Epilog
Tanganku saling meremas melihat raut wajah Mama dan Papa. Mereka tidak berkata satu kata pun setelah tiga menit, dan aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Perlahan, aku menoleh ke sebelah kanan. Yoga duduk tegap dan terlihat tenang, namun bukan tidak mungkin kalau ia merasakan hal yang sama denganku.
Perhatianku kembali tertuju ke depan begitu mendengar Papa mendengus.
"Apa kalian pikir hubungan ini main-main?" Papa mengangkat tangannya begitu melihat Yoga membuka mulut. Pandangan beliau kemudian tertuju sepenuhnya untuk laki-laki di sampingku. "Ingatan kamu bahkan belum pulih. Apa kalian yakin dengan hubungan yang tidak jelas dasarnya?"
"Yuva mencintai saya, Oom." Yoga melihatku sekilas kemudian kembali menatap Papa. "Dan saya membutuhkan Yuva ada di hidup saya," ucapnya tanpa keraguan.
Aku semakin lemas melihat rahang Papa yang mengeras. Kenapa Yoga tak bilang saja kalau dia mencintaiku? Sesusah itukah mengatakan kata "cinta"? Kalau begini, tidak ada bedanya dia yang dulu dengan sekarang, yang ada malah membuat Papa semakin meragukan kami.
"Kamu pikir anak saya apa? Hari ini kamu bilang butuh, sedangkan besok? Dengan ingatan kamu yang seperti ini, bukankah seharusnya Yuva tidak lebih dari orang asing buat kamu?"
Yoga terlihat tak gentar mendengar gertakan Papa. Dengan tenang, ia kembali menjawab, "Saya sudah mengatakan kepada orang tua sa–"
"You didn't get the point!" Potong Papa dengan suara yang meninggi.
Aku cemas. Kutatap Mama untuk meminta dukungan, tapi seperti tahu maksudku, beliau malah membuang pandangannya. Oh God, Mama sepemikiran dengan Papa.
"Ma..." mohonku tanpa suara ketika Mama kembali melihatku untuk sekian detik.
Selanjutnya kulihat Mama memegang lengan Papa, hal yang biasa beliau lakukan untuk meminta suaminya meredam emosi. "Begini Yoga, kami masih belum yakin dan tidak bisa meraba bagaimana hubungan kalian ke depannya. Apa yang membuat kamu tetap keukeuh bersama dengan Yuva sedangkan ingatan kamu tentangnya belum kembali? Kalau dilanjutkan, bukannya itu hanya akan berakhir dengan kalian yang saling menyakiti."
That's it! Pertanyaan yang diam-diam juga selalu muncul dalam benakku. Aku tidak tahu ke mana Yoga akan membawa hubungan kami. Aku bahkan sempat berpikir kalau Yoga hanya merasa kebingungan dan butuh seseorang untuk menuntunnya. Dan aku masih menyimpan ketakutan sampai Yoga membawaku ke Bogor. Iya, dia melakukan hal yang kuharapkan terjadi dua tahun lalu. Cukup terlambat memang, tapi he did it! He told how much he needs me, like fish need water, or like the beast needs Belle. Kurang lebih seperti itu.
Aku senang? Jelas! Aku bahagia. Dan satu pengertian yang selalu kupertanyakan, baru aku dapatkan.
He. Can. Not. Say. Three magic words.
Aku berhenti mengharapkan dia yang bilang cinta. Bukan menyerah, tapi aku sudah merasakannya. Maksudku, ketika kamu benar-benar mencintai seseorang dan banyak melalui banyak hal dengannya, kamu akan tahu apakah dia mencintaimu atau sekadar membutuhkanmu.
Dua tahun yang lalu Yoga menyukaiku. Aku terluka karena tidak puas mendengarnya. Tapi setelah dua tahun, dan dengan ingatan tentangku yang samar-samar, ia berani membawaku menemui orang tuanya. Kalau bukan cinta, kemudian apa? Rasa "suka" tidak cukup mampu membuatnya melakukan semua itu.
"Hidup saya sebagai jaminan kalau terjadi apa-apa dengan Yuva."
Aku tersentak dari lamunanku ketika Yoga mengatakan kalimat itu dengan penuh kesungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You (Slow Update)
General FictionYuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yang padat adalah untuk melihat Yoga, iya karena laki-laki. Cinta dalam hati, itulah yang ia lakukan. I...