22. Dia Kembali

10.9K 840 34
                                    

22. Dia Kembali
Fe's note (tolong jangan dilewati) ( :
Tulisan ini saya ketik di Ms.Word kemudian copast ke wattpad, jadi semuanya jadi tegak kembali.
Peraturan dalam membaca dan berkomentar bisa dilihat di bio saya.
Theme song untuk cerita ini adalah Adera-Dengarkan Hatiku. Iya, saya sengaja pilih lagu dalam negeri biar gampang menghayatinya. Lagu ini menurut saya cocok menggambarkan perasaan Yuva, Yoga, April, dan Bruno ke orang yang mereka suka. Next time saya taruh di media, tapi kalau kalian mau cari sendiri silahkan hehe
Bab 'Akhir untuk Menuju Awal (2)' pasti akan ada, tapi belum waktunya keluar.
Enjoy!
Seusai menolak Yoga, aku tidak bisa merasa lega sepenuhnya. Bagaimana aku bisa tenang setelah menolak orang yang kucintai sampai sakit? Hatiku rasanya memang lebih baik karena meminimalisir kemungkinan untuk merasa tersakiti lagi, tapi aku telah melepas hal yang selama ini aku inginkan. Itu tidak mudah.
Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Yoga. Dari awal aku yang lebih dulu menyukainya, mengikutinya sampai gila, dan aku pula yang terlebih dulu menyatakan cinta. Dia sudah memberiku peringatan tentang betapa bejatnya dia, tapi aku dengan bebalnya masih ingin mencintainya, atau lebih tepatnya, aku tidak bisa berhenti mencintainya. Belum.
Mungkin nanti akan ada hari dimana aku menyesali hari ini. Tapi kali ini aku tak mau melawan takdir yang sudah ada untukku. Jika memang Yoga hanya akan menjadi cinta masa laluku, maka biarkanlah. Jika kami digariskan untuk bersama, maka biarkan takdir yang bekerja. Aku akan berusaha untuk kebahagiaanku bagaimanapun akhirnya nanti.
***
Sepuluh menit sudah aku duduk di depan dekanat untuk menunggu dosen waliku yang sedang mengajar. Kuedarkan pandangan ke sekeliling gedung, kantin, parkiran, warga kampus, taman dan sebagainya yang sudah akrab denganku selama dua tahun lebih. Bagaimana perubahan yang akan terjadi kalau aku meninggalkan semua ini selama sekurang-kurangnya dua tahun?
"Hai , Va?" Sisi duduk di sampingku. Honestly, aku keberatan. Pertemuan terakhir kami tidak mengenakkan dan sialnya aku masih ingat jelas. Tapi sudahlah, ingin mengusirnya juga aku tidak berhak.
"Lo nunggu Miss Widya juga 'kan? Gue denger-denger sih beliau selesai ngajar jam setengah dua belas." Jelasnya tanpa kuminta. "Berarti ya... dua jam lebih."
"Dosen wali lo juga Miss Widya?" tanyaku malas-malasan.
"Ehem.."
Selanjutnya tidak ada percakapan lebih lanjut di antara kami. Aku bukannya tidak tahu kalau Sisi beberapa kali menoleh kepadaku seakan ingin mengajak bicara, tapi aku tidak mengacuhkannya.
Tak lama kemudian Winda datang dan duduk di samping Sisi. Berbeda dengan yang tadi, kali ini Sisi terlihat enggan untuk berdekatan dengannya. Alasannya, karena Winda yang notabene biasa-biasa saja di mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah bisa menyamai Sisi yang pintarnya satu tingkat di bawah April. Kedengaran kekanakan dan sepele memang bagi mereka yang tidak tahu apa-apa, tapi aku -yang semester lalu serombel dengan keduanya-jelas sangat tahu kenapa Sisi bisa sebegitu benci dengan Winda. Winda.. she did barter. Kata Sisi yang waktu itu marah-marah, Winda pasti sudah menggoda dosen untuk mendapatkan nilai bagus. Oh dan lagi dengan baik hatinya, Sisi menyebut Winda sebagai ayam kampus.
"Va, April ambil cuti ya?" Mungkin karena jenuh menunggu lama tanpa ada obrolan, Winda memutuskan untuk mengajakku bicara. Dia bahkan sampai mencondongkan badannya karena Sisi berada di tengah-tengah kami.
"Nggak." Jawabku setelah berpikir selama lima detik. Ini bukan jawaban asal-asalan karena aku melakukan penghitungan singkat tadi. April sudah pergi selama dua minggu dan menurut daftar presensi, dia masih diperbolehkan mengikuti UAS. Jadi kemungkinan dia sudah ada saat UAS. Dan lagi, Papa April adalah dekan di fakultasku, jadi mana mungkin dia berani mangkir terlalu lama.
Winda mengangguk-angguk mengerti. "Oh ya, agensi tempat lo kapan mengadakan casting untuk model baru?"
"Akhir bulan."
Winda sumringah seketika. "Menurut lo, kalau gue daftar bakal diterima nggak?" Tanyanya sambil sibuk merapikan rambut bergelombangnya yang indah. "Gue itu ya, Va, sudah lama ngincer buat masuk sana." jelasnya kemudian.
Belum sempat aku menjawab, Sisi yang berada di tengah kami langsung berseloroh. "Jelas! Lo tinggal telanjang saja, like what you do to get something!"
Aku tersentak mendengar keterusterangan Sisi. Untung saja dia masih cukup waras dengan mengucapkannya sambil berbisik. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau orang-orang yang berada di sekitar kami mendengar. Well, Winda memang ayam kampus, semua tahu itu, tapi bukan berarti harus diumumkan seperti ini. Terlalu kasar untuk didengar, apalagi di lingkup pendidikan seperti ini.
Lain denganku, ekspresi yang ditunjukkan Winda berbeda. Dia bisa dengan mudah menguasai emosinya. Dengan gayanya yang tenang dan sedikit meremehkan.
"Lo masih ada dendam ke gue?" Belum sempat Sisi menjawab, Winda sudah mengangkat tangannya untuk menunda apapun itu yang akan dikeluarkan lawan bicaranya. "Lo pikir lo sehebat apa? Menyedihkan!"
Suasana semakin kacau. Baik Sisi maupun Winda tidak ada yang mau mengalah, bahkan keduanya saling melempar tatapan sinis disertai desisan penuh makian. Aku yakin kalau tidak sedang berada di kampus mereka sudah gulat di lantai.
***
"Va!"
Aku membeku demi mendengar suara yang baru saja menyapaku, bahkan kulihat Sisi dan Winda pun sampai saling melepas pandangan dan terpaku melihat siapa-yang-berdiri-di-depan-kami.
"Lo... April?" Sisi nyaris terpekik karena kaget, tapi aku masih bergeming.
Di depanku adalah April. Benar-benar April yang menghilang akhir-akhir ini, April yang menjadi sahabatku sejak dua tahun lalu. Tapi dia berbeda! Sudah tidak ada lagi rambut indah bergelombang yang selalu membuat setiap wanita iri kepadanya. Dia tampil dengan rambut bob yang diwarna cokelat.
"Wow!" Itu komentar yang keluar dari Winda. Seseorang sepertinya yang begitu mengagungkan setiap aset yang dimiliki kaum hawa pasti sudah beranggap April gila hingga memangkas mahkotanya.
"Va,"
Panggilan kedua yang dilayangkan April berhasil menyadarkanku. Seakan dikejar waktu, aku buru-buru berdiri dari tempat dudukku dan berniat pergi jauh dari April. Aku pikir aku akan siap jika menghadapinya kembali setelah semua yang terjadi, tapi ternyata aku salah. Aku belum siap.
"Hai, Pril," balasku dengan canggung. Hal ini kulakukan semata-mata agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang yang mengenal kami. Hubunganku dengan April memang sedang tidak baik, tapi orang lain yang tidak tahu apa-apa tidak perlu mengetahuinya. "Gue duluan, busy call." lanjutku sebelum dia sempat berbicara lebih banyak, yang harus menahanku lebih lama untuk bersamanya. Biarlah masalah KRS kuurus besok atau lusa atau kapan pun selagi tidak ada April di sampingku.
"Va, we need to talk!"
Aku memejamkan mataku selama beberapa detik untuk mengatur emosi. Begitu merasa lebih baik, aku berbalik menoleh kepadanya. "Sorry, Pril. Mbak Rika sudah akan marah kalau gue telat ke lokasi pemotretan." Kuberikan alasan yang paling masuk akal walaupun itu bohong. Hari ini tidak ada jadwal pemotretan dan Mbak Rika sedang berada di Bandung untuk menjenguk keluarganya yang sakit.
April terlihat masih enggan melepaskanku begitu saja. "Oke, Gue nanti tunggu di kost lo saja," putusnya kemudian.
"Jangan!" Cegahku dengan cepat, bahkan aku nyaris kelepasan berteriak padanya. "Gue nggak tahu kapan pemotretannya selesai, jadi kita ketemu next time."
Aku berharap April akan menjawab "take your time" atau "okay" atau apapun yang menyatakan dia setuju dengan usulku. Tapi setelah menunggu sepuluh detik, masih belum ada satu kata pun yang keluar dari mulut April.
"Okay, bye." Kataku kemudian sambil melangkah pergi.
***
Kubanting pintu kamar kost sampai dindingnya bergetar. Beruntung di jam-jam ini penghuni yang lain jarang sekali yang berada di kost, jadi aku tidak akan menarik perhatian siapapun.
Begitu pintu tertutup, tubuhku langsung merosot sampai aku terduduk dengan posisi lutut tertekuk dan punggung yang bersandar di daun pintu. Tote bag yang tadi kubawa terjatuh dan beberapa isinya terlempar keluar termasuk ponsel, tapi aku tak peduli. Tenagaku rasanya terkuras sampai untuk bernapas saja aku susah. Kemudian tak perlu menunggu lama, tangisku pecah.
Kutenggelamkan wajahku di atas lutut untuk meredam suara tangis yang semakin lama terdengar semakin pilu. Kenapa aku harus menangis lagi? Kemana diriku yang tadi pagi dengan lantang menolak Yoga? Kemana diriku yang berjuang untuk bahagia? Kenapa aku jadi selabil ini?
***
Aku tidak mau terus-terusan menghindari April. Sekalipun nanti aku mengambil tawaran untuk ke Jepang, masalah di sini harus kuselesaikan. Mungkin akhirnya aku memang harus terluka, tapi aku akan berusaha menyembuhkannya selagi berada di tempat yang jauh.
Mata dan tanganku mencari kemana jatuhnya ponsel tadi. Itu dia, di dekat kaki meja. Dengan gerakan merangkak yang tidak beraturan aku menuju ke sana dan segera mengambil benda pipih itu.
Saat akan mencari kontak April, kudapati tanganku bergetar dan nyaris membuat ponsel yang kupegang terjatuh. Kuletakkan kembali ponsel di lantai sembari menarik napas panjang beberapa kali. Setelah kurasa tenang, kembali kuambil ponsel. Tanganku masih bergetar tapi tak sehebat tadi.
"April!" Panggilku cepat sebelum dia menyapa. "Ayo... Ayo kita bertemu. Kafe biasa. Besok. Tujuh malam."
-Bersambung-

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang