1 + 1 = 2

10.5K 553 15
                                    

“Lo penasaran ngga sih sama ortu kita sebelum nikah?”

Siang hari itu, 2 orang laki-laki tengah bersantai di depan teras rumah sembari menggado remah biskuit kangguan yang mereka ambil dari almari dapur.

“Biasa aja sih.” jawab laki-laki yang lebih muda. Tak mengindahkan laki-laki yang lebih tua.

“Antusias dikit dong lo! Kurang ajar banget jawabannya!”

Yang lebih muda mengangguk setengah hati. Memilih untuk berpura-pura tertarik dulu agar yang lebih tua merasa senang. “Apa yang mau lo bahas emang?”

“Gatau juga sih.”

“Nyesel aja gue dengerin.”

Keadaan kembali hening. Membuahkan decak kesal dari yang lebih tua. Ia benar bosan, butuh hiburan, dan yang lebih muda sama sekali tak membantu. Padahal harusnya waktu ini ia gunakan untuk tidur, tapi Ibunya melarang, agar tak terbiasa malas, ujar beliau.

“Lo kenapa sih, Kak Mark? Gue tau lo gabut, tapi ya biasa aja dih!”

“Jen, lo ngga pahaam!”

“Apa yang ngga gue paham?”

“Gue bukan gabut. Tapi gabut banget. Udah puncak banget dan gue nggak tau harus ngapain? Kali aja lo ada saran! Lo kan demenan ngelayap.” Mark mulai mengomel pada Sang Adik, Jeno. Jeno yang mendengarkan hanya melirik singkat Sang Kakak sembari menikmati kopi milik Kakaknya itu. “Gausah lirikin gue!”

“Dih sensi.” decak Jeno. Melanjutkan, “Mending lo keliling komplek, temuin janda di komplek sebelah aja gih. Cakep katanya Haechan.”

“Ga selera sama janda.”

“Yaudah gue ajakin Haechan kesini aja buat nemenin lo main gaple.”

“Jangan, dia berisik, gue lagi butuh suasana damai.”

“Ayo dah pergi ke studionya Babeh.”

“Jauh.”

Jeno jadi kesal sendiri. Bukannya Kakaknya itu butuh saran? Mengapa saat Jeno beri malah ditolak mentah-mentah begini? Apa mau Kakaknya ini?

“Baku hantam ga qi?”

“Gue kan bil—” bukgh.

Langit hari ini benar-benar indah untuk menjadi latar Mark dan Jeno berkelahi. Sayang sekali jika disia-siakan, kan?

“Lo ngapain!” tanya Mark emosi, alis camarnya menukik. Tangannya menyentuh rahangnya yang terasa kebas setelah di hajar dengan satu pukulan telak oleh Jeno. Tubuhnya bangkit seraya melakukan relaksasi ringan pada wajahnya.

“Gatau lah! Gatel banget tangan gue pingin jotosin muka lo.” jawab Jeno tak mau kalah.

“Gue bales lo ya!”

“Enak aja!”

Mendengar keributan, seseorang dari dalam rumah keluar, memandangi kedua laki-laki yang beradu tatapan tajam di halaman. Ia jadi tertarik untuk bergabung.

“Hai.”

“Kepala lo hai-hai!”

“Kenapa sih kawan?”

“Bocah yang baru gede kemaren gausah so mau tau.”

“Maju lo!”

Itu Beomgyu, anak ketiga dari keluarga Jung, emosinya terpancing saat Jeno mengatainya bocah —secara tidak langsung. Anak itu sudah siap dengan lengan bajunya yang disingkap sampai bahunya nampak, lalu memasang kuda-kuda pertahanan ke arah Jeno, menantang satu kakak laki-lakinya itu untuk berduel.

NANO JUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang