32. Teror

7.8K 801 50
                                    

32. Teror

Ps. Tolong bantu dikoreksi yeee. Siapa tahu tahun baru, cara nulis saya juga jadi baru (makin banyak typo maksudnya)

Happy reading!

"Hello, dear..."

Bibirku menyunggingkan senyum mendapati sapaan super ramah dari Kalina. Ini kali kedua kami bertemu, kali pertama adalah saat meeting sebelum pemotretan. Dari dua pertemuan kami, hal yang bisa kusimpulkan dari artis senior pemilik brand Lady-A ini adalah perfeksionis. Ia memeriksa setiap unsur dalam pemotretan hari ini, bahkan sampai hal yang tak kusangka akan diurusinya juga. Seperti...

"Jangan pakai make up ini ya, kan pemotretannya outdoor. Nanti pas keringatan langsung ada efek cakey-nya! Pakai make up yang paling bagus doooong! Coba lipstick-nya diganti, aku nggak suka dengan warnanya. Kurang menantang, kurang seksi, kurang berkarakter! Itu modelnya tolong deh rambutnya diacak-acak atau apa biar ada efek messy-sexy!" Adalah percakapan dengan make up artist.

"Itu modelnya takut panas atau gimana? Foto kok ringkih begitu kayak orang penyakitan!" Ia menimpali perkataan Sakti –fotografer – yang sedang menegurku.

Memang seperti itu Kalina! Ia tidak mudah merasa puas, padahal aku yakin, semua pekerja hari ini sudah profesional dan tahu apa yang harus dilakukan. Pertama kali ditawari untuk menjadi model Lady-A, aku sempat tak percaya. Ini Kalina lho... I mean, dia itu pemilih sekali dan sangat eksklusif. Pikirku, bagaimana bisa dia melirik anak baru yang pernah tersandung kasus? Bahkan ketika Ghani –perwakilan Lady-A –menjelaskan alasan bosnya memilihku karena terkesan melihat aku di Why High , rasanya masih sulit percaya.

Tapi terlepas dari pekerjaan, Kalina adalah sosok yang ramah. Aku berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadaku di saat yang lain berbondong-bondong membatalkan kontrak. Selain itu, ia juga tak pelit membagikan ilmunya dan tak segan untuk menyapa lebih dulu juniornya.

"Jangan kapok ya terima job dari aku." Oh dan satu lagi. Kalina adalah pengikut panggilan aku-kamu. Yang paling penting, jangan pernah memanggilnya 'tante', 'ibu', 'kakak,' dan sebagainya. Just call her Kalina.

"Kalau begitu saya tunggu job selanjutnya, Kalina." Aku tersenyum di ujung kalimat.

Kalina terkekeh senang sambil menutup bibir dengan jemari tangannya yang lentik. "I do like you, Yuva."

Aku membalasnya dengan mengatakan hal yang sama. Selebihnya kami hanya bicara santai mengenai parfum miliknya. Ia sangat antusias menceritakan bagaimana awal mula tercetus gagasan untuk meluncurkan Lady-A, menguraikan kendala yang dihadapi sampai dengan beberapa pihak yang menyangsikannya. Obrolan kami berlangsung cukup lama sampai Mbak Rika datang untuk mengajakku pulang. Tapi sebelum benar-benar berpisah, Kalina memberiku dorongan untuk membuka bisnis dengan alasan dunia entertainment itu temporary.

***

"Long time no see, Kak." Wika menyambutku di depan pintu kost.

"Nyindir lo?" Aku menggedikkan dagu sebagai tanda agar ia menyingkir dulu dari muka pintu.

Memang kami tidak pernah bertemu selama dua minggu terakhir. Aku jarang sekali berada di kost, dan sekalinya ada, aku memilih mengurung diri di kamar. Dari dulu aku seperti itu, jarang bersosialisasi dengan anak kost –kecuali Wika tentu saja –dan aku yakin, penghuni yang lain pun juga belum tentu tahu siapa saja yang berada satu atap dengan mereka. Terlebih sejak aku tersandung masalah prostitusi laknat itu, bisa dihitung berapa kali aku bermalam di tempat ini. Aku lebih memilih menginap di rumah Mbak Rika dan tiga hari terakhir terdampar di apartemen Yoga.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang