29. Konferensi Pers

8.1K 857 116
                                    

29. Konferensi Pers

Ps. Tolongin saya buat ngumpulin typo atau bahkan blunder yang saya buat. Oke?:)

Happy reading!

Aku menegang di bawah tubuh besar Yoga. Lidahku seketika kelu saat melihat sorot matanya yang memancarkan...nafsu? Ya Tuhan, kuharap aku hanya salah lihat saja. Dan untuk kata-kata Yoga yang terakhir, aku tak mau memikirkan apa maksudnya, karena semakin kupikir semakin otakku dipenuhi oleh hal yang tidak-tidak.

Dalam novel yang pernah kubaca atau drama korea yang kulihat, posisi seperti aku dan Yoga ini biasanya akan mengarah ke hal yang berbau dewasa dan intim. Astaga... jangan sampai itu kejadian! Kuakui aku bukanlah orang yang mempunyai iman kuat jika sudah berhadapan dengan orang yang kucintai. Make out pertamaku terjadi saat kelas dua belas SMA, dan pertahanan yang lemah itu langsung membuatku tidak yakin dengan prinsip sex after  married. Apalagi sejak aku kuliah dan menjadi model, berhubungan badan sebelum menikah sampai kumpul kebo bukahlah hal yang tabu di sekitarku. Aku bahkan sudah tahu kalau suatu saat di masa depan akan melakukannya juga.

"Yoga..." Aku kesusahan mengeluarkan suara saat merasakan napas hangat Yoga di leherku. "Please..."

Ia hanya memberiku seringaian yang entah kenapa terlihat menakutkan sekaligus menawan. Kemudian kepalanya kembali menyusup di antara helaian rambutku. Tak sampai di sana, bibirnya menjelajah leher kiriku. Punggungku refleks melengkung karena geli dan merinding dengan perlakuannya.

"Please..." rintihku sambil menggerakkan bahu sebisaku agar ia segera menarik diri.

"Please... what?" Aksinya masih berlanjut, membuat rasa takutku perlahan berganti dengan rasa lain yang tak ingin kuakui. Ya Tuhan... aku harus tetap bisa berpikir sehat.

Aku terpekik saat merasakan gigitan di bahu kiriku. Tidak keras tapi cukup mengagetkan. "Please, don't do that!"

Yoga mengangkat kepalanya menciptakan jarak kepala kami yang hanya sejengkal. Dan saat itu aku bisa mendengar napasnya yang memburu dan wajahnya yang memerah. Meskipun begitu, matanya nyalang padaku.

"Yuva..." Suaranya parau. Matanya menatap mataku dan bibirku bergantian. "Why did you enter my room?"

Belum sempat aku membalas, ia mendaratkan bibir lembutnya di dahiku. Benda kenyal itu menjalar menuju kedua mataku, pipi kiri, hidung, pipi kanan, setiap sudut bibirku, daguku dan diakhiri dengan gigitan di rahangku. Lalu Yoga kembali mengangkat kepalanya dan menyatukan dahi kami.

"May I?"

Aku menelan ludah susah. Kutenangkan kembali dadaku yang bergemuruh dan mencoba untuk menemukan suaraku yang hilang sejenak. "No."

Sedetik setelah aku mengatakannya, Yoga langsung membanting tubuhku di sampingku. Aku pun mengangkat sedikit badanku dengan bertopang pada kedua siku. Kuamati wajahnya yang masih memerah. Dan seperti telah melakukan pekerjaan berat, ia menutup mata dan berkali-kali mengembuskan napas lelah.

"Ternyata sakit juga, ya?" Yoga mengusap wajahnya kasar tapi masih enggan membuka mata.

Kuperbaiki posisiku menjadi duduk dan mengarah padanya. "Kenapa?"

Ia membuka mata lalu mengubah posisi yang sama sepertiku. Masih bisa kulihat pancaran nafsu di kedua netranya, tapi sebisa mungkin kuabaikan

"Sakit ya rasanya ditolak."

Pada saat itu juga aku ingin memukul kepalanya. Memangnya sejak kapan penolakan itu manis?

"Kepala gue pusing mikir jalan pikiran cewek, ego gue juga terluka karena lo bisa-bisanya nyebut nama cowok lain. Dan gue dulu juga separah itu terhadap lo." Ia hendak meraih tanganku, tapi aku lebih dulu menghindar. "For God sake, Yuva... I really am sorry."

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang