25. Rahasia

8.9K 828 18
                                    

25. Rahasia
Ps. Masih belum ada Yoga.
Happy reading!
"Kayaknya gue nggak bisa balik kost deh, Pril." Kataku ketika kami sampai di tempat parkir fakultas ekonomi.
"Kenapa?" Ia memberiku isyarat untuk segera masuk ke kursi penumpang.
Aku menunggunya sampai keluar halaman parkir baru kemudian menjawab. "Wika tadi sms, katanya ada wartawan di kost."
April hanya mengangguk-angguk pelan. Dia pasti sudah bisa menebak hal ini. "Tempat gue?" tawarnya kemudian.
Tempat April? Entah kenapa aku tidak berpikir untuk ke sana. Bukan tanpa alasan aku seperti ini, semua karena beberapa kejadian yang terjadi di apartemen April berakhir dengan kacau. Paling tidak aku membutuhkan waktu minimal dua jam untuk berpikir keras setelah pulang dari sana. Katakanlah, kemarahan Yoga dan pengakuan April adalah kebetulan karena terjadi di tempat yang sama, tapi tetap saja aku jadi semacam...kapok!
Lantas, kalau bukan ke apartemen April, mau kemana aku? Tidak mungkin kan ke Klik. Buat apa? Bukannya kerja tapi malah diserbu wartawankalimau kemana, Va?"
Oh dia ternyata sadar kalau aku enggan ke apartemennya.
"Lo sendiri mau kemana setelah ini?" tanyaku balik.
April nampak berpikir sambil mengetukkan jarinya di kemudi. "Tiga jam lagi gue ada pemotretan di studionya Benny. Tapi sebelumnya gue mau makan dulu."
"Lo sudah kembali aktif pemotretan?"
Ia melirikku sekilas lalu tersenyum. Kemudian aku memilih diam. Hubunganku dengan April belum sepenuhnya membaik, dan hal itu yang membuatku sungkan untuk bertanya lebih jauh. Biarlah seperti ini dulu, perlahan semua mungkin akan kembali seperti semula.
"Lo udah makan, belum? Jam segini udah telat buat sarapan sih, tapi nggak apa-apalah ya daripada cari penyakit gara-gara nggak makan."
Aku terkekeh kecil. "Lo yang traktir, ya?"
April bercedak. "Dasar free-thing-seeker!"
"Lha lo kan yang ngajak gue makan." Balasku tak mau kalah.
"Gue nggak ada ngajak lo makan. Gue cuma tanya, lo mau kemana?"
Astaga, ini tidak akan selesai kalau dilanjutkan. Lebih baik aku saja yang mengalah. "Oke lo traktir gue, dan gue yang bayar parkirnya. Problem solved!"
"Njiir!"
Kali ini aku benar-benar tertawa mendengar April mengumpat. Rasanya sudah lama kami tidak seperti ini.
Sebenarnya aku tidak lapar, bahkan aku lupa kapan terakhir kali makan nasi. Mungkin kemarin siang sebelum bertemu dengan Mbak Rika? Atau kemarin pagi? Aku sudah merasa kenyang melihat berita yang semakin memanas, jadi sudah tidak ada waktu untuk memikirkan tentang lapar. Mungkin kalau bukan karena April, aku masih bertahan dengan rasa kenyang semu ini.
***
Harusnya aku bertanya kemana April akan makan sebelum ikut dengannya. Sekarang sudah kepalang tanggung, sudah berdiri di depan restoran dan tidak mungkin aku kembali lagi ke mobil. Kalau begini harapanku hanya satu, tidak bertemu dengan pemilik restoran.
"Makanan di sini enak-enak lho, Va. Terus suasananya juga nyaman. Kita pilih area outdoor saja ya biar lo nggak sumpek." April langsung menarikku ke salah satu spot yang tempatnya sedikit mohon, dekat dengan taman kecil.
Aku memilih duduk di kursi yang tidak menghadap ke tengah restoran. "Gue pernah pemotretan di sini, Pril." Sekaligus pingsan juga, tambahku dalam hati.
April memanggil salah satu waitress yang berada di dekat kami. "Lo nggak pernah cerita kalau pernah pemotretan di sini." Katanya sambil melihat-lihat menu. "Mbak, saya pesan nasi bakar jamur satu sama orange squash satu. Lo apa, Va?"
"Samain saja." Balasku singkat. Aku makan hanya supaya tidak mati dan penyakitan, jadi tidak masalah mau mengonsumsi apa saja.
April kembali memperhatikanku begitu waitress pergi. "Lo nggak masalah kan kalau kita makan di sini? Atau lo mau pindah saja? Makanannya kita bawa pulang saja terus makan dimana, gitu?
Aku segera menggeleng. "Gue oke kok." Sepertinya berlebihan kalau sampai aku pulang hanya karena pengelola restoran ini adalah Mbak Stevie. Lagipula, pasti dia sibuk jadi kemungkinan kami bertemu sangat kecil. Dan Yoga belum tentu juga ada di sini kan? Aku benar-benar harus mengedepankan logikaku daripada takut berlebihan seperti ini.
Acara makanku dengan April berjalan lancar. Tidak ada Mbak Stevie yang tiba-tiba muncul dan tidak ada Yoga. Hanya aku dan April, kami makan, ngobrol, lalu sekarang menuju ke lokasi pemotretannya. Aku sudah memutuskan untuk menemaninya pemotretan. Mungkin itu lebih baik daripada harus berkeliaran sendiri dan menghadapi wartawan di tengah jalan.
