34. Berakhir

9.3K 997 131
                                    

34. Berakhir

Ps. Miss me much? #alaaladeh ini. Status saya sebenernya "hiatus" lho, tapi berhubung saya masih update cerita statusnya ganti "semihiatus" (?) . Saya udah baca-baca komentar kok, tapi maaf belum bisa balesin T.T Cih-cih-yha (baca: makasih ya). Jadi kaan alasan saya hiatus adalah blablabla! Sengaja saya skip aja, biar ga ngerusak mood kalian dengan baca curhatan saya.

This part contains more than 4000 words. Harusnya ini masuk dua bab tapi kan saya lama nggak muncul. So guys, siapin kopi atau susu atau jus atau nasi padang sama maicih gitu biar ga bosen. Saya sendiri merasa kalau bab ini membosankan, tapi I cant make it better, belum. Jadi kan, bab ini saya lempar tapi tolong dikritiki bagian mana yang sekiranya harus saya perbaiki dan typo. Oke? Oke dong! Oh dan satu lagi, ini happy ending kok, tapi versi saya ya. I mean semampu akal sehat saya, ya intinya fefe mencoba bikin ini make sense(semoga berhasil). Maafkan daku yang nggak bisa hidupin orang mati cem sinetron-sinetron.

Kemudian, rencana saya buat hapus cerita ini saya tunda sampai nggak tau kapan. Tadinya kan saya juga mau repost to be with you setelah direvisi, tapi editan udah amblas, hilang bersama harddisk saya yang rusak T.T. Jadi... yaudah deh, saya cicil lagi. Saya juga nggak punya file cerita ini di notebook, jadi kalau yang di wattpad dihapus berarti to be with you nggak ada di dunia hehe. Maafkan saya yang plinplan ini, tapi jauh di lubuk hati saya tetap mencintai Bruno kok. #timbruno

Happy reading 

Mataku terpaku menatap pintu operasi yang tertutup sejak dua jam lalu. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi di dalam sana, tapi satu harapanku, kesembuhan Yoga. Rasanya aku nyaris gila menepis semua kemungkinan terburuk dan tetap berpikiran positif.

Aku bukannya tak percaya dengan kemampuan tim medis yang sedang bekerja di ruang operasi, bukan juga tak percaya akan adanya mujizat, demi Tuhan aku bahkan mengharapkannya terjadi –paling tidak satu kali di hidupku dan di saat ini. Hanya saja melihat betapa banyaknya darah yang mengucur dari bagian tubuh Yoga yang terluka... sungguh itu menghantuiku.

Air mataku kembali jatuh saat melihat darah yang mengering di telapak tanganku. Bukan hanya di tangan, tapi bajuku pun terdapat bercak yang mencoklat. Pasti sangat sakit saat cairan kental itu dipaksa keluar, lebih sakit dari mataku yang kini membengkak dan perih.

Seandainya tadi Yoga tak memeriksa tangga darurat, pasti ia tak akan terluka. Seandainya aku tak pergi ke apartemen Yoga dan bergantung padanya, pasti ia tak perlu terlibat dengan berbagai masalah yang melilitku. Lebih awal dari semua itu, seandainya aku tak pernah bertemu Yoga, pasti ia akan baik-baik saja.

Di tengah kekalutan yang menyelimutiku, kurasakan ponselku bergetar di saku celana. Dengan nelangsa kuperhatikan benda pipih itu. Keningku berkerut melihat nama "Papa" tercantum jelas di layarnya. Seingatku, aku belum menghubungi siapapun menggunakan nomor baru.

"Ha–" Menyadari suaraku parau, kujauhkan sebentar ponselku untuk berdeham. "Halo, Papa."

"Yuva, Nak, kamu baik-baik saja kan?"

Itu suara Papa. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menghubungi beliau, dan begitu mendengar suaranya, tangis yang sejak tadi kucoba bendung perlahan mulai lepas.

"Papa..." Aku terisak di ujung kalimat.

"Yuva kamu kenapa, Sayang? Cerita ke Papa!" Papa mengulangi pertanyaannya dan aku menangkap kekhawatiran di sana.

Kepalaku menggeleng sambil tangan kiriku membekap bibir agar tangis yang keluar tak semakin pecah. "Yuva takut, Pa... Yuva sakit... Yuva mau pulang..."

"Yuva, kemarin ada laki-laki yang bilang ke Papa kalau kamu diteror. Demi Tuhan, Nak, kenapa kamu nggak cerita hal sepenting itu ke Papa?"

Satu isakanku kembali lolos. Akhir-akhir ini aku terlena dengan perlindungan yang diberikan Yoga sampai melupakan semuanya. Aku mabuk akan proteksinya sampai membuatnya terluka.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang