Aku tidak semangat kuliah. Kalau tidak UAS, aku lebih memilih mengurung diri di kost sambil nyemil persediaan oat choco daripada ke kampus dengan segala mata yang tertuju padaku. Iya matanya tertuju sambil mulutnya nyinyir.
Memasuki ruang ujian, aku langsung menuju kursi yang berisi nomor absenku di mata kuliah auditing. Beruntung kali ini aku duduk di pojok, jadi sedikit orang yang akan melihatku. Walaupun ya, kalau tidak bisa menjawab, hanya sedikit juga yang bisa kutanyai.Tapi kalau suasana seperti ini aku tidak yakin akan tanya siapa pun, takutnya satu jawaban soal dibayar dengan satu statement seputar gosip yang masing anget-anget eek kebo.
April masuk lima menit kemudian dan duduk di depanku. Terima kasih Tuhan masih ada yang kutanyai tanpa balas bertanya.
"Lo belajar nggak tadi malam, Va?" tanya April sambil membuka-buka diktat.
Aku mengangguk pelan. "Gue baca-baca kok tadi malam, tapi nggak ada materi yang masuk." jawabku.
"Oke, gue udah bisa memprediksikan. Tenang saja, gue belajar kok. Bisalah kasih contekan lo satu dua."
Aku meringis. Bagaimana bisa materi auditing masuk kalau yang kubaca adalah "YM : short time sembilan juta, long time lima belas juta" di salah satu web berita. Dasar berita ngawur! Kalau aku senilai lima belas juta, jelas aku sudah tinggal di apartemen dan berangkat kuliah pakai mobil. Ini tinggal masih di kosan, kuliah masih juga jalan kaki.
April memanggil dan berhasil mengembalikanku ke dunia nyata, dunia penuh nyinyir. Dia memberi isyarat dengan mata untuk melihat ke depan. Ternyata Miss Maryam sudah datang dengan se-amplop besar berisi soal. Segera kukeluaran alat tulis dan KRS sebagai kartu peserta.
"Tas lo mana!"
Kutengadahkan kepala dan melihat April sudah berdiri.
"Tas lo mana, Va, mau gue taruh di depan!"
Sedetik kemudian aku sadar dan langsung memberikan kepadanya.
Kelas kembali tenang saat Miss Maryam mulai membagikan soal. Tapi anehnya, aku tidak merasa kelas ini lengang. Aku seolah-olah bisa mendengar isi kepala mereka yang sedang menggunjing.
Kuperhatikan lagi seisi kelas. Ternyata memang benar lengang. Semua sibuk menghadap naskah soal dan lembar jawab masing-masing. Tidak ada satu pun yang melihatku, termasuk Miss Maryam yang mengawasi di sebelah kanan. Tapi lagi-lagi aku seperti mendengar beberapa dari mereka mencibirku,
Ah, ini hanya halusinasi, hanya perasaanku saja. Fokus, Va! Fokus! Di depan ada tujuh soal dan lembar jawab yang belum kuisi identitas.
***
"Pantes kuliah telat sama sering ngantuk, ternyata sibuk kerja sana sini."
Sisi yang duduk dua bangku dariku memulai cibirannya. Hah, yang seperti ini sudah bisa kuduga, tapi kenapa masih sakit juga. Orang bilang kalau kau tak bersalah, maka tak usah marah atau tersinggung. Aku tak bersalah, dan aku tersinggung. Aku marah karena dia dengan santainya mencibirku di sana-sini seolah tahu segalanya. Dan aku lebih marah lagi karena tidak bisa membela diri. Mbak Rika bilang mengeluarkan statement sampai konferensi pers, maka itu yang kulakukan.
"Nggak heran deh kalau karir mulus dibayar sama badan yang mulus juga."
Itu Linda. Dia adik tingkat yang bisa ambil kuliah semester atas karena IP-nya cumlaude. Kupikir dia tahu aturan, tapi ternyata masih perlu belajar sopan santun dengan senior.
"Sekarang gue tahu kenapa kemarin nggak diterima pas casting jadi modelnya Klik. It's okay lah, daripada gue disuruh ngangkang sana-sini."
Itu Gina. Serius, ingin kusambalin mulutnya. Apa dia tak punya kaca di rumah? Mana mau Klik menerima cewek yang modal dempul setebal sepuluh sentimeter? Muka putih tapi badan cokelat. Sebenarnya dia itu manusia atau tai cicak?
"Lo udah selesai beres-beresnya? Yuk pulang!"
Itu suara April. Dia mengajakku pulang bersama seperti biasa. Di sampingnya, aku mengulum senyum. Ini baru sahabatku, yang cueknya setengah mampus. Bisa kulihat wajah-wajah yang tadi mencibir menjadi geram karena tidak dianggap sama sekali. April mempunyai cara untuk menghadapi orang yang usil mulutnya. Pertama, biarkan. Kedua, kalau keterlaluan tetap biarkan. Ketiga, kalau kau menjadi sangat kesal, biarkan saja dia mampus karena kebanyakan bicara.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang