April langsung pulang begitu mengantarkanku ke kost. Kulihat ia sedikit buru-buru waktu di mobil dan ketika aku menawari untuk main sebentar, tanpa pikir panjang ia langsung menolak. Sebagai sahabatnya tentu aku ingin tahu apa yang terjadi karena selama ini ia tidak pernah menutupi apapun dariku –kecuali soal Yoga tentunya –, namun jika melihat ekspresi wajahnya yang enggan kuurungkan niat untuk bertanya.
Sesampainya di depan kamar, aku disambut oleh Wika yang sudah parkir di sana dengan handuk yang disampirkan di bahu kiri. Ia langsung menunjukkan cengiran lebar begitu melihat kedatanganku, aneh!
"Lo ngapain, Wik?" Aku menggedikan dagu sebagai tanda agar dia menyingkir dari depan pintu.
"Urgent nih, Kak." Jawabnya sambil mengikuti masuk kamar.
"Urgent apaan coba?" Kuletakkan tas selempangku di meja belajar. Mungkin karena efek patah hati, bawa tas kecil saja rasanya sudah berat seperti bawa batu.
"Air dari PDAM belum ngalir coba."
"HAH?!" Aku refleks memekik. Mati? Hell o... ini masalah apalagi coba? Padahal aku berniat mau nongkrong di bawah shower biar kepalaku yang panas kembali dingin.
Bibir Wika maju beberapa senti. "Ya mana gue tau sih!" Ia meletakkan handuknya di kasurku dan aku juga baru sadar kalau dia bawa peralatan mandi.
"Mau numpang mandi lo?" tebakku.
Wika kembali memasang wajah imutnya ditambah dengan kedipan mata. Ini anak makin lama makin parah tingkat keanehannya. Apa jangan-jangan kebanyakan belajar hukum jadi begini?
"Boleh ya, Kak. Tadi pagi gue nggak sempet isi bak, terus ini kan gue lagi mens jadi butuh sekali mandi. Kalo nggak mens mah, gue nggak mandi juga nggak apa-apa."
Aku menggedikkan bahu, lalu menuju kamar mandi untuk mengecek persediaan air. "Oke, tapi hemat ya dan nggak usah pakai konser!" pesanku kemudian. Aku ingat sekali pernah menunggui Wika mandi–tanpa luluran, tanpa keramas dan itu memakan waktu satu jam.
***
Wika keluar dari kamar mandi dengan wajah ceria seperti model iklan sabun mandi... dan rambut basah? Astaga ini anak disuruh hemat malah keramas! Seumur-umur baru di Jakarta ini aku perhitungan dengan air, kalau di rumah atau di tempat tinggalku yang dulu-dulu air itu melimpah ruah.
Sekarang Wika sibuk menyisir rambut ikalnya di depan kaca. Aku memilih untuk kembali fokus pada ponselku dan mengecek segala pemberitahuan yang muncul. Sadar kalau aku tidak berhubungan dengan Yoga di media sosial apapun membuatku sedikit lega, setidaknya aku menemukan tempat pelarian.
"Kak, agensi lo apa namanya ya?" tanya Wika sambil membereskan peralatan mandi.
"Klik Management. "
Ia mengangguk-angguk. "Kalau gue daftar di sana kira-kira keterima nggak ya?"
Aku yang tadinya hanya menanggapi sambil lalu menjadi tertarik. Kuubah posisiku menjadi duduk dan langsung menghadapnya. Sejenak, kuamati profil gadis di depanku ini. Tingginya sekitar 167 sentimeter, kurus, rambut ikal, wajah yang asli Indonesia dengan kulit sawo matang. Secara keseluruhan Wika itu manis dan imut. Tapi untuk masuk Klik itu...
"Gue nggak tahu, Wik." jawabku sambil menggaruk-garuk dagu. Kalau aku yang menyeleksi sih sudah pasti akan kuterima, tapi masalahnya agensi tempatku bernaung agak nyleneh dalam memilih talen. Good looking? Belum tentu diterima. Tinggi? Sudah banyak orang tinggi ditolak Klik. Blasteran, oriental, pribumi? Klik jelas-jelas bukan hanya melihat dari ras!
Wika mengembuskan napas kesal. "Lha lo dulu bisa diterima rahasianya apa?"
"Nggak ada rahasia-rahasiaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You (Slow Update)
General FictionYuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melakukan modeling di tengah jadwal kuliah yang padat adalah untuk melihat Yoga, iya karena laki-laki. Cinta dalam hati, itulah yang ia lakukan. I...