13. Tuhan... Aku butuh dispensasi!
Sebelumnya saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri bagi yang merayakan. Sudah telat, tapi saya pikir ini masih dalam suasana lebara hehe. Mohon maaf lahir dan batin.
Happy reading!
I'm falling in love with human. It brings so many consequences, and the pain belong to. (Yuva)
Apa yang bisa kau lakukan ketika sedang patah hati? Menjerit sampai pita suara pecah karena begitu bernafsu memaki? Menangis sampai mata sebesar bola pimpong karena begitu sedihnya? Atau ingin mati saja?
Aku patah hati, aku sakit hati, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Hatiku terlalu lemas dan imbasnya sampai ke seluruh tubuhku. Rasanya aku tidak kuat untuk melakukan apapun, bahkan air mata yang enggan keluar semakin menambah sesak di dada.
Begitu mengalami penolakan, ingin sekali aku membenci Yoga, mengingat semua keburukannya atau apapun yang bisa membuatku jijik walau hanya sekedar mendengar namanya. Tapi ternyata praktik tidak semudah itu. Aku mencintainya dengan hati, sampai lupa membawa logika. Jadi, kalau aku ingin melupakannya, aku mungkin harus melempar hatiku jauh ke tempat asing.
***
"Ya ampun, Yuva." Mbak Mayang terlihat kaget mendapatiku berdiri di depan pintu kamar hotelnya. Sedangkan aku hanya tersenyum tipis karena sudah menduga akan reaksinya.
"Aku nggak boleh masuk nih, Mbak?"
Mbak Mayang menepuk dahinya pelan sambil tertawa. "Tuh kan, saking kagetnya sampai lupa menyilahkan kamu masuk. Ayo masuk, masuk!" Tubuhnya mundur beberapa langkah supaya aku bisa masuk.
"Aku tadi telepon Diko buat tanya tempat tinggal Mbak selama di sini abisnya Mbak ke Jakarta nggak bilang-bilang." Jelasku sambil mengamati kamar hotel Mbak Mayang yang luas. Terdapat kulkas kecil di sudut kamar dan pintu di sebela lemari yang pasti adalah kamar mandi. Aku memilih duduk di sofa cokelat yang terletak di depan televisi plasma.
"Bukan begitu, Va. Mbak kan di sini Cuma beberapa hari buat menghadiri seminar." Mbak Mayang menghampiriku dengan membawa dua buah kaleng soda.
Kuraih kaleng coca-cola dan menggenggamnya erat. Rasa dingin yang menyentuh telapak tangan sangat membantu untuk sedikit meredam segala hal yang bergelora di dadaku. Tadi pagi setelah puas mengasihani diri sendiri, aku memutuskan untuk menemui Mbak Mayang. Ini bukanlah keputusan impulsive sebagai bentuk sakit hatiku karena sebelum benar-benar pergi ke sini aku telah mempertimbangkan banyak hal. Sakit hati sesi kedua adalah salah satunya.
Sebelum aku sempat berbicara lebih jauh, Mbak mayang sudah lebih dulu meminta izin untuk membereskan pakaiannya karena akan kembali ke Jogja besok. Di sela kegiatannya melipat baju, ponsel Mbak Mayang berdering nyaring dan mau tak mau ia harus mengangkatnya. Dari pembicaraan singkat sepupuku itu dengan seseorang di seberang telepon, aku bisa mendengar apartemen, proyek, Jakarta dan beberapa hal yang tidak kumengerti.
"Kamu kok nggak ngajak teman kamu itu, Va?" teriak Mbak Mayang dari balik pintu lemari.
"Teman yang mana, Mbak?"
"Si cokelat itu lho?"
"Si cokelat? Sejak kapan aku kemana-mana bawa batangan manis itu? Memangnya aku balita apa?!"
"Yang di Jogja itu lho, Va. Bruno... dia artinya cokelat kan, sama seperti warna rambutnya?" Ujar Mbak Mayang gemas, lalu menghampiriku kembali dengan koper hitam besar di tangan kanannya.
Aku tergelak. Baru sadar kalau arti nama Bruno itu cokelat. "Kenapa nanyain dia, Mbak? Memangnya dia bayangan aku sampai harus nempel dimana-mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You (Slow Update)
General FictionYuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yang padat adalah untuk melihat Yoga, iya karena laki-laki. Cinta dalam hati, itulah yang ia lakukan. I...