***
"Oke done!" Teriakan Benny pertanda kalau pemotretan yang hampir berjalan tiga jam selesai.
April langsung menghela napas lega dan menghampiriku untuk meminta air mineral.
"How, Ben?" tanya April setelah menandaskan air mineral 600 mililiter.
Benny mengacungkan jempol padanya. "Gorgeous as always."
Aku mengangguk setuju. Siapa pun tahu kalau April berbakat.
"Lagi sibuk banget ya, Ben?" tanyaku sambil memerhatikan anak buah Benny yang hilir mudik.
"Iya, nih. Setelah ini gue ada pemotretan buat foto keluarga. Lumayan juga klien yang ini. Detail abis dan perfeksionis."
"Upahnya juga lumayan ya, Ben." Candaku sambil mengangkat alis.
"Tau aja lo, Va. Buat modal kawin, nih!"
"Kowan kawin kowan kawin. Kambing kali kawin!" Cibir April sambil meninju lengannya.
Benny terbahak mendengar kalimat sarkastik dari sahabatku. Sama sekali tak tersinggung, dan tawanya menular padaku dan April. Inilah alasan lain mengapa aku memutuskan untuk ikut April pemotretan. Aku sudah lama kenal Benny dan tahu kalau laki-laki itu bukan tipe yang suka mau tahu urusan orang lain. Jadi sama seperti April, dia tidak akan memintaku bercerita.
***
Tanganku sibuk mengecek semua media sosial selagi menunggu April selesai membereskan diri. Akun pertama yang kutuju adalah instagram. Begitu berhasil masuk, mataku sontak melotot melihat permintaan mengikuti yang sampai lima ratusan. Fyi, aku bukan orang populer di instagram, pengikutku hanya sekitar tiga ribuan.
"Nggak usah di approve. Paling tipe-tipe 'Sisi' kebanyakan." Seloroh April sambil menggosokkan toner di wajahnya.
Aku bukannya mau berburuk sangka, tapi mau tidak mau setuju juga dengan pendapat April. Hal seperti ini sudah biasa sekali terjadi di media sosial, main keroyokan buat ngorek borok seseorang. Kamu tidak perlu kenal seseorang tapi setiap dia melakukan kesalahan, hajar saja sampai habis!
Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas. "Lo masih lama?"
"Udah selesai. Bentar, gue ganti baju dulu." April langsung melenggang ke ruang ganti tanpa bersusah payah menunggu balasanku.
Kukeluarkan kembali ponselku. Kali ini bukan untuk melihat medsos tetapi untuk membaca soft file materi kuliah yang sengaja kusimpan di ponsel supaya praktis. Dulu waktu awal-awal menjadi model, aku kesusahan mengatur jadwal belajar menjelang ujian jadi cara yang kugunakan adalah menyalin materi ke ponsel agar bisa dipelajari dimana pun.
"Va?"
Aku mencebik saat ada yang memanggil. Baru saja membaca lima slide sudah ada yang datang.
"Bruno?" seruku tanpa ditahan-tahan. "Ngapain lo di sini?" Ini bukan bentuk perhatian, tapi aku terkejut bagaimana sampai bisa bertemu dengannya di studio Benny.
"Gue mau foto keluarga."
Samar, aku melihat Bruno menunjukkan rasa kesal. Apa dia akan berfoto dengan wajah seperti itu?
"Kenapa?"
"Terlepas dari apapun masalah lo, lo yakin mau foto dengan wajah seperti itu?" Kuarahkan dagu ke arah cermin agar dia melihat pantulan dirinya di sana.
Bruno memegang dagunya dan menoleh ke kanan kiri. "Gue masih tetap ganteng kan?"
Ah, sudahlah! Lebih baik aku menyusul April ke ruang ganti. Dia lama sekali di sana.
***
"Sejak Anda keluar dari rumah Papa saya, Anda bukan lagi siapa-siapa!"
Aku menghentikan langkah di depan pintu ruang ganti saat mendengar suara April mendesis penuh ancaman. Dengan gerakan sepelan mungkin, kubuka lebih lebar pintu ruang ganti yang memang tidak tertutup rapat.
"Tapi kamu tetap anak saya, April. Kamu tidak bisa mengelak kalau kamu selama sembilan bulan tinggal di dalam rahim saya."
Wajah lawan bicara April tidak bisa kulihat jelas karena terhalang daun pintu yang tidak sepenuhnya terbuka.
"Kalau saja bisa, saya memilih lahir dari rahim wanita lain. Kalau saja bisa, saya memilih mati setelah lahir dari rahim wanita iblis seperti Anda!"
Sedetik kemudian aku mendengar suara tamparan. Kakiku sudah hendak melangkah masuk ketika kata-kata April selanjutnya berhasil membuatku tertegun.
"Ujung jari Anda pun tidak berhak menyentuh saya, tapi Anda dengan tidak tahu diri melayangkan tangan kepada saya. Heh! Bagaimana rasanya tinggal di keluarga Oscar Reynold, Nyonya Andira? Bagaimana rasanya ditolak oleh Bruno? Saya yakin, sampai mati pun dia tidak akan menerima Anda sebagai ibunya!"

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang