18. Haruskah Percaya?
Sekarang sudah tiga hari sejak pernyataan suka Yoga padaku. Inginnya aku tidak memikirkannya, karena seperti kataku waktu itu, aku tidak mempercayainya. Inginnya aku mengabaikan saja ucapannya seperti aku yang mengabaikan rasa sakit saat melihatnya dengan perempuan lain. Tapi aku tidak bisa. Sekuat apapun kutepis, tetap saja terngiang.
Sudah dua malam belakang aku mengalami insomnia, dan parahnya itu bukan hanya karena Yoga. Penjelasan demi penjelasan yang kudengar dari Yoga dan Bruno silih berganti memenuhi otakku, dan berimbas bergesernya jam tidurku.
"Arghhhh...." Kuacak rambut gemas. Kalau Mbak Rika melihat ini, pasti sudah habis aku ditegurnya. Katanya, nanti susah dapat iklan shampoo kalau rambut rusak!
Dengan langkah gontai, aku membuka pintu kost lebar-lebar agar udara bisa masuk. Aku butuh penyegaran dan... refreshing! Ya, aku butuh merilekskan diri sejenak dari masalah-masalah yang timbul karena ulah orang lain. Namun, seketika bahuku merosot begitu ingat hari liburku bulan ini sudah kugunakan semua untuk bekerja, kecuali hari Minggu.
Oke, baiklah! Sepertinya aku menyesali keputusanku kemarin yang ingin menjadi sangat sibuk sebagai pelarian agar tidak mengingat Yoga. See, aku bahkan tidak bisa mengistirahatkan diriku sendiri selain pada hari libur nasional!
***
Aku menguap berkali-kali di kala Mr. Edwin menyampaikan materi tentang Budgeting. Demi Tuhan, sebenarnya aku menyukai mata kuliah ini karena lebih banyak menghitung daripada membaca, tapi karena insomnia sialan yang kualami aku jadi mengantuk pada pukul sebelas. Kulihat jam yang mengantung di depan, masih setengah jam lagi sampai kelas selesai. Biasanya setengah jam terasa singkat ketika mengerjakan soal budgeting, tapi kini menjadi sanat lama karena menahan kantuk.
Di antara tidur ayam yang kulakukan dengan sembunyi-sembunyi, kulihat teman-teman sekelasku sudah memberesi diktat dan alat tulisnya. Kenapa kelasnya cepat sekali selesai? Bukannya harus menunggu sampai jam setengah dua belas?
"Bangun, Va. Pulang." Sisi menyenggol tangan yang kujadikan penopang dagu. Aku tahu niatnya baik, tapi saking kerasnya dia menyenggol, daguku nyaris mendarat di meja.
"Mr. Edwin tumben baik?" Aku hapal betul kalau mata kuliah budgeting tidak pernah selesai sebelum waktunya, malah terkadang beliau membutuhkan waktu lebih dari seharusnya dalam perkuliahan.
Sisi menatapku bingung, dan aku bersumpah mendengar dia berdecih. "Kan kita cuma review materi buat UAS dua minggu lagi."
Nyawaku yang tadi melayang seakan jatuh ke ragaku. UAS? Mampoooooosss, aku lupa kalau sekarang sudah memasuki minggu terakhir perkuliahan. Aku bahkan belum ada persiapan apa-apa karena sibuk dengan tetek bengek patah hati.
"Ah lo mentang-mentang jadi model brand terkenal jadi lupa kuliah."
Aku tersinggung dengan ucapan Sisi. Selama ini aku tidak pernah menomorduakan kuliah setelah pekerjaan. Jadwal kuliah juga kubuat siang agar aku bisa menjalani keduanya dengan lancar. Tapi aku hanya bisa membalas ucapan temanku ini dengan senyum. Mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin kan mengatakan kalau aku terlalu desperate karena patah hati?
Sisi tiba-tiba duduk di depanku setelah memastikan ruangan kelas kosong. Dia sepertinya ingin berbicara serius karena dengan sengaja memajukan tubuhnya agar mendekat padaku.
"Jangan deket-deket, gue masih normal!" Sergahku. Risi juga kalau posisinya seperti ini.
"Va, gue mau ngomong serius sama lho." Dia menoleh kanan kiri, memastikan kalau benar-benar hanya ada kita berdua di sini. "Katanya masuk di Why High itu pake cara esek-esek ya?" bisiknya dengan suara luar biasa lirih. Tapi suara lirih itu bagaikan petir bagiku.
"Kata siapa lo? Enak saja!" Memang aku tidak begitu tahu persis mengapa Why High memilihku sebagai model di antara beberapa model yang kuyakini memiliki kualitas lebih baik dariku. Tapi aku masuk juga bukan dengan menjual tubuh! Aku tidak segila itu! Secara tidak langsung aku merasa tertuduh dan ter-cap sebagai model yang hanya modal blow job dan antek-anteknya.
Sisi merasa tidak enak begitu medapati balasanku yang sewot. Ya salah dia sendiri main asal bicara!
"Ya kan gue Cuma denger, Va. Masalah benar atau nggak, gue tanyain ke lo."
"Masalah itu gue nggak tahu, Si. Yang jelas gue jadi model di Why High, murni karena mereka yang milih, bukan gue yang menawarkan!" Kuberesi barang-barangku dan langsung keluar kelas meninggalkan Sisi. Harusnya aku menyikapi sikap Sisi dengan kepala dingin dan tidak langsung tersulut emosi karena semua tuduhannya tidak kulakukan, tapi katakan itu kalau aku sedang dalam suasana stabil.
***
Lorong kampus kulewati tanpa menoleh kanan kiri. Aku terlalu kesal untuk sekadar tersenyum bahkan menyapa. Entahlah, aku menjadi sangat sensitive akhir-akhir ini dan aku tidak menyukainya. Sangat.
"Va! Yuvaaa!"
Aku menghentikan langkah demi melihat siapa orang yang memanggilku dengan suara luar biasa lantang! Gila, ini kalau ada dosen lewat bisa habis di kena tegur. Kepalaku menoleh kanan kiri di antara kerumunan mahasiswa yang sedang bergerombol.
"Va, sini!" Kuarahkan pandanganku ke pintu depan toilet laki-laki. Ternyata Andre. Mau tak mau aku berjalan menghampirinya daripada dia kembali memanggilku.
"Ada apa, Ndre?"
"Tugas auditing lo mana? Dari tadi gue cari lo sama April susah banget!" Gerutunya.
Dahiku berkerut dalam. "Memang auditing ada tugas? Tugasnya apa?" Aku yakin tampangku sekarang pasti kelihataan bloon, berbanding terbalik dengan ekspresiku tadi.
"Anjiiiiiir! Makalah kasus Enron. Gue nggak mau tahu, pokoknya besok sudah ada di gue! Bisa mampus gue kalau kena ombel Miss Maryam."
Aku meringis ngeri. Miss Maryam memang terkenal tegas dalam mengajar, termasuk mengumpulkan tugas. Jelas saja kalau Andre sebagai komting kelas auditing ketar ketir kalau ada anak buahnya yang tidak disiplin. Alamat dia dulu yang kena semprot!
"Oke." Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan, dan sepertinya laki-laki itu masih belum percaya. "Iya, gue janji! Kalau perlu besok gue anterin ke kost lo!" tambahku dengan sungguh-sungguh meskipun sebenarnya tidak yakin. Demi Tuhan, aku saja masih belum menemui April, sepertinya dia masih dalam masa pelarian diri.
***
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silahkan tinggalkan pesan setelah bunyi bip!
Aku mengerang frustasi. Sudah lima kali aku menghubungi April dan selalu berakhir dengan voice mail! Padahal aku sudah menyempatkan waktu di sela kegiatan pemotretan hari ini.
Putus asa sudah! Mau seratus kali kuhubungi pasti hasilnya akan sama. Mbak Rika memanggilku pertanda aku sudah harus bersiap-siap lagi untuk sesi pemotretan selanjutnta. Sambil memastikan riasanku, aku menjawab perintah Mbak Rika dengan setengah berteriak.
***
Tanganku terangkat lalu turun , angkat lagi terus turun. Begitu terus sampai beberapa kali. Setengah hatiku berteriak "jangan" tapi setengah lagi dengan berapi-api mengatakan "harus". Mana mungkin hatiku bisa tidak kompak lagi? Meskipun aku payah di pelajaran biologi dulu, tapi aku cukup tahu kalau hati cuma satu. Harusnya kan kompak!
Bingung, kusandarkan tubuhku di dinding. Kali ini aku akan bertaruh dengan hatiku yang tidak kompak. Aku akan menunggu sampai pintu terbuka maksimal sepuluh menit, lebih dari itu aku akan pulang dan mengerjakan tugas kelompokku sendiri.
Baru dua menit aku menunggu dan sudah mendengar suara ejekan di kepalaku. Pertaruhan yang bodoh! Kalau pintu terbuka, kau akan bertemu si tuan rumah, kenapa tidak langsung menekan bel saja? Kalau pintu tidak terbuka, kau hanya akan menyia-nyiakan sepuluh menit waktumu!
Aku menggeram kesal. Kenapa hari ini tubuhku kompak sekali mengkhianatiku?
Sudah lima menit.
Kurang kerjaan dan merasa bosan, aku mulai menghitung mundur dari detik tiga ratus.
"Dua ratus lima puluh, dua ratus empat puluh sembilan, dua ratus-"
"Yuva?"
Hitungan di kepalaku buyar seketika. Kudongakkan kepala demi melihat si pemilik suara, kemudian kulirik pintu yang berada di sampingku. Masih tertutup. Seketika aku ingin menertawai diriku sendiri, memang taruhan yang bodoh!
"Va, lo ngapain di sini?"
Kuhela napas panjang. "Cari April."
"Dia belum kembali. Ayo masuk!" Yoga mendahuluiku untuk membuka pintu.
Aku menimbang sejenak, masuk atau tidak? Sepertinya aku sudah tidak ada kepentingan.
"Gue pulang saja, deh."
Aku langsung membalikkan badan dan melangkah pergi. Entah mengapa rasanya hatiku sakit, padahal Yoga tidak berbuat apa-apa hari ini. Mengingat pernyataannya kemarin, membuatku sedikit berharap kalau dia akan menahanku pergi. Bukankah seharusnya itu yang dilakukan kepada seseorang yang kita sukai? Tapi ini apa? Dia membiarkanku pergi begitu saja, lupakan soal mencegah pergi, aku jadi sulit percaya dengan perkataannya kemarin.
Kutarik napas dan langsung merasa sesak di dada, selanjutnya buru-buru aku mengembuskannya. Seiring helaan napas yang kuembuskan, otakku memutar ulang bagaimana sikap Yoga kepada pasangan kencannya yang dulu-dulu. Kepada Mbak Mayang, dia perhatian. Bahkan kepada Jana yang aku yakin baru ditemuinya sekali, dia perhatian juga dengan mengantar model cantik itu pulang. Tapi kepadaku, seseorang yang baru saja mendapat pernyataan sukanya, dia tak ambil pusing! Demi Tuhan, Does he like me? Or he just pretends?
-bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You (Slow Update)
General FictionYuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yang padat adalah untuk melihat Yoga, iya karena laki-laki. Cinta dalam hati, itulah yang ia lakukan. I...