8. Nge-date?

12.6K 1.1K 18
                                    

8. Nge-date?

Aku pikir pergi ke Jogja bisa membuatku ‘lepas’ selama seminggu atas segala urusan yang ada di Jakarta. Yoga, April, kuliah –walaupun aku masih membawa beberapa tugasku– , dan pemotretan. Tapi ini… sosok Bruno malah dengan tanpa kesengajaan menunjukkan batang hidungnya di kota pelajar.

Masih teringat jelas dalam kepalaku bagaimana ekspresinya saat kami bertemu di rumah Bu Dhe. Dia yang semula sama kagetnya sepertiku langsung mengubah air mukanya menjadi cengiran bodoh. Dasar!

“Wahhh kalian sudah saling kenal ya?” Respon Mbak Mayang saat menatapku dan Bruno sungguh berlebihan. Baiklah, aku bisa mencium sesuatu yang tidak beres.

Sepupuku ini –Mbak Mayang – sama tengilnya dengan adiknya. Dia pernah beberapa kali mengenalkanku dengan berbagai tipe cowok, mulai dari Asia, Chinese, Kaukasian, sampai bangsa Negro juga pernah. Alasannya cuma satu, bosan melihatku menjomblo.Dan sekarang, saat melihat binar mata besarnya, aku yakin kalau pikiran Mbak Mayang tidak jauh dari urusan let’s get boyfriend, Yuva.

“Bruno ini temen kuliahku, Mbak. Kami satu rombel di beberapa mata kuliah.” Jelasku dengan sebiasa mungkin agar sepupu cantikku ini tidak menjalankan aksi gilanya.

Mbak Mayang terlihat memicingkan matanya, lalu seperti sadar situasi, ia kembali menyibukkanku dengan temannya yang bahkan sempat “terlupakan” karena insiden kaget-ada-Bruno.

“Kenalin Yuva, ini temen Mbak Mayang sekaligus sepupu Bruno, Kayla.”

Aku tersenyum manis kepada Mbak Kayla sambil menjabat tangannya. Saat ia membalas jabatanku, rasanya itu adalah tangan terhalus yang pernah kupegang –setelah tangan April tentunya – . Ah, itu membuatku ngeri saja memikirkan berapa besar budget yang mereka habiskan untuk perawatan.

“Yuva.” Kataku mantap.

***

“Yuva, ada temanmu, Nduk.”

Kukerjapkan mata begitu mendengar panggilan Mama dari balik pintu kamar. Aku sudah hendak beranjak dari kasur begitu satu kenyataan menyadarkanku. Teman siapa? Aku kan sekolah di Solo, kuliah di Jakarta, dan keluarga pindah ke Jogja dua tahun lalu. Terus teman yang mana yang dimaksud Mama?

“Yuvaaa?”

“Iya, Ma.” Jawabku segera –kalau tidak begitu Mama akan memanggil sampai aku menyahut–

Daripada aku penasaran siapa temanku, lebih baik aku menemuinya.

***

Kalau sebulan yang lalu aku tidak menganggap orang ini sebagai teman, bahkan malas walaupun sekadar brdekatan. Kali ini, aku memang harus mengakui kalau dia telah menjadi temanku, seperti caranya mengenalkan diri tadi kepada Mama.

“Mau minum apa?” Tanyaku pada Bruno yang sekarang duduk manis di sofa ruang tamu.

“Kopi saja deh, biar nggak ngerepotin.” Jawabnya disertai cengiran khas.

Kuputar bola mataku. “Kalau nggak mau ngerepotin itu pesannya air putih, atau nggak usah sekalian.”  Ucapku tanpa bisa menyembunyikan senyum karena bisa memberinya usul konyol.

“Lha kalau gitu gue minum apa? Seret dong gue kalau makan kue.” Dagunya menunjuk ke deretan toples berisi nastar dan kue kering yang memang selalu terhidang di meja ruang tamu.

“Bawa minum sendiri kek, atau lo sekalian saja puasa biar nggak usah makan minum.” Tawa sudah berderai di sela-sela ucapanku.

Bruno berdeham berkali-kali, berakting seolah-olah ia sedang serak. “Minum dong, Va. /Kopinya anget aja, jangan terlalu panas. Dua sendok gula, satu sendok kopi, pokoknya jangan terlalu pahit. Hidup gue sebagai mahasiswa sudah terlalu pahit soalnya.”

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang